• Categories

  • Archives

Kepintaran Ali

Pertanyaan Kepada Imam Ali

Berikut ini aku kutipkan dialog antara seorang pendeta dengan Imam Ali bin Abi Thalib. Pendeta tersebut mengajukan beberapa pertanyaan kepada Imam Ali yang kemudian dijawab oleh beliau dengan sangat lancar dan cerdas.

Suatu ketika ada seorang pendeta mendatangi Imam Ali kemudian dia katakan, ”Aku mau masuk Islam kalau kamu bisa menjawab pertanyaanku.” Kemudian Imam Ali mengatakan, ”Tanyalah sesukamu.” Pendeta itu bertanya, ”Sebutkan 5 makhluk hidup yang tidak beribu dan tidak berbapak, darah siapa yang pertama kali menetes di bumi ini dan apa yang ketika hidupnya minum dan setelah matinya makan.”

Dengan kemampuan argumentasi dan analisisnya Imam Ali menjawab:

“5 makhluk hidup yang tidak beribu dan tidak berbapak adalah Adam, Hawa, Dombanya Nabi Ibrahim yang menjadi ganti Nabi Ismail, Ontanya Nabi Shaleh yang muncul dari bukit, Ularnya Nabi Musa;

Yang ketika hidupnya minum dan matinya makan itu adalah tongkatnya Nabi Musa. Ketika dia masih hidup masih melekat dalam satu pohon, dia hanya minum saja lewat akar, tetapi ketika ditebang lalu mati kemudian ia menjadi ular lalu memakan ularnya Fir’aun.

Darah yang pertama kali tertumpah adalah darahnya Hawa.” Akhirnya pendeta tersebut masuk Islam.

Seandainya pertanyaan itu ditanyakan kepada kita, pasti tidak akan ada pendeta yang bakal masuk Islam!.

p/s Para pendeta dahulu sering bertanyakan soalan2 yang pelik yang hanya mampu dijawab oleh Nabi atau para wasinya. Jika para Nabi tidak meninggalkan wasi maka siapakah yang akan meneruskan ajarannya? Atau tidakkah ajarannya akan diselewengkan

‘adalat sahabat adalah mitos dicipta

Pengantar Studi Komparatif Hadis Sunni dan Syiah:

Keadilan Sahabat dan Tadwin Hadis

Ditulis pada Agustus 11, 2008 oleh ressay

Pada tanggal 7 Agustus 2008 kemarin, aku dan temanku pergi ke Jogja. Tapi kali ini bukan untuk liburan, melainkan untuk menghadiri workshop dosen-dosen Ilmu hadits PTAI yang diselenggarakan di UIN Kalijaga Yogyakarta. Sebagai pembicara adalah Prof. Dr. H. Jalaluddin Rakhmat, M.Sc. Sebelum beliau juga ada pembicara lain seperti Dr. Suryadi, M.A yang merupakan staf pengajar Ilmu Hadits UIN dan Muhammad Zain. Sebenarnya acaranya tertutup, namun karena mengatasnamakan IJABI, orang yang mengantarkan Ustadz Jalal ke tempat, maka aku dan beberapa kawan-kawan dari IJABI diperbolehkan masuk.

Saya akan menyoroti topik pembicaraan Ustadz Jalal. Beliau mengambil tema Pengantar pada Studi Komparatif Hadits Sunni dan Syi’ah. Pada makalah tersebut beliau tidak menguraikan perbandingan ulum al-hadits dari kedua mazhab tersebut, tetapi memilih untuk menjelaskan dua perbedaan yang penting dalam penelitian hadits di antara keduanya: pandangan tentang ’Adalat al-Shahabat dan Sejarah Tadwin (pembukuan) al-Hadits.

”Dari ’Irbadh bin Sariyah, ia berkata: Rasulullah memimpin salat subuh. Kemudian ia menasehati kami dengan nasehat yang sangat indah, sehingga berlinang air mata kami, dan bergetar hati kami. Seseorang berkata: Ya Rasulullah, seakan-akan ini nasehat terakhir, berilah kami wasiat. Lalu ia bersabda: Aku wasiatkan kamu untuk bertakwa kepada Allah, dan untuk mendengar dan menaati (pemimpin kamu) walaupun ia budak dari Habsyi. Siapa diantara kalian yang hidup sepeninggalku akan melihat ikhtilaf yang banyak sekali. Hendaklah kalian berpegang kepada sunnahku dan sunnah al-khulafa al-rasyidin yang mendapat petunjuk. Berpeganglah kepadanya erat-erat.”

Hadits diatas diriwayatkan oleh Al-Darimi dalam Sunan Al-Darimi 1:57, Bab Ittiba’ Al-Sunnah, hadits 59; Abu Dawud dalam Sunan Abu Dawud 4:200, Bab Luzum al-Sunnah, hadits 4607; Al-Turmudzi dalam Sunan al-Turmudzi, 5:43, Kitab al-Ilm, hadits 2676; Ibnu Majah dalam Sunan Ibn Majah, 1:16, hadits 42, Bab Ittiba’ Sunnat al-Khulafa al-Rasyidin al-Mahdiyyin; dan dalam Musnad Ahmad, 5:109, hadits 16692, 16694-5; lihat juga Kanz al-Ummal 6:55, hadits 14818.

Dari hadits ini, para ahli hadits di kalangan Ahli Sunnah memperluas cakupan Sunnah dari eksklusif Sunnah Nabi kepada Sunnah para sahabat, khususnya sahabat yang termasuk al-Khulafa al-Rasyidin. Menurut Ustadz Jalal, dari sini juga muncul anggapan bahwa para sahabat semua adil dan karena itu tidak boleh dikritik atau disalahkan (konsep adalat al-shahabat).

Dengan hadits ini pula para fuqaha melegitimasi bid’ah-bid’ah yang dibuat oleh para shahabat Nabi. Ketika menolak anggapan orang bahwa azan kedua shalat Jum’at itu bid’ah, Al-Syaikh Al-Fawzan berkata: ”Azan awal hari Jumaat diperintahkan oleh Amirul Mukminin Utsman bin ’Affan, yang ketiga dari Al-Khulafa al-Rasyidin. Nabi bersabda: Ikutilah Sunnahku dan Sunnah al-Khulafa al-Rasyidin.” (Majalah ”Al-Muslimun”, 27 Nopember 1992, Nomor 408).

Sa’id Hawwa menulis, ”Tidakkah engkau lihat bahwa para sahabat sudah ijmak pada tindakan Umar yang menghimpun orang untuk salat Tarawih berjamaah yang dipimpin imam dengan 20 rakaat dan ucapan Umar (Bid’ah yang paling baik ini). Semuanya itu benar dari Umar dan para sahabat. Tidakkah kau perhatikan bahwa orang yang menganggap Umar sesat karena sebab itu (yakni, karena membuat bid’ah salat Tarawih) sudah masuk dalam lingkungan kesesatan. Umar termasuk al-Khulafa al-Rasyidin al-mahdiyyin yang kita diperintahkan untuk meneladaninya dan mengikuti petunjuknya”. (Sa’id Hawwa, Al-Asas fi al-Sunnah wa Fiqhuha, 358,. Su’udi: Dar al-Salam, 992).

Menurut fuqaha Ahli Sunnah, di samping Rasulullah ada empat marja’ basyariyyah (pusat rujukan manusia): Abu Bakar, Umar, Utsman, dan Ali. Di samping Sunnah Nabi ada Sunnah Al-Khulafa al-Rasyidin. Diriwayatkan bahwa Abu Hanifah berkata: Jika aku tidak menemukannya dalam Kitab dan Sunnah Rasulullah Saw aku mengambil qawl para sahabatnya, walaupun mereka berselisih pendapat dalam masalah hukum. Aku mengambil mana saja yang aku kehendaki dan membuang mana saja yang aku kehendaki. Aku tidak pernah keluar dari pendapat mereka untuk mengikuti pendapat diluar mereka seperti tabi’in.” (Abu Zuhrah, Abu Hanifah, h. 304).

Begitu pentingnya sunnah shahabat sampai Al-Qur’an pun dapat ditakhshish (dikecualikan) dengan contoh dari para sahabat. ”Sesungguhnya pengikuti Hanbali dan Hanafi,” kata Ibnu Hazm dalam I’lam al-Muwqi’in,” berpendapat tentang takhshish Kitab Allah dengan amal shahabi, karena shahabat yang berilmu tidak akan meninggalkan amal dalam keumuman Al-Kitab kecuali dengan dalil. Amalnya yang bertentangan dengan umumnya Al-Kitab menjadi dalil tentang takhshish dan dengan begitu amalnya mendapat pahala.” (AL-Duwailibi, Al-Madkhal ila Ushul al-Fiqh, 217).

Jadi, ketika Umar melarang Haji Tamattu’ dan Nikah Tamattu’, ia tidak menentang Al-Qur’an yang membolehkannya, melainkan ia sedang melakukan takhshish.

Walhasil, sepeninggal Rasulullah Saaw, para khalifah menjadi pembuat syari’at di samping Allah dan Rasul-Nya. Karena itu, mereka harus “dimaksumkan”, walaupun Ahli Sunnah tidak menggunakan istilah itu. Salah satu dalil yang memperkokoh kemaksuman shahabat adalah hadits Al-’irbadh ini. 

’Adalat Al-Shahabat

Selanjutnya, aku akan mencoba menyampaikan pendapat dari Ustadz Jalal mengenai pandangan Sunni dan Syi’ah tentang “Kemaksuman Shahabat” atau ’Adalat al-Shahabat yang setelah itu akan diakhiri dengan pandangan Sunni dan Syi’ah berkenaan dengan Tadwin al-Sunnah. Semoga para pembaca masih bersabar untuk membaca tulisan ini sampai tuntas.

Pandangan Sunni tentang Shahabat

Siapa yang menyertai Rasul Allah Saw, atau pernah melihatnya dari kalangan Muslim ia termasuk shahabatnya,” kata Al-Bukhari dalam shahihnya. Jadi, siapa saja Muslim yang hidup sezaman dengan Nabi dan melihat Nabi walaupun hanya sebentar dihitung sebagai sahabat. Siapa saja itu dapat jin atau manusia, dapat besar atau kecil. Muhammad bin Abu Bakar dihitung sebagai shahabat, walaupun ia lahir pada haji Wada’, akhir Dzul Qa’dah sebelum Nabi Saw sampai ke Mekkah. Tiga bulan sebelum wafat Rasulullah Saw.

Ibnu Hajar berkata, ”Yang paling benar menurutku ialah bahwa shahabat adalah orang yang berjumpa dengan Nabi Saaw yang sambil beriman kepadanya dan meninggal dalam keadaan Islam. Termasuk ke situ siapa saja yang bertemu dengan Nabi, baik yang lama pertemuannya ataupun yang sebentar, baik yang meriwayatkan atau tidak, baik yang berperang bersamanya atau tidak, baik yang pernah melihatnya walaupun tidak duduk bersamanya, atau yang tidak melihatnya karena buta. (Ibnu Hajar Al-Asqalani, Muqaddimah Kitab al-Ishabah fi Tamyiz al-Shahabah, hal. 4).

Masih kata Ibnu Hajar, ”Sepakat Ahlu Sunnah bahwa semua sahabat ’udul. Tidak ada yang membantahnya kecuali orang-orang yang menyimpang dari kelompok ahli bid’ah.” Al-Ghazali menulis, ”Menurut pendapat salaf dan jumhur khalaf ’adalah shahabat itu diterima karena Allah pun menjadikannya ’adil (bi ta’dilihim iyyahum) dan memujinya dalam Kitab-Nya; kecuali yang benar-benar jelas kefasikannya dan ia sadari. Untuk yang tidak jelas untuk tidak diperlukan ta’dil. Allah SWT berfirman: Kamulah umat yang paling baik yang dikeluarkan ditengah-tengah manusia…(kemudian Al-Ghazali mengutip ayat-ayat Al-Qur’an dan Sunnah tentang keadilan sahabat). Sekiranya tidak ada nash Al-Qur’an dan Sunnah tentang keadilan mereka, keadaan mereka –hijrah, jihad, berkorban, memerangi orang tua dan keluarga demi membela dan menolong Rasulullah– cukuplah sebagai argumen tentang keadilan mereka. Mereka semua mujtahid atas apapun yang mereka lakukan. Yang benar mendapat pahala, yang salah dimaafkan.” (Al-Mustashfa, hal. 204-205).

Walaupun ada sekelompok kecil dari umat terdahulu seperti Washil bin Atha, ’Amr bin ’Ubayd dan dari ulama belakangan ini seperti Syaikh Shalih Mahdi al-Muqbili, Syaikh Muhammad Abduh, Sayyid Rasyid Ridha, dan Mahmud Abu Rayyah (nama ini tidak disukai oleh banyak pelajar hadits) yang menentang pendapat ini dari kalangan Ahli Sunnah, mayoritas Ahli Sunnah menjadikan keadilan sahabat sebagai tonggak doktrin agamanya. Abu Rayyah menulis:

“Sekalipun jumhur berpendapat bahwa sahabat semua ’udul, tidak boleh dikenakan kepadanya al-jarh wa ta’dil sebagaimana dikenakan pada perawi yang lainnya dan menganggapnya maksum dari segala kesalahan dan lupa, ada banyak peneliti yang tidak menerima keadilan mutlak bagi semua sahabat. Mereka berkata seperti Al-Muqbili: Yang ’adil itu kebanyakan bukan semuanya. Mungkin terjadi pada mereka apa yang mungkin terjadi pada yang lain, yang memang lahir dari tabiat manusiawi…apa yang terjadi pada zaman Nabi Saw seperti orang munafik dan para pembohong dan apa yang terjadi sesudahnya berupa perang, kerusuhan (fitnah), permusuhan yang dampaknya terus menerus sampai zaman kita sekarang dan akan terus berlanjut sampai zaman yang akan datang.” (Al-Adhwa ’ala al-Sunnah al-Muhammadiyyah, 322-323).

Pandangan Syi’ah tentang Shahabat

Bagaimana pandangan Syi’ah tentang ’adalat al-shahabat? Syi’ah tidak mensucikan semua sahabat seperti jumhur Ahli Sunnah; tetapi Syi’ah juga tidak mengecam semua sahabat seperti Washil bin ’Atha (dan pendahulunya kaum khawarij). Kita kutip Hasyim Ma’ruf Al-Husayni, ahli hadits syi’ah kontemporer:

Bagaimana dapat dibenarkan menisbahkan ’adalah kepada semua mereka? Di antara mereka ada yang mengecam Nabi Saw dalam membagikan shadaqah seperti disebutkan dalam Surat Al-Maidah. Di antara mereka ada yang menyakiti Nabi sebagaimana disebutkan dalam Surat Al-Baqarah. Di antara mereka ada yang mendirikan masjid untuk merusak dan memecah belah kaum mukminin seperti disebutkan dalam surat Al-Taubat. Diantara mereka ada yang tidak mau ikut dalam perang Tabuk lebih dari 80 orang. Mereka bersumpah bahwa iman mereka palsu sebagaimana disebutkan dalam ayat “mereka bersumpah kepada kamu dengan sumpah palsu, hanya supaya kamu senang kepada mereka”.

Diantara mereka ada 14 orang lelaki yang berniat membunuh Rasulullah pada malam yang gelap (mereka termasuk sahabat yang utama- ed), ada yang kecewa kalau Rasulullah memperoleh kebaikan dan yang bahagia kalau Rasul Saw mendapat musibat dan kelompok-kelompok lainnya sebagaimana disebutkan dalam Al-Qur’an.

Ada di antara mereka yang murtad dari agamanya sepeninggal Beliau Saw, mengubah dan mengganti-ganti agama, tidak melaksanakan wasiat Beliau tentang Ali dan Ahli Baitnya dan menyakiti putrinya sampai ia meninggal dunia dalam keadaan murka kepada mereka sebagaimana disebutkan dalam hadits Shohih Bukhari. Padahal mereka mendengar berkali-kali Nabi Saw bersabda: “Fathimah belahan nyawaku, siapa yang menyakitinya, menyakitiku.”

Di antara mereka ada yang mengalirkan darah kaum muslimin, menyebarkan semua fitnah; melakukan berbagai maksiat dan menjebak istri Nabi Aisyah sehingga ia memimpin pasukan para pecinta kekuasaan untuk menyerang pemimpin kaum muslimin, Ali ibn Abi Thalib as. Mereka tumpahkan darah, merampas kekayaan, menyebarkan ketakutan dan menodai kehormatan…

Diantara mereka yang membunuh Malik bin Nuwairah dan keluarganya kemudian bercampur dengan istrinya pada hari dibunuh suaminya hanya karena ia tidak mau membayar zakat kepada selain hukum syar’i. Padahal Rasulullah bersabda: “Keputusan harus ditolak kalau buktinya tidak cukup”. Allah SWT berfirman, “Janganlah kamu mengatakan kepada orang yang mengucapkan salam kepadamu – kamu bukan muslim.”

Diantara mereka seorang sahabat iaitu Amr ibn Ash, penasehat pertama Muawiyyah yang ikut serta pada semua kekacauan dan peperangan berdarah oleh anak-anak Hindun terhadap Ali as…

Dalam semua pertumpahan darah itu, Ibn Ash memainkan peranan yang penting. Pada waktu itu sakitnya yang mengantarkan kematiannya, Amr ibn Ash berulang-ulang mengucapkan penyesalannya: “Sungguh aku telah mendapat sedikit dari kebaikan duniaku dan menimbulkan kerusakan yang banyak pada agamaku. Sekiranya aku perbaiki itu, apa yang aku rusak, dan sekiranya yang rusak itu aku perbaiki, pastilah aku orang yang beruntung. Sekiranya ada gunanya untuk meminta, aku akan meminta. Sekiranya aku dapat selamat dengan berlari, aku akan berlari.”

Kalau kita meneliti sejarah para sahabat, menurut ustadz Jalal, paling tidak ada dua bagian shahabat: Mukmin dan munafik. Kita harus memuji dan memuliakan sahabat-sahabat mukmin yang dipuji dan dimuliakan Al-Qur’an. Kita juga harus mengecam orang-orang munafik yang dikecam Al-Qur’an. “Dan di antara orang-orang yang di sekitar kamu –orang-orang A’rab– ada orang-orang munafik dan juga dari penduduk Madinah. Mereka keterlaluan dalam kemunafikannya. Kamu tidak mengetahui mereka, kami mengetahui mereka. Kami akan mengazab mereka dua kali kemudian mereka dikembalikan kepada azab yang besar.” (Al-Tawbah 101).

Bukhari meriwayatkan dari Hudzaifah bin al-Yaman: Sesungguhnya orang-orang munafik hari ini lebih buruk daripada mereka di zaman Rasulullah. Dahulu mereka menyembunyikan dirinya, hari ini mereka menampakkan dirinya. Dalam riwayat Bukhari yang lainnya, masih dari Hudzaifah, Ia berkata: Dahulu di zaman Nabi mereka munafik, sekarang ini mereka kafir setelah beriman. (Fath al-Bari 13:62-63).

Sayangnya, para sahabat Nabi Saw yang sudah jelas munafik itu kemudian dikultuskan sebagai manusia-manusia suci, yang tidak pernah salah, tidak pernah berdosa. Kalau mereka tidak boleh dikecam, mengapa mereka juga sering mengecam. Dr. Ahmad Amin menulis:

Kami melihat shahabat saling mengecam saling melaknat. Sekiranya shahabat itu memang tidak boleh dikritik atau dilaknat tentu aku akan mengetahuinya dari perilaku mereka sendiri. Mereka pasti lebih tau tentang keadaan mereka daripada orang-orang awam di zaman ini. Thalhah, Zubair dan Aisyah, dan bersama orang-orang yang bergabung bersama mereka, tidak menahan dirinya untuk menyerang Ali. Muawiyah dan Amr ibn Ash, tidak berhenti menyerang shahabat-shahabatnya dengan pedang-pedangnya. Diriwayatkan juga Umar mengecam riwayat Abu Hurairah, menyalahkan Khalid al-Walid dan menetapkan kefasikannya. Umar juga menuduh Amr bin Al-Ash dan Muawiyyah berkhianat dan merampok harta kaum Muslimin. Sedikit sekali sahabat yang selamat dari kecaman lidah dan tangan Umar bin Khattab. Dan banyak lagi hal-hal yang seperti itu. Begitu pula tabi’in mengikuti shahabat dalam mengecam perilaku maksiat dengan ucapan seperti manusia yang lain. Ada yang baik dan ada yang buruk. Yang buruk kita kecam, yang baik kita puji. Mereka tidak memiliki kelebihan sama sekali selain sempat menyaksikan Rasulullah dan hidup sezaman dengan beliau. Bahkan mungkin dosa mereka lebih buruk daripada dosa selain mereka. Mereka menyaksikan berbagai mu’jizat dan tanda-tanda kenabian. Pembangkangan kita lebih ringan ketimbang mereka. Kita dapat dimaafkan karena kita tidak tahu…”.

Tadwin al-Hadits

Sebagaimana kita ketahui, sejarah perkembangan hadits melewati tiga periode:

  • Penyampaian hadits (naql al-hadits)
  • Penulisan Hadits (kitabat al-hadits)
  • Kodifikasi hadits (Tadwin al-Hadits)

Kita akan melihat bagaimana Sunni dan Syi’ah memandang setiap periode di atas.

Penyampaian hadits pada Ahli Sunnah

Pada awalnya, para sahabat tidak menyukai penyampaian hadits, apalagi penulisannya. Khalifah Abu Bakar dan Umar sangat keras melarang periwayatan hadits. Apakah pelarangan itu dilakukan karena alasan politik atau alasan lainnya (misalnya, agar hadits-hadits tidak bercampur dengan ayat-ayat Al-Qur’an, seperti dinyatakan Umar) memerlukan pembahasan tersendiri. Berikut ini riwayat-riwayat tentang pelarangan hadits:

  • Sesungguhnya Al-Shiddiq mengumpulkan manusia setelah wafat Nabinya Saw. Ia berkata: “Kalian meriwayatkan hadits-hadits dari Rasulullah yang kalian pertikaikan. Sesudah kalian pasti akan lebih banyak lagi pertikaian. Janganlah menyampaikan hadits Nabi Saw sedikitpun. Siapa saja yang bertanya kepadamu, katakanlah di antara kami dan kalian ada Kitabullah, halalkan yang halalnya dan haramkan yang haramnya.”
  • Dari Ibn Asakir, dari Muhammad bin Ishak, Ia berkata, “Sebelum Umar meninggal, ia memanggil shahabat-shahabat Rasulullah dari berbagai negeri –Abdullah bin Hudzaifah, Abu Al-Darda, Abu Dzar, Uqbah bin Amir– dan berkata: Mengapa kalian menyebarkan hadits-hadits ini di berbagai negeri? Mereka berkata: Kamu melarang kami? Umar berkata: Tidak. Tinggallah bersamaku. Demi Allah kalian tidak boleh meninggalkanku selama aku hidup. Kami lebih tahu! Kamilah yang menentukan untuk menerima hadits kamu. Para sahabat itu tidak meninggalkan Umar sampai ia meninggal.”
  • Dari Ibn Sa’ad dan Ibn Asakir dari Mahmud bin Labid. Ia berkata: Aku mendengar Utsman bin Affan berkata di mimbar: Tidak boleh seorang pun meriwayatkan hadits yang tidak dia dengar di zaman Abu Bakar maupun di zaman Umar. Aku tidak mahu menyampaikan hadits Nabi karena aku takut tidak dapat menjaganya, karena aku mendengar Nabi bersabda: Siapa yang mengatakan apa yang tidak aku katakan, siapkan tempatnya di neraka.

Penulisan Hadits pada Ahli Sunnah

Sebagaimana ada pelarangan periwayatan hadits, para shahabat juga melarang penulisan hadits.

  • Al-Dzahabi meriwayatkan dari Al-Hakim. Aisyah berkata ayahku mengumpulkan hadits dari Rasulullah Saw-500 hadits. Ia tidur dalam keadaan gelisah. Pada waktu subuh ia berkata: Anakku, ambillah hadits-hadits yang ada padamu. Lalu aku bawa hadits-hadits itu kepadanya. Ia membakarnya sambil berkata: Aku takut aku mati dan hadits-hadits itu ada padamu. Disitu ada hadits-hadits dari orang yang aku percayai. Kemudian hadits itu tidak seperti yang ia sampaikan kepadaku dan aku berpegang teguh kepadanya.
  • Dari Ibn Abdilbar dan Baihaqqi dari Urwah: Sesungguhnya Umar bermaksud menuliskan Sunnah. Ia bermusyarawat dengan shahabat Rasulullah. Mereka menyuruhkannya untuk menuliskannya kemudian Umar diam, beristikharah kepada Allah selamat satu bulan. Pada suatu pagi setelah Allah Swt menetapkan yang paling baik baginya. Ia berkata: Aku bermaksud untuk menuliskan sunnah tapi aku ingat kaum sebelum kalian menuliskan buku-buku dan sibuk mempelajarinya serta meninggalkan kitabullah. Demi Allah, aku tidak akan mencampurkan dalam kitab Allah sedikitpun…kemudian Umar menulis kepada semua kota dalam pemerintahannya; siapa yang mempunyai tulisan selain al-Qur’an, hendaknya menghapuskannya.

Kodifikasi hadits pada Ahli Sunah

  • Berkata al-Harawi: “Sahabat dan tabiin tidak pernah menuliskan hadits. Mereka lebih menyukai periwayatan lisan dan menghafalkannya, kecuali kitab tentang zakat dan pembahasan yang sedikit. Ketika Umar bin Abdul Aziz melihat banyaknya ulama yang meninggal dunia, Umar bin Abdul Aziz (memerintah tahun 99H, dan wafat tahun 101 H), memerintahkan Abu Bakar bin Hazm: Perhatikan hadits Rasulullah dan Sunnahnya. Tuliskan bagiku karena aku takut hilangnya ilmu dan perginya para ulama. Ia mewasiatkan untuk dituliskan apa yang ada pada Umrah binti Abdurrahman.” Tetapi Ibnu Hazm tidak melaksanakan wasiat itu. Tidak lamat setelah Umar bin Abdul Aziz wafat, Yazid bin Abdul Malik memecatnya dari jabatan sebagai Gubernur Madinah.
  • Hisham bin Abdul Malik, pada masa pemerintahannya, yang menyuruh Muhammad bin Muslim bin Shihab al-Zuhri –dalam satu riwayat, memaksa– Muhammad bin Muslim bin Shahab al-Zuhri untuk mengkodifikasikan hadits. Al-Ghazali dalam Ihya Ulumuddin: Kitab-kitab dan buku-buku hadits tidak ada di zaman sahabat dan tabi’in yang awal. Penulisan kitab hanya ada pada tahun 120 H.
  • Proses tadwin berkembang pesat pada zaman Abbasiyah karena dorongan dari al-Mansyur al-Dhawadiqi.

Penyampaian hadits pada Syi’ah

Berbeda dengan para khalifah Ahli Sunnah, para Imam Syi’ah sejak awal menggalakkan penyampaian hadits. Tentu saja ada banyak hadits yang diriwayatkan oleh Ahlulbait tentang anjuran penyampaian, penulisan, dan kodifikasi hadits. Di sini saya hanya akan mencantumkan hadits-hadits yang relevan dari sumber-sumber Ahli Sunnah. 

Sebagai misal, para ahli hadits banyak meriwayatkan hadits tentang shahifah ’Ali yang mengandung sunnah Nabi Saw seperti ukuran diyat dan hukum-hukum pembebasan budak belian. Mereka berkata: Hadits tentang shahifah Ali sangat terkenal. (Muhammad Ajaj al-Khatib, al-Sunnah Qabal at Tadwin, 317-345; Dr. ’Itr, Manhaj al Naqd 46).

  • Dari Abu Juhaifah, ia berkata: Aku berkata kepada ‘Ali: Apakah ada kitab pada kalian? Ali menjawab, “Tidak, kecuali kitab Allah, dan pemahaman yang dimiliki seseorang atau apa yang ada disini. Aku bertanya: apa yang ada dalam shahifah ini? Ali berkata: akal, pembebasan budak, dan tidak boleh seorang muslim dibunuh karena orang kafir. (Shahih al-Bukhari, bab Kitabat al Ilm, 1.38, kitab al-Diyat 9.213; Sunan ibn Majah 2.887).
  • Diriwayatkan oleh Abu Hasan al-A’raj: Sesungguhnya ’Ali pernah menyuruh satu perintah kemudian dikatakan kepadanya: Kami sudah melakukan begini dan begini. Ali berkata: Benarlah Allah dan Rasul-Nya. Ia ditanya: Apakah Rasulullah pernah menjanjikan sesuatu kepadamu? Ali berkata: Rasulullah tidak menjanjikan apapun yang khusus selain kepada orang lain, kecuali sesuatu yang aku dengar dari dia dan tertulis dalam shahifah di dalam sarung pedangku. Ketika Ali turun, ia mengeluarkan shahifah itu, dan di situ tertulis: Barang siapa membuat hal-hal baru dalam agama atau melindungi pembuat hal-hal baru dalam agama, maka baginya laknat Allah, malaikat dan seluruh umat manusia. Tidak diterima dari dirinya pertolongan dan tebusan. (Al-Baihaqi Dalail al-Nubuwwah 7-278; Abu Dawud 2.2-216 hadits 2034/5; lihat al-Baihaqi, al Sunan al Kubra 8.230; Sunan al-Duruquthni, 343; lihat, dengan redaksi yang berbeda, Shahih al-Bukhari 4:122, bab Dzimmat al-Muslimin; Shahih Muslim, kitab al Hajj bab Fadhl al-Madinah, 2.995; Musnad Ahmad 1:81; Irsyad Al-Sari 1:166; ’Umdad al-Qari 1:2561; Fath al-Bari 1:182).
  • Ar-Razi meriwayatkan dari Syubah (wafat 160H). Ada dua riwayat dari dua tabiin – Amr al Sya’bi dan Ata’ bin Abi Rabbah yang menjelaskan adanya kitab hadits yang ditulis ’Ali as. Diriwayatkan juga bahwa kitab itu ada pada Abu Harun al-’Abdi (wafat 134H) (Ibnu Abi Hatim al-Jarh wa al-Ta’dil, 1:130, 149). Kata Al-Duruquthni, mereka menyebutnya Shuhufi (Al-Daruquthni, Sualat al-Hakim). Disamping kitab yang baru disebut, Imam Ali juga mewariskan kepada kita, yang dapat kita saksikan sekarang, tulisan-tulisan lainnya: Nahj al-Balaghah, Kitab ’Ulum al-Qur’an, Kitab Al-Sunan wa al-Qadhaya wa al-Ahkam, dan lain-lain.
  • Setiap Imam juga meninggalkan warisan mushhaf atau buku, yang di dalamnya juga termaktub hadits-hadits yang diterima para imam dari ayah-ayah mereka, sampai kepada Rasulullah Saw. (Lihat daftar buku-buku hadits dari para imam, sebagian di antaranya pada Sayyid Muhammad Ridha al-Husayni al-Jalali, Tadwin al-Sunnah al-Nabawiyyah. Beirut: Dar al-Hadi, 1413, 134-195).

Kesimpulan

Baik Sunni dan Syi’ah telah mewariskan kepada kita tradisi periwayatan dan penilaian hadits. Kedua mazhab sama-sama mengembangkan ’ulum al-hadits. Ustadz Jalal menyampaikan bahwa pada makalah beliau tidak mungkin menguraikan perbandingan ’ulum al-hadits dari kedua mazhab itu. Beliau lebih memilih untuk menjelaskan dua perbedaan penting dalam penelitian hadits di antara keduanya yaitu pandangan tentang ’adalat shahabat dan sejarah tadwin al-hadits.

Sunni menetapkan bahwa terhadap sahabat tidak diperbolehkan al-jarh wa al-ta’dil. Syi’ah menetapkan bahwa shahabat juga dapat dikenai al-jarh wa al-ta’dil. Syi’ah membedakan antara shahabat dengan para imam. Perbedaan utama antara Sunni dan Syi’ah hanyalah perbedaan istilah. Apa yang disebut ’udul oleh Sunni disebut Ishmah oleh Syi’ah. Sunni menetapkan Ishmah (kemaksuman) pada seluruh sahabat, sedangkan Syi’ah hanya menetapkan Ismah kepada 14 orang suci termasuk Rasulullah Saw.

Dalam hal tadwin, Ahli Sunnah selama hampir dua abad melarang penulisan hadits. Syi’ah mempunyai tradisi penulisan hadits sejak Imam Ali as sampai kepada para Imam berikutnya. Karena fanatisme mazhab, perbendaharaan hadits syi’ah ini, tidak sampai kepada para pengikut Ahli sunnah. Tentu saja diperlukan studi kritis yang terus menerus terhadap, baik hadits-hadits ahli sunnah maupuan hadits-hadits syi’ah.

Wa’alaL Allah tawakkaltu wa ilayhi unib.

Sumpah Talak

  Sumpah Talak
  Ketahuilah bahwa talak ghayr munjiz terbagi ke dalam dua bagian berikut:

I. Talak mu’allaq

2. Sumpah talak (hilf bi ath-thaaiq)

Keduanya merupakan jenis ghayr munjiz. Perbedaan di antara keduanya adalah bahwa kalau yang dimaksud dengan ta’liq (talak mu’allaq) itu adalah dorongan atau larangan untuk melakukan sesuatu. Jenis ini dinamakan sumpah talak (hilf bi ath-thalaq), seperti suami yang mengatakan kepada istrinya, “Jika engkau masuk rumah maka engkau ditalak” atau “Jika engkau tidak masuk ke dalam rumah, engkau ditalak.” Atau, hal itu dimaksudkan untuk membenarkan orang yang membawa berita, seperti ucapannya, “Engkau ditalak jika Zaid tidak datang” atau “Istriku ditalak kalau di dalam tasku terdapat barang haram”.

Adapun jika terjadi ta’liq tetapi tidak ada dorongan atau ada larangan untuk melakukan perbuatan, dan tidak pula ada peringatan untuk mempercayai orang yang membawa berita, hal itu dinamakan talak mu’allaq. Contohnya ucapan: “Engkau ditalak jika matahari terbit”; “Engkau ditalak jika orang yang berhaji telah datang”; atau “Engkau ditalak jika sultan tidak datang”. Maka itu merupakan syarat murni, bukan sumpah, karena hakikat al-hilf adalah sumpah.

 

Ta’liq talak berdasarkan syarat dinamakan hilf tajawwuz karena bergabungnya hilf dalam arti yang sudah dikenal, yaitu dorongan, larangan, atau penegasan berita, seperti ucapan: “Demi Allah, sungguh aku tidak akan bekerja”; “Tidak, demi Allah, aku tidak akan bekerja”; “Demi Allah, aku telah bekerja”; atau “Demi Allah, aku tidak bekerja”. Jika talak itu tidak mengandung pengertian ini maka ia tidak dinamakan hilf

 

As-Sabki berkata: Talak mu’allaq itu ada yang dikaitkan dengan sumpah dan ada pula yang dikaitkan dengan bukan sumpah. Talak mu’allaq yang tidak dikaitkan dengan bukan sumpah adalah seperti ucapan: “Jika tiba awal bulan maka engkau ditalak” atau “Jika engkau memberikan kepadaku seribu maka engkau ditalak”.

Sedangkan talak mu’allaq yang dikaitkan dengan sumpah adalah seperti: “Jika engkau berkata dengan si fulan maka engkau ditalak” atau “Jika engkau masuk ke dalam rumah maka engkau ditalak”. Inilah yang dimaksud dengan dorongan, larangan, atau pembenaran. Apabila talak itu dikaitkan dengan aspek ini, lalu apa yang disyaratkan itu terjadi, maka jatuhlah talak.

Inilah mazhab majoriti Ahlusunah kecuali mereka yang menyimpang, dan akan ditunjukkan. Mazhab-mazhab yang menyimpang itu membolehkan talak tanpa hilf baik yang ditunjuk kan dengan lafaz, tulisan, terang-terangan maupun sindiran. Misalnya, “Engkau haram bagiku”; “Engkau telah dibebaskan”; “Pergilah, kemudian nikahlah (dengan orang lain)”; “Talimu di atas bahumu”; “Pergilah kepada keluargamu”; dan redaksi-redaksi lainnya.

Yang penting disebutkan adalah bahwa mereka telah memenuhi berlembar-lembar buku dengan pembahasan tentang macam- macam talak mu’allaq, terutama jenis yang khusus ini. Yakni, sumpah talak. Mereka mengemukakan pendapat-pendapat dan fatwa-fatwa yang tidak ada penjelasannya sedikit pun dari Al- Qur’an dan sunah. Orang yang merujuknya pasti mengetahui bahwa talak bagi mereka merupakan permainan. Laki-Iaki mempermainkannya dengan berbagai bentuk.

Jika Anda merasa ragu terhadap apa yang dikemukakan ini, silakan membaca dua kitab yang terkenal:  

I. Al-Mughni yang ditulis oleh Muhammad bin ‘Abdullah bin Ahmad bin Muhammad bin Qudamah (wafat tahun 620 H.). Kitab ini merupakan kitab fiqih yang paling lengkap dalam mazhab Hanbali dengan tarjih terhadap pendapat-pendapatnya dengan dalil yang memuaskan mereka. la telah mengkhususkan 45 halaman dari kitabnya dengan memuat redaksi-redaksi seperti ini.

2. Al-Fiqh ‘Ala al-Madzahib al-Arba’ah yang ditulis oleh Syekh ‘Abdur Rahman al-Jaziri. la telah menulisnya untuk menjelaskan fiqih dengan metode yang terbaru daripada yang sudah ada. Di samping itu, ia telah mengkhususkan beberapa halaman dari kitabnya ini dengan memuat bentuk-bentuk talak. Berikut ini beberapa contoh di antaranya sehingga Anda dapat mengetahui kebenaran apa yang dikemukakan. Huraian berikutnya akan dikutip dari kitab pertama.

a. Jika seorang laki-Iaki berkata kepada dua orang istrinya, “Setiap kali aku bersumpah untuk menceraikan kamu berdua maka berarti kalian telah ditalak.” Kemudian ia mengulang kalimat itu hingga dua kali. Maka kepada masing- masing istrinya itu telah jatuh talak tiga.

b. Jika seorang laki-laki berkata kepada salah seorang di antara kedua istrinya, “Jika aku bersumpah untuk menceraikanmlu maka kepada madumu itu jatuh talak.” Seperti itu pula ia mengatakan kepada istrinya yang lain.

c. Jika seorang laki-laki memiliki tiga orang istri, lalu ia berkata, “Jika aku bersumpah untuk menceraikan Zainab maka kepada ‘Umarah jatuh talak.’! Kemudian ia berkata, “Jika aku bersumpah untuk menceraikan ‘Umarah maka kepada Hafshah jatuh talak.” Kemudian ia berkata, “Jika aku bersumpah untuk menceraikan Hafshah maka kepada Zainab jatuh talak.” Jika ia menempatkan ‘Umarah di posisi Zainab, maka yang tertalak adalah Hafsah. Kemudian apabila ia mengulangnya setelah itu maka kepada salah seorang di antara mereka jatuh talak.

d. Jika seorang laki-laki mensyaratkan talak itu pada beberapa sifat, lalu sifat-sifat itu berkumpul pada satu hal maka setiap sifat jatuh pada apa yang disyaratkan. Seperti itu pula kalau sifat-sifat itu didapatkan berlainan. Demikian pula pembebasan perbudakan (al-‘itaq). Kalau ia mengatakan kepada istrinya: “Jika engkau berkata kepada seorang laki-laki maka engkau ditalak”; “Jika engkau berkata dengan laki-laki yang tinggi maka engkau ditalak”; dan jika engkau berkata dengan laki-laki yang hitam maka engkau ditalak”. Kemudian perempuan itu berkata dengan laki-iaki yang hitam dan tinggi maka jatuhlah kepadanya talak tiga.

Masih banyak lagi bentuk-bentuk talak yang jika dikutip semuanya hanya akan membuang-buang waktu dan kertas. Kebalikan dari mereka, para imam ahlulbait tidak menyebutkan untuk talak kecuali satu redaksi saja. Bakir bin A’yun meriwayatkan hadis dari al-Baqir as atau ash-Shadiq as: “Dalam talak itu hanya berlaku ucapan seorang laki-laki kepada istrinya, ‘Engkau ditalak.’ Hal itu disaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Segala sesuatu di luar itu hanyalah permainan belaka.”

Meskipun yang berlaku di kalangan Ahlusunah adalah jatuhnya talak dengan sumpah, kita menemukan di antara para sahabat dan tabi’in terdapat orang-orang yang mengingkari hal tersebut dan memandangnya sebagai kebatilan. Mereka diikuti para ulama kontemporer dari kalangan Zhahiriyyun, seperti Ibn Hazm dan Ibn Tamiyah dari mazhab Hanbali.

Ibn Hazm berkata: Yang sah di kalangan ulama salaf adalah kebalikan dari itu (yakni, jatuhnya talak dengan sumpah).

I. Kami meriwayatkan hadis melalui Hammad bin Salamah dari al-Hasan: Seorang laki-laki menikahi seorang perempuan. Sementara. itu, ia hendak bepergian jauh. Maka keluarga istrinya mengambil perempuan itu dan memaksa: laki-laki itu mengatakan bahwa jatuh talak kepadanya jika ia tidak mengirimkan nafkah hingga jangka waktu satu bulan. Tibalah jangka waktu yang disebutkan itu, tetapi laki-laki tersebut tidak mengirimkan nafkah sedikit pun. Ketika laki-laki itu datang, mereka mengadukannya kepada ‘Ali as. Maka ‘ Ali as berkata, “Kalian telah mengancamnya hingga ia menjadikan istrinya tertalak. Kini kembalikanlah perempuan kepada suaminya.”

2. Kami meriwayatkan hadis melalui Abdur Razzaq dari Ibn Juraij dari ‘Atha tentang seorang laki-laki yang mengatakan kepada istrinya, “Engkau ditalak jika aku tidak memadumu lagi.” Jika laki-laki itu tidak kawin lagi hingga ia atau istrinya meninggal, mereka dapat saling mewarisi. Hukum tentang kewarisan itu merupakan tanda tetap berlakunya hubungan tersebut.

3. Melalui ‘ Abdur Razzaq dari Sufyan ats- Tsawri dari Ghailan bin Jami’ dari al-Hakam bin ‘Utaibah: Tentang Seorang laki-laki yang berkata kepada istrinya, “Engkau ditalak jika aku tidak melakukan begini.” Kemudian salah seorang di antara mereka meninggal dunia sebelum perbuatan itu terlaksana. Maka keduanya tetap saling mewarisi.

Tidak dipandangnya talak-tanpa paksaan–0leh Imam’ Ali as dan tetap berlakunya hukum waris dalam dua. riwayat terakhir menunjukkan tidak dianggapnya sumpah dalam talak.

4. Melalui ‘ Abdur Razzaq dari Ibn Juraij: Mengabarkan kepadaku Ibn Thawus dari ayahnya bahwa ia pemah berkata, ” Hilf bi ath- thalaq (sumpah talak) tidak berarti apa-apa.” Saya bertanya, “Bukankah ia memandangnya sebagai sumpah?” la menjawab, “Saya tidak tahu.”

Setelah mengutip riwayat-riwayat tersebut, Ibn Hazm mengatakan, “Mereka itu ‘A1i bin Abi Thalib, Syuraih, dan Thawus) tidak menetapkan talak bagi orang yang bersumpah dalam talak, lalu melanggarnya. la tidak mengetahui, apakah dalam hal itu terdapat sahabat yang memiliki pendapat yang berlainan dengan pendapat ‘Ali. Kemudian ia berkata, “Dari mana Anda membolehkan talak dengan satu sifat, tetapi Anda tidak membolehkan pemikahan dengan satu sifat dan rujuk dengan satu sifat, seperti orang yang mengatakan (kepada istrinya) , “Jika aku memasuki rumah maka istriku yang telah dicerai itu telah aku rujuk.”

Atau, ia mengatakan, “Aku telah menikahimu.” Perempuan itu pun mengatakan ka1imat yang sama. Wa1i mereka juga mengatakan kalimat yang sama. Tidak ada jalan bagi mereka untuk berpisah.

Ibn Taimiyah pemah ditanya tentang sumpah dalam talak. Kemudian ia mengeluarkan fatwa bahwa tidak jatuh talak dengan sumpah tersebut. Akan tetapi, ia berkata, “Wajib dikenakan denda (kafarat) apabila ia belum menceraikannya.” Selanjutnya ia mengatakan bahwa ada tiga pendapat dalam masalah itu di kalangan ulama salaf dan khalaf:

1. Jatuh ta1ak apabila ia melanggar sumpahnya. Inilah yang masyhur di kalangan mayoritas ulama fiqih kontemporer sehingga sebagian di antara mereka meyakini hal itu sebagai ijmak. Oleh karena itu, kebanyakan mereka tidak lagi menyebutkan hujah terhadap hal itu. Padahal, hujah mereka terhadap hal itu adalah lemah. Yaitu, jika diharuskannya satu hal karena sesuatu yang wajib maka wajibnya hal itu karena diwajibkannya sesuatu.

2. Tidak jatuh talak dan ia tidak diwajibkan membayar kafarat. Ini adalah mazhab Dawud dan sahabat-sahabatnya, serta beberapa kelompok Syi’ah. Ibn Taimiyah menyebutkan dalil- dalilnya dari sekelompok ulama salaf. Bahkan pendapat ini dinukil secara jelas dari sekelompok ulama, seperti Ja’far al-Baqir as. Dalam sebuah riwayat disebutkan Ja’far bin Muhammad. Prinsip mereka, bahwa sumpah talak, ‘itaq dan zihar adalah seperti sumpah dengan makhluk-makhluk yang lain.

3. Pendapat yang paling sahih adalah yang ditunjukkan Al-Qur’an dan sunah. Yang jelas, ini merupakan salah satu bentuk dari sumpah-sumpah kaum Muslim. Maka dalam sumpah tersebut berlaku hal-hal yang berlaku dalam sumpah-sumpah kaum Muslim. Yaitu, dikenai kafarat ketika teljadi pe1anggaran kecuali jika orang yang bersumpah itu memilih untuk menjatuhkan talak. Maka ia bo1eh menjatuhkan talak tersebut, dan tidak dikenai kafarat. Ini adalah pendapat sekelompok ulama salaf dan khalaf, seperti Thawus dan lain-lain. Hal itu merupakan tuntutan dalil yang dinukil dari para sahabat Rasulullah saw dalam masalah ini. Hal itu pula yang difatwakan sebagian besar ulama mazhab Maliki dan lain-lain. Sehingga ada yang mengatakan. “Di sebagian besar negara Magribi (Afrika Utara) para ulama mazhab Maliki dan lain-lain memfatwakan demi kian”. Itulah yang ditunjukkan nas-nas dari Ahmad bin Hanbal dan prinsip-prinsip di luar tema ini.

Terdapat beberapa hal berikut yang perlu dibahas:

Pertama, jatuhnya talak dengan ungkapan itu sendiri.

Kedua, keharusan membayar kafarat ketika teljadi pelanggaran. yakni tidak menjatuhkan talak.

Ketiga, apa status istri pada masa ketika yang disyaratkan itu tidak terjadi.

Butir pertama, dalil yang dinukil Ibn Taimiyah dari orang yang berpendapat bahwa jika satu hal diharuskan ketika diwajibkannya syarat, melazimkan suatu perkara ketika wajib adanya syarat maka satu hal itu karena sesuatu yang diwajibkan. Misalnya, diwajibkan jika istri berkata kepada si fulan maka ia ditalak.

Catatan: Kami tidak memiliki dalil mutlak yang mencakup pelaksanaan setiap yang diharuskan seseorang hingga dalam hal-hal yang mungkin Pembuat syariat menjadikan baginya suatu sebab khusus, seperti talak dan pemikahan. Sehingga ketika ada keraguan, yang menjadi rujukan adalah tetap berlakunya hubungan suami-istri hingga ada dalil yang menunjukkan bahwa istri itu keluar dari pemeliharaan suaminya. Ini diambil dari kaidah yang diwariskal1 dari para imam ahlulbayt bahwa keyakinan tidak dapat dihapus dengan keraguan, yang diakui dalam istilah ahli ushul dengan sebutan istishhab.

As-Sabki berkata, “Umat telah membuat ijmak tentang sahnya talak mu’allaq seperti sahnya talak munjiz, karena talak termasuk hal-hal yang dapat menerima ta’liq. Tidak ada yang menentang hal itu kecuali beberapa kelompok Rafidhah. Ketika muncul mazhab Zhahiriyah yang menentang ijmak umat dan mengingkari qiyas, dalam hal itu mereka menyalahinya-hingga katanya: Akan tetapi, ijmak telah mendahului mereka.”

Selanjutnya ia berkata, “Ibn Taimiyah telah keliru dengan menganggap adanya perselisihan dalam masalah ini. la berbohong dan membuat dusta, serta berbuat lancang terhadap Islam. Ijmak umat terhadap ha1 itu telah dinukil dari para imam yang tidak ada keraguan terhadap ucapan mereka dan tidak ada kebimbangan terhadap kebenaran penukilan mereka.”

Bagaimana dapat ditetapkan telah berlakunya ijmak, sementara ‘Ali serta sekelompok besar tabi’in dan para imam ahlulbait menentangnya? Ibn Taimiyah bukanlah orang yang meriwayatkan langsung adanya perselisihan ini. Melainkan ia menukilnya dari Ibn Hazm al-Andalusi, seperti yang diungkapkan dalam surat-suratnya.

Di antaranya terdapat satu surat kepada para ulama Syi’ah Imamiyah. Berikut ini kami kutip teksnya: “Sesungguhnya Syi’ah Imamiyah telah mempersempit lingkup talak hingga pada batasan yang sesempit-sempitnya. Mereka menetapkan batasan yang kaku terhadap suami yang menceraikan dan istri yang diceraikan, serta dalam redaksi talak dan kesaksiannya. Semua itu karena pernikahan merupakan pemeliharaan, kecintaan, kasih sayang, dan perjanjian dari Allah. Allah swt berfirman:

 

Dan sebagian kamu telah bergaul (bercampur) dengan yang lain sebagai suami-istri. Dan mereka (istri-istrimu) telah mengambil dari kamu perjanjianyangkuat. (QS. an-Nisa’ [4]: 21)

Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan untukmu istri-istri dari jenismu sendiri supaya kamu cenderung dan merasa tenteram kepadanya, dan dijadikan-Nya di antaramu kasih dan sayang. (QS. ar-Rum [30]: 21)

Jadi, dalam keadaan apa pun tidak boleh membatalkan pemeliharaan, kecintaan, kasih sayang, dan perjanjian ini kecuali setelah mengetahui secara pasti, tanpa ada keraguan, bahwa syariat telah menguraikan tali pernikahan itu serta membatalkannya setelah meneguhkannya.

Terdapat banyak riwayat dari para imam ahlulbait tentang batalnya talak seperti ini. Bahkan tidak ada perhatian terhadap sumpah ini samasekali. Barangsiapa yang mengambil ajaran agamanya dari para imam ahlulbait, berarti ia telah mengambilnya dari mata air yang jernih. Kami cukupkan dengan menukil sebagian saja hadis dari mereka:

1. AI-Halabi meriwayatkan hadis dari Abu’ Abdullah as. la berkata, “Setiap sumpah yang tidak dimaksudkan untuk mencari keridhaan AIlah dalam talak atau ‘itaq tidak berarti apa-apa.”

2. Seorang laki-Iaki bersama Thariq datang kepada Abu Ja ‘far al- Baqir. la berkata, “Wahai Abu Ja’far, aku telah celaka. Aku bersumpah dalam talak, ‘itaq, dan nazar.” Imam Abu Ja’far menjawab, “Wahai Thariq, ini termasuk langkah-langkah (godaan) setan.

3. Dari Abu Usamah asy-Syaham. la berkata: Aku berkata kepada Abu’ Abdillah as bahwa aku punya kerabat atau nasab yang bersumpah jika istrinya keluar dari pintu maka kepadanya jatuh talak tiga. Istrinya keluar dari pintu rumah. Kemudian ia mengalami kesulitan. La menyuruhku untuk bertanya kepada Anda dan ia akan mendengarnya dariku. Abu ‘Abdillah as berkata, “Suruhlah ia untuk menahan istrinya, karena sumpah itu tidak berarti apa-apa.” Kemudian beliau menoleh kepada sekumpulan orang dan berkata, “Mahasuci Allah. Mereka menyuruh perempuan itu untuk menikah padahal ia masih memiliki suami.”

Mazhab Imamiah/Ja ‘fari dikenal dengan pengingkarannya terhadap tiga hal dalam talak, sebagai berikut:

I. Talak terhadap perempuan yang sedang haid.

2. Talak tanpa dua orang saksi yang adil.

3. Sumpah talak.

Ini semua tentang jatuhnya talak. Berikut ini pembahasan butiran kedua dan ketiga.

Butiran kedua, dikenakannya kafarat atau tidak, memerlukan pembetulan objek yang dikenai kafarat. Kalau dalil tersebut menunjukkan bahwa dikenakannya kafarat itu dari akibat-akibat sumpah dengan lafzhu ljazalah (nama-nama Allah) atau yang setara dengan itu, seperti Rabb dan lain-lain, maka kafarat itu tidak dapat dikenakan pada sumpah talak dan ‘itaq. Namun, masalah tersebut di luar pembahasan kita. Oleh karena itu, kami akan membahasnya di tempat terpisah.

Butiran ketiga, Ibn Hazm mengutip pendapat asy-Syafi’i yang mengatakan, “Talak dan pelanggaran terjadi pada akhir masa-masa hidupnya. Kalau ia mengatakan kepada istrinya, ‘Engkau ditalak jika aku tidak memukul Zaid.’ Maka pelanggaran itu terjadi-jika ia tidak memukul-menjelang kematiannya. Ini artinya perempuan itu masih tetap sebagai istrinya sampai saat menjelang ajalnya itu.” la juga mengutip pendapat Malik yang mengatakan, “la terhalang dari istrinya dan ia berada dalam pelanggaran sampai ia memenuhi sumpahnya.”

Kemudian ia menyanggah kedua imam itu. Ringkasnya-berdasarkan pendapat tentang batalnya talak dengan sumpah tersebut, yang disyaratkan (mu’allaq ‘alayh) itu kadang-kadang berupa sesuatu yang konkret-seperti keluar dari rumah-dan kadang-kadang berupa sesuatu yang tidak konkret- seperti ‘jika aku tidak melakukan …” Berdasarkan kedua ungkapan itu, kadang-kadang ia terbatas dalam waktu tertentu dan kadang-kadang bersifat mutlak, terus-menerus. Kalau hal itu merupakan sesuatu yang konrket maka perempuan itu tetap sebagai istrinya selama sumpah itu tidak terlaksana. Tetapi, jika sumpah itu terlaksana pada waktu tertentu atau mutlak kapan saja-menurut apa yang disyaratkan-maka kepada perempuan itu jatuh talak. Kalau yang disyaratkan itu merupakan sesuatu yang tidak konkret, terbatas dalam waktu tertentu, dan ia tidak melakukannya pada waktu tersebut maka kepada perempuan itu jatuh talak. Kalau terjadi sebaliknya, kepada perempuan itu tidak jatuh talak kecuali pada akhir waktu ketika ia tidak mampu melaksanakannya. Akan tetapi, semua itu merupakan asumsi-asumsi di atas landasan yang gugur.

 

Talak Mu’a1laq

Anda telah mengetahui bahwa talak mu’allaq itu terbagi ke dalam dua bagian. Pertama, yang disifati dengan sumpah talak. Kedua, yang disifati dengan mu’allaq saja. Anda juga telah mengetahui hukum yang pertama, dan berikut ini akan dibahas bagian kedua.

Syarat-syarat itu memiliki beberapa bagian sebagai berikut:

I. Yang bergantung pada keabsahan talak, seperti status perempuan tersebut sebagai istri, dan yang tidak bergantung pada pada keabsahan talak, seperti kedatangan Zaid.

2. Yang diketahui keberadaannya oleh laki-laki yang menceraikan ketika melakukan talak, seperti ta’liqnya bahwa hari ini adalah hari Jumat, dan yang lain adalah yang diragukan keberadaannya.

3. Yang disebutkan dalam redaksi (sighat) untuk mendapatkan berkah, tetapi tidak merupakan syarat atau ta’liq, seperti kata “insya Allah”, dan yang disebutkan sebagai taliq yang sebenarnya.

Yang menjadi pembahasan kita adalah bagian pertama. Mazhab Imamiyah telah sepakat tentang batalnya talak mu’allaq itu. Dalilnya yang terpenting adalah nas (Al-Qur’an dan sunah) dan ijmak. Berikut ini penjelasannya.

Batalnya Talak Mu’allaq Berdasarkan Nas dan Ijmak

 

Nas dari para imam ahlulbait menunjukkan batalnya talak mu’allaq. Salah satu dalilnya adalah hadis yang diriwayatkan Bakir bin A’yun dari mereka (para imam) as, bahwa mereka herkata, “Talak itu hanyalah ketika suami berkata kepada istrinya yang dalam keadaan suci dan tidak dicampuri, ‘Engkau ditalak.’ Hal itu disaksikan oleh dua orang saksi yang adil. Segala sesuatu selain itu hanyalah permainan belaka. ”

Adakah penjelasan yang lebih utama daripada ucapan, “Segala sesuatu selain itu hanyalah permainan belaka” bersamaan dengan kemunculan talak mu’allaq, khususnya sumpah talak, pada zaman mereka. Jika ditambahkan dalil lain, yaitu hadis yang diriwayatkan dari mereka tentang batalnya sumpah talak, pastilah hukum itu menjadi jelas dengan sejelas-jelasnya. Sebab, sumpah talak itu merupakan bagian dari talak mu’allaq. Batalnya talak tersebut hanya1ah karena batalnya talak mu’allaq yang mengandung sumpah. Anda telah mengetahui bahwa Imam berkata, “Maha suci Allah, mereka menyuruh perempuan itu untuk menikah, padahal ia masih memiliki suami.”

Adapun dalil ijmak, al-Murtadha berkata, ‘Yang membedakan mazhab Ja’fari dari mazhab-mazhab yang lain adalah pendapatnya bahwa talak itu dita’liq dengan satu bagian dari bagian-bagian perempuan. Yakni, satu bagian yang tidak terkena talak.” Sebaliknya, syekh itu berkata, “Jika (suami) berkata kepada istrinya, ‘Engkau ditalak apabila si fulan datang’, lalu si fulan itu datang. Talak tersebut tidak sah.”

Ibn Idris berkata, “Kami mensyaratkan kemutlakan lafaz itu agar terhindar dari penyertaan syarat.” Orang yang telah memahami fiqih Imamiyah akan menemukan batalnya talak tersebut sebagai sesuatu yang disepakati. la juga menegaskan hal itu: Islam memberikan perhatian terhadap tatanan keluarga yang fundamennya adalah pernikahan dan talak. Hal itu menuntut adanya munjiz, bukan mu’allaq. Sebab, ta’liq itu akan mengakibatkan sesuatu yang tidak terpuji dengan tidak membedakan antara pernikahan dan perceraian. Maka seseordng itu dapat melakukan pernikahan dan perceraian atau tidak. Kalau ia memilih yang pertama, ia menikah atau bercerai. Sedangkan yang kedua, ia diam sehingga setelah itu terjadi sesuatu yang baru.

Ta’liq dalam pernikahan dan perceraian tidak ada kaitannya dengan perkara penting itu. Allah swt berfirman, “Dan kamu sekali-kali tidak akan dapat berlaku adil di antara istri-istri (mu) walaupun kamu sangat ingin berbuat demikian. Karena itu, janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai). Sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara diri (dari kecurangan) maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang. (QS. an-Nisa’ [4]: 129)

Allah swt mengumpamakan perempuan yang tidak ditelantarkan oleh suaminya dengan perempuan yang terkatung-katung yang tidak memiliki suami dan tidak juga janda. Wanita yang dinikahi itu terkatung-katung, atau yang diceraikan juga seperti itu, menyerupai sesuatu yang terkatung-katung yang disebutkan dalam ayat tadi. la tidak memiliki suami, tetapi bukan janda. Benar, kadang-kadang alasan-alasan logis dapat menunjukkan batalnya talak tersebut tetapi ia tidak sempurna. Kami memiliki contoh berikut.

1. Talak mu’allaq dalam hal terpisahnya mansya’ dari in’sya: Sebab, yang diasumsikan adalah talak tersebut tidak sah sebelum terpemuhi syaratnya. Maka harus dipisahkan antara mansya’ dan insya‘. Anda tahu tidak konsistennya dalil tersebut. Karena, terbentuknya mansya’ setelah insya’ dapat terwujud tanpa membedakan antara munjiz dan mu’allaq. Padahal, kadang-kadang mansya’itu berupa munjiz dan kadang-kadang berupa mu’allaq. Faedah insya’adalah kalau mu’allaq itu sah, tidak lagi diperlukan insya‘ yang baru.

2. Lahiriah dalil itu berpengaruh langsung terhadap sebab. Maka persyaratan tertundanya talak sampai terjadi apa yang di-ta’lik- kan itu, bertentangan dengan lahiriah dalil tersebut.

Catatan:

 

Sesungguhnya tidak ada di dalam dalil-daIil itu yang menetapkan hal tersebut. Yang disebutkan dalam dalil-dalil adalah wajibnya memenuhi insya‘. Namun, pemenuhan itu berbeda-beda menurut perbedaan kandungannya. Maka yang utama adalah berdalil dengan nas dan ijmak.

Sumber: Kitab karangan Syeikh Ja‘far Subhani

   

jatuhkah talak ketika haid?

  Talak ketika Haid dan Nifas- Sah atau batal?

 

  Semua ulama fiqih sepakat bahwa ketika diceraikan, perempuan itu harus suci dari haid dan nifas. Dalam hal ini tidak ada perbedaan pendapat. Akan tetapi, mereka berbeda pendapat dalam hal kesucian itu, apakah ia merupakan syarat sahnya talak atau syarat kesempurnaannya. Dengan kata lain, apakah ia merupakan hukum taklifi yang dikenakan kepada laki-laki yang menceraikan, yaitu ia harus melepaskan ikatan ketika perempuan itu suci dari haid dan nifas, sehingga Kalau menyimpang ia berdosa tetapi talaknya sah; atau ia merupakan hukum wadh’i yang mengikat keabsahan talak, sehingga jika tidak begitu talak itu batal? Mazhab Ja’fari/Imamiyah dan sejumlah kecil pengikut mazhab-mazhab fiqih yang lain memilih yang kedua. Sedangkan kebanyakan mazhab yang lain memilih yang pertama.

Berikut ini pembahasan pendapat mereka.

Syekh ath-Thusi dalam Al-Khilaf berkata, “Talak yang haram adalah menceraikan istri yang telah dicampuri ketika ia dalam masa haid atau suci setelah dicampuri. Lalu, apa hukumnya, karena bagi kami talak itu tidak sah. Akad itu tetap berlaku seperti semula. Pendapat ini dikemukakan lbn ‘Aliyyah. Tetapi semua ulama fiqih berpendapat bahwa talak itu sah walaupun dilarang.

Pendapat ini juga dianut oleh Abu Hanifah dan kawan-kawannya, Malik, Al-Awza.i, ats-Tsawri, dan asy-Syafi’i – dalil kami-sebagai ijmak firqah. Prinsipnya adalah tetap berlakunya akad. Sedangkan sahnya talak tersebut memerlukan dalil syar’i. Juga firman Allah swt: fathalliquhunna li’iddatihinna (maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat [menghadapi] iddahnya (yang wajar).Telah diriwayatkan bahwa yang dimaksud adalah liqabla ‘iddtlihinna (sebelum masa iddah mereka). Tidak ada perbedaan pendapat, bahwa maksud ayat itu demikian walaupun tidak boleh dibaca seperti itu. Jika diterima, hal itu menunjukkan apabila talak itu dilakukan selain pada masa suci, talak tersebut haram dan dilarang. Larangan itu menunjukkan buruknya apa yang dilarang.

Akan dijelaskan kepada Anda bahwa ayat tersebut menunjukkan disyaratkannya kesucian dari haid dan nifas (dalam talak).

Ibn Rusyd tentang hukum orang yang melakukan talak pada masa haid, mengatakan, “Para ulama berbeda pendapat dalam bebarapa hal berkenaan dengan hal itu. Mayoritas ulama berpendapat bahwa talaknya sah. Sedangkan ulama yang lain mengatakan bahwa talak itu tidak boleh dilakukan dan tidak sah. Mereka yang berpendapat bahwa talak itu boleh dilakukan mengatakan bahwa ia diperintahkan untuk rujuk. Mereka terbagi ke dalam dua kelompok. Satu kelompok mengatakan bahwa hal itu wajib. la harus dipaksa melakukan itu. Pendapat ini dikemukakan oleh MAlik dan kawan-kawannya. Sedangkan kelompok lain mengatakan bahwa ia dianjurkan untuk melakukan itu, tidak dapat dipaksa. Pendapat ini dikemukakan oleh asy-Syafi’i, Abu Hanifah, ats-Tsawri dan Ahmad.

Al Jaziri memberikan uraian terperinci dan menjelaskan pendapat-pendapat para fukaha dalam kitabnya.

Inilah pendapat-pendapat itu. Namun, pembahasan tersendiri menuntut dikesampingkannya taklid dan melewati jAlan yang disusun kAlangan ulama sAlaf. Mereka berbicara terang-terangan dan tidak takut pada celaan orang-orang yang menyimpang. Mereka tidak takut kecuali kepada Allah. Kalau kita menemukan dalil yang menolak pendapat-pendapat mereka dAlarn Al-Qur’an dan sunah, kedua sumber itulah yang lebih patut diikuti.

 

Argumentasi dengan Al-Qur’an

Allah swt berfirman, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu.

( QS. ath- Thalaq [ 65] : 1 )

Penjelasan kedalilan ayat tersebut bergantung pada penjelasan makna iddah dalam ayat tersebut. Apakah maksudnya tiga kali suci atau tiga kali haid? Perbedaan ini menyebabkan perbedaan yang lain, yaitu dalam menafsirkan kata quru’ dengan kesucian atau haid.

Penjelasannya, para fukaha berbeda pendapat dalam mengartikan firman Allah, “Wanita-wanita yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru”‘ (QS. Al-Baqarah [2]: 228). Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa yang dimaksud dengan quru’ adalah tiga kali suci. Dalam hal itu mereka berpegang pada hadis yang diriwayatkan dari ‘ Ali as: Zurarah meriwayatkan dari Abu Ja ‘far as: Aku berkata, “Semoga Allah memberikan kebaikan kepada Anda. Bolehkan saya mengatakan bahwa quru’ yang disebutkan dalam AI-Qur’an itu berarti suci di antara dua haid, bukan haid itu sendiri?” Imam as menjawab. “Benar”. la juga pernah berkata; “Quru ‘ itu berarti suci: Pada masa itu darah terkumpul. Kemudian, ketika tiba masa haid, darah itu dikeluarkan”

Sedangkan mazhab-mazhab yang lain – kecuali sedikit sekali di antara mereka, seperti Rabi’ah-berpendapat bahwa yang dimaksud dengan quru’ adalah haid. Di sini bukan tempatnya untuk membahas masalah tersebut. Melainkan kami ingin menjelaskan bahwa-berdasarkan kedua mazhab-ayat tersebut menunjukkan disyaratkannya kesucian ketika dilakukan talak. Setelah menge tahui bahwa orang yang membolehkan talak pada masa haid mengatakan bahwa haid tersebut tidak dipandang sebagai bagian dari quru’, kami katakan sebagai berikut.

Jika kita katakan bahwa yang dimaksud dengan iddah dalam firman Allah Swt: li’iddatihinna adalah tiga kali suci maka huruf lam di situ berarti menunjukkan tujuan (ghayah) dan sebab (ta’lil). Maka arti ayat tersebut menjadi: “Maka ceraikanlah mereka agar mereka menunggu masa iddah”. Asalnya, tujuan itu disebutkan tepat di akhir kalimat itu tanpa pemisah-selama tidak ada dalil lain yang menunjukkan sebaliknya.

Misalnya, firman Allah swt, “Dan Kami turunkan kepadamu Al-Qur’an agar kamu menerangkan kepada umat manusia apa yang telah diturunkan kepada mereka” (QS. an-Nahl [16]: 44); “Dan Kami tidak menurunkan kepadamu Alkitab (Al-Qur’an) ini melainkan agarkamu dapat menjelaskan kepada mereka apa yang mereka perselisihkan itu” (QS. an-Nahl [16]: 64). Kemungkinan, huruf tam itu menunjukkan akibat (lil ‘aqibah) yang kadang- kadang di situ memisahkan antara tujuan (ghayah) dan bagian akhirnya, seperti firman Allah SWT, “Maka dipungutlah ia oleh keluarga Fir’aun yang akibatnya dia menjadi musuh dan kesedihan bagi mereka” (QS. Al-Qashash [28]: 8) tidaklah benar. Sebab, penggunaannya dalam sesuatu yang jika hasilnya dipahami pada bagian akhirnya merupakan akibat yang dipaksakan, bukan akibat yang muncul dengan sendirinya seperti yang tertera dalam ayat itu, seperti ucapan mereka, Ladu lil mawt wabnu lil khardb (tumbuhkanllah yang mati dan bangunlah yang rusak) .

Jika kami katakan bahwa iddah dalam ayat tersebut berarti tiga kali haid, padahal masa haid saat dilakukannya talak tidak dipandang sebagai iddah menurut kesepakatan mereka yang berpendapat bolehnya talak pada masa haid, maka perintahnya di situ berarti permainan belaka dan menyegerakan sesuatu tanpa tujuan. Pada saat seperti itu, para mufasir tidak menemukan solusi kecuali dengan menganggap adanya kalimat yang tersembunyi, seperti mustaqbilatin li ‘iddatihinna (mereka dapat menghadapi masa iddah mereka). Misalnya,-dalam ucapan mereka: Laqaytuhu li tsalats minasy syahr (Saya menemuinya tiga bulan lagi).” Maksudnya tiga bulan mendatang. Berarti hal itu menunjukkan jatuhnya talak pada masa suci. Hal itu karena apabila iddah itu berarti haid maka sebclumnya berarti lawannya, yaitu kesucian.

Dari situ kami menyimpulkan bahwa secara lahiriah ayat tersebut berkenaan dengan disyaratkannya kesucian dari haid dalam sahnya talak.

Kemudian, sebagian peneliti menyebutkan hikmah dalam larangan talak pada masa haid. Yaitu, hal tersebut memperpanjang masa iddah bagi perempuan. Sebab, jika ia sedang haid, haidnya tidak dihitung sebagai bagian dari masa iddah. Maka ia harus menunggu hingga suci dari haidnya dan menyempumakan masa sucinya. Kemudian ia memulai menghitung masa iddah dari haid berikutnya.

Ini berdasarkan mazhab-mazhab Ahlusunah dalam menafsirkan kata quru’ dan pada gilirannya menafsirkan iddah dengan masa haid. Adapun menurut mazhab Imamiyah, quru ‘ ditafsirkan sebagai masa suci. Maka harus dikatakan, “Jika peempuan itu sedang haid, haidnya itu tidak dihitung sebagai bagian dari masa iddah. Maka ia harus menunggu hingga suci dari haidnya, dan iddah dimulai pada hari ia suci dari haid tersebut.”

Bagaimanapun, mereka sepakat bahwa masa haid saat dijatuhkannya talak tidak dihitung sebagai bagian dari masa iddah baik dengan disyaratkannya kesucian maupun tidak dihitungnya iddah dari haid tersebut. Sehingga masa iddah bagi perempuan itu menjadi panjang baik permulaannya adalah masa suci maupun masa haid berikutnya.

Argumentasi dengan Sunah

 

Banyak hadis diriwayatkan dari para imam ahlulbait yang mensyaratkan kesucian. Al-Kulaini meriwayatkan hadis dengan sanad sahih dari Abu Ja’far Al-Baqir as: “Setiap talak tanpa iddah (sunah) bukanlah talak. Yaitu, perempuan ditalak dalam masa haid, masa nifas, atau setelah digauli sebelum mengalami haid. Karenanya talaknya tidak sah.”

Ini menurut faham Syi’ah. Adapun menurut faham Ahlul Sunah, yang penting bagi mereka dalam mensahihkan talak pada masa haid adalah riwayat dari ‘Abdullah bin ‘Umar yang menceraikan istrinya ketika sedang mengalami haid: Hadis itu telah dikutip dengan berbagai redaksi, di antaranya sebagai berikut.

Pertama, hadis yang menunjukkan tidak dipandang sah talak tersebut. Berikut ini penjelasannya.

I. Abu az-Zubair ditanya tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya dalam masa haid. la menjawab, :Abdu1lah bin ‘Umar ra menceraikan istrinya dalam masa haid pada zaman Rasulullah saw” Umar ra memberitahukan kepada Rasulullah saw, “Abdullah bin ‘Umar menceraikan istrinya dalam masa haid” Nabi saw menjawab, “Hendaklah ia kembali kepada istrinya” la mengembalikannya kepadaku dan berkata, ‘Jika ia telah suci, maka ceraikanlah ia atau tahanlah” Ibn ‘Umar berkata, Nabi saw membaca ayat, “Hai Nabi, apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar)” (QS. Ath- Thalaq [65]: I). Yakni, sebelum berakhir masa iddahnya.

2. Abu az-Zubair meriwayatkan: Aku bertanya kepada Jabir tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya ketika sedang haid. la menjawab, “Abdullah bin ‘Umar menceraikan istrinya dalam masa haid. Kemudian ‘Umar menemui Rasulullah saw dan memberitahukan hal itu. Rasulullah saw menjawab, ‘Hendaklahnya ia kemblli kepadanya karena ia masih merupakan istrinya.”‘

3. Nafi’, budak Ibn ‘Umar, meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Umar bahwa ia berkata tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya dalam masa haid. Ibn ‘Umar berkata, “Talaknya tidak sah.”

Kedua, hadis yang berisi penjelasan bahwa talak tersebut dipandang sebagai talak yang sah walaupun diharuskan mengulangi talaknya. Berikut ini kutipannya.

1. Yunus bin Jubair berkata: Aku bertanya kepada Ibn ‘Umar, “Seorang laki-laki menceraikan istrinya dalam masa haid.” la menjawab, “Engkau tahu ‘Abdullah bin ‘Umar?” Saya jawab, “Ya.” la berkata, “‘Abdullah bin ‘Umar pernah menceraikan istrinya dalam masa haid. Kemudian ‘Umar ra menemui Nabi saw dan menanyakan hal itu kepadanya. Kemudian beliau memerintahkan Ibri ‘Umar agar kembali kepada istrinya dan menceraikannya dalam masa ‘iddahnya.” Aku bertanya, “Apakah talak tersebut dipandang sah?” Ia menjawab, “Ya.” la berkata, ” Apakah kamu menganggap dia itu sudah pikun dan bodoh?”

2. Yunus bin Jubair berkata: Aku berkata kepada Ibn ‘Umar bahwa seorang laki-laki menceraikan istrinya dalam masa haid. la menjawab, “Tahukah engkau Ibn ‘Umar? la menceraikan istrinya dalam masa haid. Kemudian ‘Umar bertanya kepada Nabi saw Maka beliau memerintahkan agar Ibn ‘Umar kembali kepada istrinya.” Aku bertanya, “Apakah talak tersebut dipandang sah?” la menjawab, “Mengapa tidak? Apakah engkau menganggap bahwa ia sudah pikun dan bodoh?”

3. Yunus bin Jubair berkata: Aku mendengar Ibn ‘Umar berkata, ” Aku pemah menceraikan istriku ketika ia sedang haid. Kemudian ‘Umar bin Al-Khaththab ra menemui Nabi saw dan memberitahukan hal itu. Nabi saw bersabda, “Hendaklah ia kembali kepada istrinya. Apabila ia telah suci, silakan ia menceraikannya.” Yunus berkata: Kemudian aku bertanya kepada Ibn ‘Umar, “Apakah engkau menganggapnya sah?” la menjawab, “Apa yang mencegahnya? Apakah engkau mengira bahwa ia telah pikun/nyanyuk dan bodoh?”

4. Anas bin Sirin berkata: Aku pernah mendengar Ibn ‘Umar berkata, ” Aku menceraikan istriku dalam masa haidnya. Kemudian ‘Umar memberitahukan hal itu kepada Nabi saw. Maka beliau bersabda, “Hendaklah ia kembali kepada istrinya. Apabila ia telah suci dari hadinya, silakan ia menceraikannya.” Anas berkata: Aku bertanya kepadanya-yakni kepada Ibn ‘Umar ra- , ” Apakah engkau menganggapnya sah?” la menjawab, “Mengapa tidak?”

5. Anas bin Sirin berkata: la menyebutkan hadis di atas. Tetapi dalam hadis itu, beliau bersabda, “Hendaklah ia menceraikannya jika ia mau.” Ibn ‘Umar berkata: ‘Umar ra berkata, “Wahai Rasulullah, apakah Anda memandang sah perceraian itu?” Beliau menjawab, “Ya.”

6. Anas bin Sirin berkata: Aku pernah bertanya kepada Ibn ‘Umar tentang perceraiannya dengan istrinya. la menjawab, ” Aku menceraikannya dalam masa haidnya. Hal itu diberitahukan kepada ‘Umar yang kemudian memberitahukannya kepada Nabi saw. Maka beliau bersabda, ‘Perintahkanlah ia agar merujuknya kembali. Apabila istrinya telah suci dari haidnya, silakan ia menceraikannya. ‘ Aku merujuknya, lalu menceraikannya setelah ia suci dari haidnya.” Anas bin Sirin bertanya, ” Apakah Anda menganggap sah perceraian dengan istrimu ketika ia sedang haid?” la mehjawab, “Mengapa aku tidak menganggapnya sah walaupun aku telah tua dan pikun.”

7. ‘ Amir berkata: Ibn ‘Umar menceraikan istrinya yang sedang haid dengan talak satu. Kemudian ‘Umar pergi menemui Rasulullah saw dan memberitahukan hal itu. Beliau memerintahkan kepada ‘Umar, “Jika perempuan itu telah suci dari haidnya, hendaklah Ibn ‘Umar merujuknya. Kemudian ia mengulangi talaknya ketika istrinya sedang dalam masa iddah. Engkau boleh memandang sah talaknya yang pertama.”

8. Nafi’ meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Umar ra bahwa ia menceraikan istrinya yang sedang haid. Kemudian ‘Umar ra menemui Rasulullah saw dan memberitahukan hal itu. Nabi saw memandang talak itu sebagai talak satu.

9. Sa’id bin Jubair meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Umar ra : “Dipandang sah talak yang kulakukan itu.”

Ketiga, riwayat-riwayat yang tidak menjelaskan apakah talak itu sah atau tidak.

 

I. Ibn Thawus dari bapaknya: la mendengar Ibn ‘Umar pemah ditanya tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya yang sedang haid. la menjawab, “Tahukah engkau ‘Abdullah bin ‘Umar?” la menjawab, “Ya.” Kemudian Thawus berkata, “la pernah menceraikan istrinya yang sedang haid. Kemudian ‘Umar ra pergi menemui Nabi saw dan memberitahukan hal itu. Beliau memerintahkan agar Ibn ‘Umar kembali kepada istrinya.” Thawus berkata, “Saya mendengar tidak lebih dari itu.”

2. Manshur bin Abi wa’il: Ibn ‘Umar menceraikan istrinya yang sedang haid. Kemudian Nabi saw memerintahkan kepadanya agar merujuknya kembali hingga ia suci dari haidnya. Apabila istrinya telah suci, ia boleh menceraikannya.

3. Maimun bin Mihran dari Ibn ‘Umar bahwa ia menceraikan istrinya yang sedang haid. Maimun bin Mihran berkata, “Kemudian Rasulullah saw memerintahkannya agar ia kembali kepada istrinya hingga ia suci dari haidnya. Apabila istrinya telah suci, ia boleh menceraikannya atau menahannya jika mau sebelum mencampurinya.”

Terdapat satu riwayat lagi yang memiliki pengertian khusus yang berbeda dengan riwayat-riwayat lainnya, yaitu riwayat dari Nafi: ‘Abdullah bin ‘Umar menceraikan istrinya yang sedang haid pada zaman Rasulullah saw. Kemudian ‘Umar bin Al-Khaththab menanyakan hal itu kepada Nabi saw. Beliau saw menjawab, “Hendaklah ia kembali kepada istnnya. Hendaklah ia menahannya hingga istrinya suci dari haidnya, kemudian mengalami haid, kemudian suci lagi. Jika mau, ia boleh menahannya setelah itu atau menceraikannya sebelum digauli. Itulah iddah yang diperintahkan Allah agar perempuan diceraikan pada waktu itu.

Setelah menyebutkan riwayat-riwayat di atas, kami akan bahas kelompok riwayat yang lebih kuat (rajih) setelah mengetahui sanggahan-sanggahan yang ditujukan pada masing-masing riwayat dan jawabannya.

Menyelesaikan Kontradiksi

Tidak diragukan, riwayat-riwayat itu berkisar tentang satu kisah tetapi dalam bentuk yang berlainan. Maka hujahnya berkisar antara bentuk-bentuk tersebut. Yang lebih kuat adalah yang pertama karena sesuai dengan Al-Qur’an. Itulah hujah yang qath’i. Sedangkan yang bertentangan dengan Al-Qur’an tidak dapat dijadikan hujah. Maka yang dapat diamalkan adalah yang pertama.

Bentuk ketiga dapat dirujukkan pada bentuk pertama karena tidak menyebutkan masa ‘iddah dan sah. Benar, di situ disebutkan rujuk yang kadang-kadang dipahami sebagai rujuk setelah talak yang menunjukkan bahwa talak itu sah. Padahal, talak itu tidak berarti apa-apa.

Yang dimaksud dengan rujuk di situ adalah dalam pengertian bahasa, bukan rujuk kepada perempuan yang telah ditalak raj’i. Hal itu ditegaskan Al-Qur’an yang menggunakan kata radd dan imsak. Allah swt berfirman, “Dan suami-suaminya berhak merujukinya (bi raddihinna) ” (QS. Al-Baqarah [2]: 228)

Talak itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi (fa imsak) dengan cara yang ma’ruf (QS. Al-Baqarah [2]: 229)

Maka rujukilah mereka (faamsikuhunna) dengan cara yang ma’ruf (QS. Al-Baqarah [2]: 231)

Dan janganlah kamu merujuki mereka (la tamsikuhunna ) untuk memberi kemudharatan (QS. Al-Baqarah [2]: 231)

Benar, penggunaan kata raj’ah (rujuk) dalam talak tiga adalah jika ia menikah lagi dengan laki-laki lain lalu bercerai. Allah swt berfirman, “Kemudian jika suami mentalaknya (sesudah talak yang kedua) maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu mencerai- kannya maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali.(QS. Al-Baqarah [2]: 230)

Kini, akan dibahas nas-nas yang menunjukkan bahwa talak itu dipandang sah, dari bentuk kedua. Untuk itu, perhatikan catatan-catatan berikut:

1. Penyimpangannya dari Al-Qur’an dan menunjukkan tidak adanya anggapan bahwa talak itu sah.

2. Sebagian besar riwayat yang menyebutkan bahwa talak itu sah tidak dinisbatkan kepada Nabi saw, melainkan hanya dinisbatkan kepada pendapat Ibn ‘Umar. Kalau Nabi saw memerintahkan untuk memandang talak itu sah, tentu Ibn ‘Umar besandar pada perintah itu ketika memberikan jawaban kepada penanya. Tidak bersandarnya Ibn ‘Umar pada ketentuan Nabi saw menunjukkan bahwa hal itu tidak menunjukkan adanya anggapan talak itu dari Nabi saw sendiri. Karenanya, nas-nas ini sejalan dengan nas-nas yang tidak mengemukakan adanya anggapan bahwa talak itu sah.

Sebab, semua riwayat itu menunjukkan tidak adanya ketentuan Nabi saw tentang sahnya talak tersebut. Kesimpulannya, sebagian riwayat tersebut meliputi penisbatan anggapan sahnya talak tersebut kepada Ibn ‘Umar sendiri. Itu bukanlah hujah untuk menegaskan hukum syar’i. Benar, dua riwayat dari Nafi’ dengan dua redaksi yang berbeda menisbatkan adanya anggapan sahnya talak tersebut dalam sAlah satu redaksinya kepada Nabi saw sendiri (riwayat keenam pada bagian kedua). Padahal, yang kedua diriwayatkan dengan redaksi yang lain yang berisi penisbatan kepada Ibn ‘Umar dengan tidak adanya anggapan sahnya talak tersebut (riwayat ketiga dalam bagian pertama) .

Adapun riwayat dari Anas diriwayatkan dengan dua redaksi yang menunjukkan bahwa adanya anggapan sahnya talak tersebut merupakan pernyataan Ibn ‘Umar sendiri, bukan sabda Rasulullah saw (riwayat kempat dan keenam dalam bagian kedua). Dengan redaksi, riwayat itu menisbatkan adanya anggapan sahnya talak tersebut kepada Nabi saw (riwayat kelima dalam bagian kedua) .Karena adanya kerancuan ini. riwayat tersebut tidak dapat menegaskan penisbatan adanya anggapan sahnya talak tersebut kepada Nabi saw.

3. Asumsi tentang sahnya talak tersebut tidak sejalan dengan perintah Rasulullah saw yang menyuruh merujuknya dan menceraikannya pada masa suci. Sebab, mereka yang berpendapat sahnya talak tersebut yang dilakukan dalam masa haid tidak membenarkan dilakukannya talak kedua dalam masa suci sesudahnya. Melainkan mereka mensyaratkan diselinginya kedua masa suci itu dengan saat haid dan dilakukan talak pada masa suci kedua. Karenanya, perintah Nabi saw untuk merujuk dan menceraikannya pada masa suci kedua menafikan adanya anggapan sahnya talak tersebut (yang pertama) adalah benar.

4. Yang masyhur di dalam buku-buku sejarah adalah ‘Umar mencela putranya sebagai tidak mampu melakukan talak. Tampaknya hal itu menunjukkan bahwa apa yang dilakukannya bukanlah talak syar’i.

Setelah memperhatikan semua uraian di atas, jelaslah bahwa tidak benar menisbatkan anggapan sahnya talak tersebut kepada Nabi saw. Yang tampak adalah bahwa nas itu-dengan asurnsi bahwa nas itu ada-tidak mengandung pengertian adanya anggapan sahnya talak tersebut dari Nabi saw. Melainkan hal itu merupakan tambahan-tambahan dan dugaan-dugaan disebabkan kepuasan Ibn Umar atau sebagian perawi hadis itu. Oleh karena itu, redaksi hadis itu menjadi rancu.

Adapun riwayat dari Nafi’ di atas, perhatikanlah. Riwayat itu tidak menunjukkan sahnya talak yang pertama kecuali karena munculnya kata “rujuk” dalam sahnya talak .Anda telah menge- tahui hal itu. Adapun perintah Nabi saw agar talak itu dilakukan pada masa suci kedua setelah diselingi satu kali haid, dalam sabdanya, “Hendaklah ia kembali kepada istrinya. Hendaklah ia menahannya hingga ia suci dari haid kemudian haid lagi dan kemudian suci lagi. Jika kamu mau, tahanlah ia atau ceraikanlah ia sebelum dicampuri. Itu adalah iddah yang diperintahkan agar perempuan diceraikan pada masa tersebut.” Barangkali beliau memerintahkannya setelah berlalu satu kali suci dan satu ha:id. Untuk menghukum laki-laki (suami) yang tergesa-gesa melakukan talak dan menempatkannya tidak pada tempatnya maka ia dipaksa untuk bersabar menunggu satu kali suci dan satu kali haid. Apabila ia menghadapi masa suci kedua, hendaklah ia menceraikan atau menahannya.

Setelah memahami semua itu, kita dapat mentarjih hukum tentang batalnya talak dalam masa haid kaena kerancuan penukilan hadis-hadis dari Ibn ‘Umar, terutama setelah memperhatikan ayat Al-Qur’an yang menunjukkan keharusan dilakukannya talak, itu dalam masa iddah.

 

 

Sumber: Berdasarkan kitab karangan Syeikh Ja‘far Subhani

   

Talak 3 sekaligus: sah atau tidak?

  Talak Tiga Sekaligus- Kajian perbandingan dan ulasan

 

  Di antara masalah-masalah yang menjadi pertanyaan dalam kehidupan, yang berakhir dengan pecahnya keluarga dan putusnya silaturahmi di banyak negara adalah masa1ah disahkannya talak tiga sekaligus: Seseorang mengatakan, “Engkau kucerai dengan ta1ak tiga.” Atau ia mengu1ang-ulang tiga kali berturut-turut dalam satu majlis ucapan, “Engkau kuceraikan.” Kemudian hal itu di pandang sebagai talak tiga yang sebenarnya dan perempuan yang dicerai menjadi haram dinikahi bekas suaminya sebelum dinikahi laki-1aki lain (lalu menceraikannya) .

Dalam talak, menurut kebanyakan pengikut Ahlusunah, tidak disyaratkan dengan satu syarat pun yang dapat menghalangi segera jatuhnya talak, seperti perempuan tidak sedang dalam masa haid, tidak suci setelah bercampur, atau keharusan hadirnya dua orang saksi yang adil. Kadang-kadang kebencian dan kemarahan telah menguasai diri suami. Kemudian ia menceraikan istrinya dengan ta1ak tiga sekaligus. Sete1ah itu, ia menyesali perbuatannya dengan penyesalan yang sedemikian rupa sehingga seakan-akan bumi ini telah menjadi sempit baginya. Maka ia mencari jalan keluar dari akibat buruk ini. Namun, dari para imam mazhab yang empat dan para pandakwahnya, ia tidak menemukan jalan keluar. Akhimya, ia hanya duduk dalam penyesalan. Pertanyaan baginya hanya membuat ia lari dari fiqih dan fatwa. Justeru itu ia menganggap agama membawa bencana bagi dirinya.

Kita tahu dengan pasti bahwa Islam adalah agama yang mudah dan toleran. Di dalamnya tidak ada kesulitan. Inilah yang mendorong para pendakwah yang ikhlas terus menerus mengkaji masalah ini dengan kajian yang terbebas dari pengaruh pikiran orang-orang yang terbelakang yang menutup pintu ijtihad dalam hukum-hukum syariat; yang jauh dari pengaruh kajian orang- orang yang menuruti hawa nafsu yang ingin menjauhkan umat dari Islam, serta mencegah mereka untuk mengkaji masalah ini dan mencari hukumnya dalam Al-Qur’an dan sunah. Sehingga mereka terasing dari pemikiran yang benar. Padahal, boleh jadi setelah itu Allah menjadikan sesuatu yang baru. Barangkali setelah itu ikatan akan terurai dan mufti (pemberi fatwa) menemukan jalan keluar dari kesempitan yang disebabkan oleh taklid mazhab.

Berikut ini kami kutipkan kepada Anda beberapa pendapat berkenaan dengan masalah tersebut.

 

Ibn Rusyd berkata, “Majoriti fukaha berpendapat bahwa talak dengan mengucapkan kata ‘tiga’’ , hukumnya sama dengan talak tiga. Sedangkan ahlu zahir dan jamaah mengatakan bahwa hukumnya sama dengan hukum talak satu, dan ucapan kata ‘tiga’, itu tidak memiliki konsekuensi apapun.”l

Asy-Syekh ath- Thusi berkata, jika seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak tiga dengan satu lafaz, hal itu merupakan bid’ah dan jatuh talak satu Apabila terpenuhi syarat-syaratnya. Demikian menurut sahabat-sahabat kami. Tetapi di antara mereka ada yang berpendapat bahwa ha1itu sama sekali tidak menimbulkan konsekuensi apa pun. Pendapat itu dianut oleh ‘Ali as dan ahlu zahir. Ath-Thahawi meriwayatkan hadis dari Muhammad bin Ishaq bahwa ia memandang dengan lafaz jatuh talak satu, seperti telah kami katakan. Juga diriwayatkan bahwa Ibn ‘Abbas dan Thawus berpendapat seperti pendapat yang dianut mazhab Imamiyah/Ja’ fari.”

Asy-Syafi’i berkata, “Jika seorang 1aki-1aki menceraikan istrinya dengan talak dua atau talak tiga dalam keadaan suci dan tidak dicampuri, baik dilakukan sekaligus (satu kalimat dengan menyebutkan bi1angan) maupun secara terpisah (satu kalimat diulang-ulang), hal itu mubah, tidak dilarang, dan talak tersebut sah. Di kalangan sahabat yang berpendapat demikian adalah ‘Abdurrahman bin ‘Auf, Mereka meriwayatkan hadis ini dari al-Hasan bin ‘Ali as. Di kalangan tabi’in yang berpendapat seperti ini adalah Ibn Sirin. Sedangkan di kalangan fukaha yang mengikuti pendapat ini adalah Ahmad, Ishaq, dan Abu Tsawr.”

Kaum berkata, ” Apabila seorang laki-laki menceraikan istrinya dalam keadaan suci dengan talak dua atau talak tiga, baik sekaligus maupun secara terpisah, ia telah melakukan perbuatan haram, maksiat, dan dosa. Di kalangan sahabat yang berpendapat demikian adalah ‘Ali as, ‘Umar, Ibn ‘Umar, dan Ibn ‘Abbas. Di kalangan fukaha yang berpendapat seperti ini adalah Abu Hanifah beserta para sahabatnya dan Malik. Tetapi mereka mengatakan bahwa talak itu sah.”

Abu al-Qasim al-Khurqi dalam Mukhtasar-nya mengatakan, “Apabila seorang laki-laki berkata kepada istri yang telah dicampurinya, ‘Engkau ditalak. Engkau ditalak,’ maka jatuh talak dua. Tetapi jika dengan kalimat kedua itu ia bermaksud memahamkan kepada istrinya bahwa telah jatuh talak dengan kalimat pertama, maka jatuh talak satu. Apabila perempuan itu belum dicampuri, maka dengan kalimat pertama itu ia menjadi ba’in. Kalimat sesudahnya tidak memiliki konsekuensi apa pun karena yang berlaku adalah ucapan pertama.”

Ibn Qudamah dalam Syarh ‘ala Mukhtasar al-Khurqi mengatakan, “Apabila seorang laki-laki mengatakan kepada istrinya yang telah dicampuri, ‘Engkau ditalak’ (dua kali) dan ia berniat bahwa dengan ucapan kedua itu jatuh talak dua, maka bagi perempuan itu jatuh talak dua. Tetapi jika dengan ucapan kedua itu ia berniat untuk memahamkan bahwa dengan ucapan pertama itu telah jatuh talak atau hanya untuk menegaskan, maka jatuh talak satu. Apabila ia tidak bemiat deh1ikian, maka ja.tuh talak dua. Pendapat ini dianut oleh Abu Hanifah dan Malik. Hal itu sahih menurut dua qawl asy-syafi’i. Tetapi dalam qawl terakhir ia mengatakan bahwa dengan cara itu jatuh talak satu.”

Al-Khurqi juga dalam Mukhtasar-nya mengatakan, “Kepada istri yang telah dicampuri jatuh talak tiga Apabila suami mengatakan kepadanya kalimat-kalimat seperti, “Engkau ditalak, lalu ditalak, lalu ditalak.” Atau, ‘Engkau ditalak, kemudian ditalak, kemudian ditalak.’ Atau, ‘Engkau ditalak, kemudian ditalak dan ditalak.’ Atau, Engkau ditalak, kemudian di talak, lalu ditalak.’ Ibn Qudamah dalam Syarh-nya mengatakan, “Menjatuhkan talak tiga dengan satu lafaz menuntut jatuhnya talak tersebut sekaligus, seperti kalau suami mengatakan (kepada istrinya) ‘Engkau kucerai dengan talak tiga.’

‘Abdurrahman al-Jaziri berkata, “Laki-laki merdeka memiliki tiga talak. Apabila laki-laki itu menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus dengan mengucapkan, ‘Engkau kuceraikan dengan talak tiga,’ maka menurut mazhab yang empat (Ahlusunah) bilangan yang diucapkannya itu berlaku. Itulah pendapat majoriti ulama. Tetapi pendapat itu ditentang oleh sebagian mujtahid, seperti Thawus, ‘Ikrimah, Ishaq, dan yang terkemuka di antara mereka adalah Ibn ‘ Abbas ra.”

Masih banyak ucapan-ucapan seperti itu yang menunjukkan kesepakatan majoriti fukaha setelah generasi tabi’in tentang berlakunya talak tersebut. Mereka berhujah dengan apa yang didengar. Orang yang terkemuka di antara mereka yang memberlakukan talak tersebut adalah ‘Umar bin al-Khaththab. Talak tiga itu berdasarkan apa yang dilihat dan didengar dari para sahabat. Akan tetapi, kalau Al-Qur’an dan sunah menunjukkan sebaliknya, tentu itulah yang harus diambil dan layak diikuti.

 

Kajian terhadap Ayat-ayat tentang Hal itu

Allah swt berfirman:

Perempuan-perempuan yang ditalak hendaklah menahan diri (menunggu) tiga kali quru’. Tidak boleh mereka menyembunyikan apa yang telah diciptakan Allah dalam rahimnya jika mereka beriman kepada Allah dan. hari akhirat. Dan suami-suaminya berhak merujukinya dalam masa menanti itu jika mereka (para suami itu ) menghendaki ishlah. Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf Akan tetapi, para suami mempunyai satu tingkatan kelebihan daripada istrinya. Dan Allah Mahaperkasa dan Mahabijaksana. (QS. alBaqarah [2]: 228)

 

Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka, kecuali kalau keduanya khawatir tidak akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Jika kamu khawatir bahwa keduanya (suami-istri itu) tidak dapat menjalankan hukum-hukum Allah, maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya. Itulah hukum- hukum Allah, maka janganlah kamu melanggamya. Barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah, mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS. al-Baqarah [2] : 229)

 

Kemudian jika suami menceraikannya (setelah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. Kemudian jika suami yang lain itu menceraikannya, maka tidak ada dosa bagi keduanya (bekas suami pertama dan istri) untuk kawin kembali jika keduanya berpendapat akan dapat menjalankan hukum-hukum Allah. Itulah hukum-hukum Allah, diterangkan-Nya kepada kaum yang (mau) mengetahui. (QS. al- Baqarah [2]: 230)

 

Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir masa iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf, atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula ). Janganlah kamu merujuki mereka untuk memberikan kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. Barangsiapa berbuat demikian, maka sungguh ia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Janganlah kamu jadikan hukum-hukum Allah sebagai permainan. Dan ingatlah nikmat Allah kepadamu, dan apa yang telah diturunkan Allah kepadamu yaitu Al-kitab (Al-Qur’an) dan al-Hikmah (sunah). Allah memberi pengajaran kepadamu dengan apa yang diturunkan-Nya itu. Dan bertakwalah kepada Allah serta ketahuilah bahwasanya Allah Maha Mengetahui segala sesuatu.

(QS. al-Baqarah [2]:-.230)

Kami kutip empat ayat di atas walaupun yang menjadi dalil adalah ayat kedua-untuk dibahas. Tetapi sebelum membahasnya, kami tunjukkan beberapa butir dalam ayat-ayat tersebut.

I. Firman Allah SWT: Dan para perempuan mempunyai hak yang seimbang dengan kewajibannya menurut cara yang ma’ruf adalah kalimat yang universal. Kalimat itu tidak dapat dipahami kecuali dengan penjelasan yang panjang lebar. Kalimat tersebut menunjukkan bahwa hak-hak di antara suami-istri itu bersifat imbal-balik. Perbuatan apa pun yang dilakukan istri kepada suami, maka suami pun harus mengerjakan perbuatan yang sama kepada istri. Mereka-dalam pergaulan-adalah sama dalam hak-hak dan perbuatan. Kehidupan tidak akan menjadi bahagia kecuali masing-masing dari kedua pasangan itu menghormati yang lain dan melaksanakan setiap kewajibannya terhadap yang lain. Istri berkewajiban mengatur rumah dan menjalankan pekerjaan-pekerjaan berkenaan dengannya. Sedangkan suami wajib berusaha dan mempunyai mata pencarian di luar rumah. Inilah prinsip mendasar dalam kehidupan suami-istri yang dikukuhkan dengan fitrah. Nabi saw telah membagi hal itu di antara putrinya Fathimah; dan suami putrinya ‘Ali. Maka urusan di dalam rumah menjadi tanggung jawab putrinya, sedangkan urusan di luar rumah menjadi tanggungjawab suami putrinya.

2. AI-Marrah berarti satu kali, untuk menunjukkan perbuatan satu kali. AI-Imsak (menahan) adalah kebalikan dari al-ithlaq (menceraikan). Adapun at-tasrih berasa1 dari kata as-sarh (melepaskan) berarti al-ithlaq. Karena itu sering dikatakan, saraha al- masyiyah fi al-mar’a (melepaskan binatang temak di padang rumput). Yang dimaksud dengan al-imsak adalah merujuknya untuk memelihara pernikahan. Sedangkan yang dimaksud dengan at-tasrih adalah tidak kembali kepadanya (istri) setelah berakhir masa iddahnya pada setiap ta1ak atau pada talak tiga yang juga merupakan satu bentuk tasrih hanya ada perbedaan da1am makna ka1imat. Tetapi yang paling kuat adalah yang pertama karena secara lahiriah menunjukkan tidak adanya rujuk kepadanya setelah dilakukan talak. Sebab, sebelum berakhirnya masa iddah, istri itu masih berada dalam ikatan dengan suami. Tetapi ketika suami membiarkannya dan tidak merujuknya maka istri itu keluar dari ikatan tersebut.

3. Disyaratkan bahwa imsak (menahan) itu dilakukan dengan baik (ma’ruf) dan tasrih (menceraikan) dilakukan dengan ihsan. Maksudnya, dalam imsak itu cukuplah dengan bertujuan tidak memberikan kemudharatan dengan melakukan rujuk. Adapun memberikan kemudharatan adalah seperti menceraikannya. Setelah berakhir masa iddahnya, suami itu merujuknya lagi. Kemudian iamenceraikannya dan merujuknya lagi. Demikian seterusnya. Dengan cara itu ia bermaksud untuk memberikan kemudharatan. Berdasarkan hal itu, maka imsak harus disertai sikap baik (ma’ruf). Ketika itu, ka1au setelah rujuk ia menuntut kembali apa yang telah diberikannya, hal itu tidak dihitung sebagai perbuatan mungkar yang tidak ma’ruf. Sebab, hal itu bukan berarti memberikan kemudharatan.

Ini berbeda. dengan tasrih. Dalam tasrih tidak cukup dilakukan dengan cara tersebut, melainkan harus disertai sikap ihsan kepada istri itu. Kemudian suami tidak boleh menuntut kembali harta yang telah diberikan kepadanya. Oleh karena itu, Allah swt berfirman, “Tidak halal bagi kamu mengambil kembali dari sesuatu yang telah kamu berikan kepada mereka. “Yakni, tidak halal dalam talak apa pun mengarnbil kembali mahar yang telah kamu berikan kepada mereka kecuali kalau talak itu dilakukan karena khulu ‘. Maka ketika itu tidak ada salahnya istri menebus dirinya dengan mengembalikan mahar itu kepada suaminya.

Allah swt berfirman: Maka tidak ada dosa atas keduanya tentang bayaran yang diberikan oleh istri untuk menebus dirinya menunjukkan adanya keputusan dari pihak istri yang khawatir tidak dapat menegakkan hukum-hukum Allah. Maka dengan mahar itu dan sebagainya ia memberikan tebusan untuk membebaskan dirinya.

4. Pada zaman jahiliah tidak ada ketentuan talak dan rujuk dalam masa iddah baik batas maupun hitungan (jumlah)nya. Karenanya suami sering mempermainkan istri-istrinya dengan talak dan rujuk sekehendak hatinya. Kemudian datang Islam membawa aturan-aturan yang terperinci dan membatasi talak dua kali. Apabila talak kedua itu telah terlewati dan sampai pada talak ketiga, diharamkan bagi suami untuk merujuknya sebelum bekas istrinya itu dinikahi oleh laki-laki lain (kemudian menceraikannya) .

At-Tirmidzi meriwayatkan: Di tengah masyarakat, laki-laki menceraikan istrinya sekehendak hati. Perempuan itu menjadi istrinya kalau suami merujuknya pada masa iddahnya walau- pun ia menceraikannya seratus kali atau lebih. Sehingga seorang laki-laki berkata kepada istrinya, “Demi Allah, aku tidak menceraikanmu sehingga kamu menjadi ba’in bagiku. Aku tidak akan menyayangimu untuk selama-lamanya.” Istrinya bertanya, “Mengapa demikian?” Laki-laki itu menjawab, ” Aku menceraikanmu. Setiap kali masa iddahmu akan berakhir, aku merujukmu.” Kemudian perempuan itu memberitahukan peristiwa itu kepada Nabi saw. Tetapi Nabi saw tidak memberikan jawaban hingga turun ayat Al-Qur’an, “Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali.

5. Para ulama berbeda pendapat dalam menafsirkan firman Allah swt, “Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. ” Sehingga terdapat dua pendapat sebagai berikut:

a. Talak itu dua kali. Pada setiap satu talak dapat dilakukan imsak (menahan) dengan ma’ruf atau tasrih (melepaskan) dengan ihsan. Setelah jatuh talak pertama, laki-laki dapat memilih antara merujuknya setelah memilih untuk menceraikannya, laIu menahannya dan mempergaulinya dengan ihsan atau membiarkan istrinya tanpa dirujuk hingga berakhir masa iddahnya.

Inilah pendapat yang dinukil ath-Thabari dari as-Saddi dan adh-Dhahhak. Kedua orang itu berpendapat bahwa kalimat ath-thalaq marratayn (talak itu dua kali), lalu pada setiap talak itu suami dapat menahannya dengan ma’ruf atau melepasnya dengan ihsan. Kemudian ath-thabari berkata, “Inilah pendapat yang didasarkan pada lahiriah ayat kalau tidak ada hadis yang diriwayatkan Isma ‘il bin Sami’ dari Abu Razin”

Catatan:

 

Penafsiran ini dinafikan dengan digunakannya huruf fa’ di antara kalimat marratayn dan fa imsakun bi ma’rufin. Itu artinya ditempuh salah satu dari dua perbuatan itu setelah dilakukan dua kali talak, bukan di antara kedua talak tersebut. Karenanya, masing-masing dari imsak dan tasrih itu merupakan perbuatan yang dilakukan setelah berlalu dua kali talak.

Benar. Dipahami keharusan melakukan salah satu dari dua perbuatan itu setelah setiap satu talak dari ayat lain. Yakni, firman Allah swt, “Apabila kamu menceraikan istri-istrimu, lalu mereka mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan cara yang ma’ruf atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (juga ). Janganlah kamu rujuki mereka untuk memberi kemudharatan, karena dengan demikian kamu menganiaya mereka. ” (QS. al-Baqarah [2]: 231)7

Agar tidak mengulangi pengertian yang sama dalam masalah itu, maka firman Allah swt: Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik ditafsirkan dengan penafsiran yang lain. Akan dijelaskan kepada Anda kemudian.

b. Setelah menceraikan istrinya dengan talak dua, suami harus lebih banyak memikirkan ihwal istrinya itu daripada yang waktu-waktu sebelumnya. Setelah jatuh talak dua itu, ia akan mengambil sa1ah satu dari dua tindakan, yaitu merujuknya dengan ma’ruf dan hidup bersamanya untuk selama-lamanya atau menceraikannya dengan ihsan melalui ta1ak tiga yang tidak ada rujuk lagi setelah itu untuk selamanya kecua1i da1am kondisi tertentu.

Maka firman Allah SWT: atau menceraikan dengan cara yang baik menunjukkan talak tiga yang tidak ada lagi rujuk sesudahnya dan dengan demikian tasrih itu berlaku.

Di sini ada dua pertanyaan yang dikutip al-Jashshash da1am tafsirnya:

1. Bagaimana menafsirkan firman Allah SWT: Atau menceraikan dengan cara yang baik dengan talak tiga. Padahal, maksud firman-Nya dalam ayat keempat (ayat 231) di atas: Atau ceraikanlah mereka dengan cara yang ma’ruf (pula) ada1ah meninggalkan rujuk. Demikian pula maksud firman-Nya, ” Apabila mereka telah mendekati akhir iddahnya, maka rujukilah mereka dengan baik atau lepaskanlah mereka dengan baik” (QS. ath-Tha1aq [65]: 2) adalah meninggalkannya hingga berakhir masa iddahnya. Jelaslah bahwa maksud firman-Nya: aw sarrihuhunna bi ma’ruf atau firman-Nya: aw fariquhunna bi ma’ruf adalah menceraikannya lagi.

Catatan: Pertanyaan atau sanggahan itu muncul dari kekeliruan pemahaman terhadap substansi. Lafaz itu dalam kedua ayat tersebut digunakan arti sarh (melepaskan) dan ithlaq (menceraikan). Padahal, da1am satu kalimat kata itu berarti talak dan da1am kalimat lain berarti meningga1kan rujuk. Ini tidak dipandang sebagai membedakan makna satu lafaz itu da1am dua kalimat tersebut. Substansinya dalam ayat 229 adalah talak sedangkan da1am ayat 231 ada1ah meningga1kan rujuk. Perbedaan substansi itu tidak menyebabkan perbedaan pengertian.

2. Ta1ak tiga disebutkan da1am urutan berikutnya dalam firman- Nya, “Kemudian jika suami menceraikannya (setelah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. “Ketika itu, firman-Nya: aw tasrihun bi ihsan yang disebutkan sebelumnya harus diartikan dengan pengertian baru, yaitu berlakunya ba’in dengan dua talak setelah ber-akhimya masa iddah.

Kalau tasrihun bi ihsan itu diartikan talak tiga, maka firman-Nya: fa in thallaqaha yang disebutkan sesudahnya berarti talak keempat. Sebab, huruf fa’ litta ‘qib itu menuntut pengertian talak tersendiri setelah talak yang disebutkan sebelumnya.

Jawaban terhadap sanggahan ini jelas sekali. Sebab, pertama tidak ada halangan untuk mcngungkapkannya secara garis besar, dan kedua kemudian menjelaskannya secara terperinci. Maka firman-Nya: fa in thallaqaha adalah penjelasan secara terperinci terhadap kata tasrih setelah menjelaskannya secara garis besar. Penjelasan terperinci itu mencakup hal-hal yang tidak disinggung dalam penjelasan secara garis besar tentang haramnya perempuan itu bagi mantan suamiriya hingga ia dinikahi oleh laki-laki lain. Kalau suami kedua itu menceraikannya atas kehendaknya sendiri, maka tidak ada halangan bagi mereka berdua (perempuan itu dan mantan/bekas suaminya yang pertama) untuk melakukan rujuk dengan akad yang baru jika mereka yakin dapat menegakkan hukum-hukum Allah. Inilah penjelasan terperinci atas firman-Nya: aw tasrihun bi ihsan (atau lepaskanlah ia dengan cara yang baik). Dengan demikian diketahui bahwa firman-Nya fa in thallaqahii tidak merupakan talak keempat.

Ath-Thabari telah meriwayatkan dari Abu Razin: Seorang laki- laki datang kepada Nabi saw. Laki-laki itu berkata, “Wahai Rasulullah, Anda telah membaca firman Allah swt, “Talak (yang dapat dirujuki) itu dua kali. Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik. “Lalu, di manakah talak ketiga? “Rasulullah saw menjawab, “Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau: ceraikan dengan cara yang baik ” merupakan talak ketiga. Benar. Hadis diatas adalah hadis mursal, dan Abu Razin bukan sahabat, melainkan seorang tabi’in.

Akan tetapi, begitu banyak riwayat dari para imam ahlulbait as/Ja’fari bahwa yang dimaksud dengan firman Allah swt: aw tasrihun bi ihsan adalah talak ketiga. Sampai di sini, selesailah penafsiran ayat tersebut. Tampaklah bahwa makna kedua disisipkannya huruf fa’ sangat jelas, bahkan pasti mengingat banyaknya riwayat dari para imam ahlulbait as. Kini akan dibahas penunjukkan ayat itu terhadap batalnya talak tiga dalam arti talak itu tidak sah dengan disebutkannya bilangan “tiga”. Ada pun jatuhnya menjadi talak satu, itu perkara lain.

Dalil Batalnya Talak Tiga Sekaligus

 

Apabila Anda telah memahami makna ayat di atas, ketahuilah bahwa Al-Qur’an dan sunah menunjukkan batalnya talak tiga itu. Sebab, talak itu harus dilakukan satu per satu. Di antara dua talak harus diselangi dengan rujuk atau pernikahan. Kalau talak tiga itu dilakukan sekaligus atau kalimat talak itu diulang-ulang tiga kali, maka tidak jatuh talak tiga. Adapun memandangnya sebagai talak satu, kalaupun benar, itu berbeda di luar pembahasan kita. Berikut ini dalil-dalilnya dari Al-Qur’an dan sunah.

I. Dalil dari AI-Qur’an

1. Firman Allah swt, “Setelah itu boleh rujuk lagi dengan cara yang ma’ruf atau menceraikan dengan cara yang baik.

Telah dijelaskan di atas bahwa terdapat dua pendapat dalam menafsirkan kalimat ini. Di antara mufasir ada yang mengatakan bahwa kalimat itu menjelaskan kalimat sebelumnya yakni Talak itu dua kali dan ada pula yang memandang bahwa kalimat itu merupakan talak tiga yang dijelaskan dalam ayat berikutnya. Anda telah mengetahui mana yang benar. Kalimat itu menunjukkan batalnya talak tiga sekaligus berdasarkan dua alasan berikut.

Alasan pertama, ini jelas. Sebab, arti kalirnat itu adalah bahwa setiap satu talak harus diikuti salah satu dari dua tindakan, yaitu menahannya dengan ma’ruf atau melepasnya dengan ihsan. Ibn Katsir berkata, “Yakni, jika Anda menceraikannya dengan talak satu atau talak dua, dalam hal itu Anda boleh memilih selama dalam masa iddahnya apakah akan merujuknya dengan niat melakukan perbaikan (ishlah) dan kebaikan (ihsan) atau membiarkannya hingga berakhir masa iddahnya. Kemudian ia menjadi ba’in bagi Anda. Anda menceraikannya dengan cara yang baik serta tidak menzalimi haknya sedikit pun dan tidak menimpakan kemudharatan kepadanya.”

Lalu, di mana talak tiga yang tidak dapat diselangi dengan salah satu dari dua tindakan-menahannya atau meninggalkannya hingga berakhir masa iddahnya-baik menceraikannya dengan kalimat: “Engkau kuceraikan dengan talak tiga sekaligus” atau dengan kalimat: “Engkau kuceraikan, engkau kuceraikan, engkau kuceraikan”.

Alasan kedua, walaupun potongan ayat itu menjelaskan talak tiga dan tidak menyinggung dua talak sebelumnya, tetapi kami katakan bahwa ada beberapa ayat yang menunjukkan bahwa kandungannya menjelaskan talak secara mutlak tanpa membedakan antara dua talak pertama dan talak ketiga. Karena kemutlakan itu, talaknya harus diikuti dengan salah satu dari dua tindakan berikut:

  1. a.     menahannya dengan ma’ruf;

 

b. melepaskannya dengan ihsan. Tidak adanya penunjukkan ayat pertama pada dua talak pertama tidak menafikan dipahaminya dua talak tersebut dari dua ayat sebelumnya.

Barangkali kedua ayat itu menjadi satu jalinan karena bertemunya karakteristik dari potongan ayat: fa imsakum bi ma’ruf aw tasrihun bi ihsan dan mengembalikan kandungari kalimat tersebut pada talak secara mutlak. Oleh karena itu kami katakan bahwa, potongan ayat itu menunjukkan keharusan menyertai talak dengan salah satu dari dua tindakan berdasarkan kedua alasan di atas dan dalam keadaan apa pun baik yang menunjukkannya itu potongan ayat tersebut maupun ayat yang lain–seperti yang telah kami jelaskan. Kesimpulan dari semua itu adalah bahwa talak itu harus diikuti dengan salah satu dari dua tindakan merupakan sifat dasar talak yang membolehkan dilakukannya rujuk.

Hal itu akan tampak jelas Apabila kita mengetahui bahwa firman-Nya: fa balaghna ajalahunna (lalu mereka mendekati masa iddahnya) merupakan syarat utama. Jika tidak, sejak suami menceraikan istrinya, yang wajib dilakukan adalah menempuh salah satu dari dua tindakan itu. Akan tetapi, hal itu dibatasi dengan jangka waktu tertentu, yaitu ketika hampir mendekati masa iddahnya. Hal itu karena suami yang dikuasai kebencian dan kemarahan, yang kemarahannya tidak dapat padam kecuali dalam jangka waktu lama, dapat merenungkan ihwal istrinya dan menempuh salah satu dari dua tindakan itu.

   
  Jika tidak, maka sifat dasar hukum syariat fa imsakun bi ma’ruf aw tasrihun bi ihsan menuntut hukum itu berlaku pada segala waktu tanpa mengucapkan redaksi talak tertentu hingga akhir masa itu yang juga berarti berakhirnya masa iddah.

Berdasarkan penjelasan tersebut, potongan ayat itu menunjukkan batalnya talak tiga dan hal itu bertentangan dengan tata cara yang sah dalam talak. Padahal, potongan ayat itu me- nunjukkan pendapat pertama dengan sendirinya dan pendapat kedua dengan dukungan ayat-ayat yang lain.

2. Firman Allah swt: Talak itu dua kali- menyatakan jatuhnya talak satu per satu, tidak sekaligus. Oleh karena itu, Allah swt mengungkapkannya dengan lafaz al-marrah untuk menunjukkan tata cara perbuatan itu dilakukan satu per satu. Selain itu, kata ad-daf’ah, al-karrah, dan an-nazlah adalah seperti al-marrah baik dalam pola (wazan), makna, maupun ungkapan.

Berdasarkan penjelasan ini, kalau suami mengatakan kepada istrinya, “Engkau kuceraikan dengan talak tiga sekaligus,” ia tidak menceraikan istrinya satu talak demi satu talak. la juga tidak menceraikannya dengan dua talak. Melainkan ia menceraikannya dengan talak satu. Adapun kata “tiga ” yang diucapkannya tidak berarti pengulangan kalimat itu tiga kali. Hal itu ditunjukkan furu’ fiqih, bahwa tidak seorang ahli fiqih pun yang mengatakan bahwa pengulangan itu sama dengan menyebutkan bilangan lebih dari satu.

Misalnya, di da1am li’an disyaratkan mengulangi sumpah (kesaksian) sebanyak 4 kali, karenanya, tidaklah memadai dengan hanya mengucapkan 1 sumpah, lalu digenapkan dengan mengucapkan bilangan “empat”. Kalimat-kalimat dalam azan dibaca dua kali-dua kali. Karenanya tidak boleh seseorang membacanya satu kali dengan menambahkan kata “dua kali”. Kalau orang yang bersumpah mengatakan, ” Aku bersumpah demi Allah, dengan lima puluh kali sumpah, bahwa orang inilah pembunuhnya,” sumpahnya dihitung sebagai satu sumpah. Kalau orang yang mengaku berzina mengatakan, ” Aku mengaku empat kali bahwa aku telah berzina,” pengakuannya dihitung sebagai satu pengakuan. Dan seterusnya dalam kes-kes yang memerlukan pengulangan, tidak cukup dengan menyebutkan bilangan.

Al-Jashshash berkata, “Talak itu dua kali. Sudah tentu, hal itu menuntut pemisahan. Sebab, kalau seseorang menceraikan istrinya dengan talak dua sekaligus, tidak cukup dengan me- ngatakan, ‘Engkau kuceraikan dua kali.’ Seperti itu pula seseorang yang membayarkan uang dua dirham kepada orang lain, tidak cukup dengan mengatakan, Aku bayarkan kepada- mu dua kali.’ Melainkan ia harus menjelaskan pembayaran itu. Kalau demikian halnya, kalau hukum yang dimaksud dalam lafaz itu adalah yang berkaitan dengan dua talak dengan ada- nya kesempatan rujuk, tentu hal itu menyebabkan gugurnya faedah penyebutan kata marratayn (dua kali). Sehingga hukum itu berlaku dalam satu kali walaupun ia mentalak dua kali sekaligus. Dengan demikian ditegaskan bahwa penyebutan marratayn adalah perintah menjatuhkan talak itu dua kali dan larangan menggabungkannya sekaligus.”

Ini semua jika talak tiga itu dilakukan dengan satu redaksi sekaligus. Adapun jika redaksi itu diulang seperti yang Anda ketahui, kadang-kadang orang-orang awam tertipu. Mereka mengatakan bahwa pengulangan redaksi itu sesuai dengan ayat tersebut padahal, dari sisi lain hal itu tertolak.

Redaksi kedua dan ketiga yang diucapkan adalah batal, karena hal itu tidak berkaitan dengan talak. Sebab, talak itu adalah untuk memutuskan hubungan suami-istri. Tidak ada lagi hubungan suami-istri setelah diucapkan redaksi pertama dan tidak ada lagi ikatan yang sah.

Dengan kata lain, talak itu adalah suami memutuskan hubungan suami-istri, hal itu tidak akan terwujud tanpa ada hubungan yang diakui masyarakat. Jelaslah bahwa perempuan yang ditalak-dengan redaksi kedua dan ketiga-tidaklah dipandang telah ditalak.

Kadang-kadang dikatakan bahwa perempuan yang ditalak itu masih berada dalam ikatan dengan mantan suaminya, dan hukumnya seperti hukum suami-istri. Ketika itu, redaksi kedua dan redaksi ketiga berpengaruh terdapat hukum tersebut. Akan tetapi, jawaban atas sanggahan ini jelas sekali. Hal itu karena redaksi kedua merupakan permainan saja, dan setelah itu istri tersebut masih dipandang sebagai istri. la akan keluar dari ikatan itu jika talak itu menjadi talak ba ‘in, yang terwujud melalui talak tiga.

Alhasil, jenis talak tiga seperti ini tidak dapat dilakukan dengan menyebutkan bilangan tertentu yang merupakan tema ayat berikutnya, yakni Firman-Nya, “Kemudian jika suami menceraikannya (setelah talak kedua), maka perempuan itu tidak halal lagi baginya hingga dia kawin dengan suami yang lain. ” Bagaimana tidak? Rasulullah saw pemah bersabda, “Tidak ada talak kecuali setelah pernikahan.” Di tempat lain beliau bersabda, “Tidak ada talak sebelum pernikahan.”

Berbilangnya talak merupakan jaminan untuk melaksanakan akad pernikahan di antara dua talak walaupun dengan rujuk. Kalau hal itu tidak dilakukan di antara dua talak itu, tentu mengatakan talak itu menyerupai permainan. As-Sammak berkata, “Pernikahan itu adalah ikatan yang diikatkan. Sedangkan talak adalah yang menguraikannya. Bagaimana dapat menguraikan ikatan kalau ikatan tersebut belum diikatkan?

3. Firman Allah SWT, “Maka hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi ) iddahnya.

Firman Allah SWT: Talak itu dua kali berkenaan dengan talak yang membolehkan adanya rujuk. Di sisi lain, firman-Nya, “jika kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu menceraikan mereka pada waktu mereka dapat ( menghadapi) iddah- nya” (ath-Thalaq [65]: I) Padahal, yang wajib berkenaan dengan mereka adalah menghitung masa iddah tanpa rnembedakan huruf lam dalam kalimat li’iddatihinna itu bermakna zharfiyyah (keterangan waktu/tempat) sehingga menjadi fi ‘iddatihinna atau bermakna ghayah. Yang dimaksud dengan li ghayah adalah “mereka menghitung iddah”. Bagaimanapun, hal itu menunjukkan bahwa di antara karakteristik-karakteristik talak yang membolehkan adanya rujuk adalah menghitung masa iddah. Hal itu tidak akan terwujud kecuali dengan memisahkan antara talak yang pertama dan talak kedua. Jika tidak, talak pertama itu tanpa iddah kalau dilakukan dua talak sekaligus. Ka1au dilakukan talak tiga sekaligus maka talak pertama dan talak kedua pun seperti itu.

Sebagian imam ahlulbait as berhujah dengan ayat ini dalam membatalkan talak tiga sekaligus. Shafwan al-Jammal meriwayatkan hadis dari Abu Abdillah as (Imam Ja’far al-Sadiq): Seseorang bertanya kepada Imam Abu Abdillah as, “Aku telah menceraikan istriku dengan talak tiga sekaligus. Bagai- mana pendapat Anda?” Imam Abu Abdillah as menjawab, “Bukan apa-apa (talak itu tidak sah).”

Kemudian Imam as berkata, “Tidakkah engkau membaca Kitab Allah, “Hai Nabi, Apabila kamu menceraikan istri-istrimu maka hendaklah kamu ceraikan mereka pada waktu mereka dapat (menghadapi) iddahnya (yang wajar) dan hitunglah waktu iddah itu serta bertakwalah kepada Allah Tuhanmu. Janganlah kamu keluarkan mereka dari rumah mereka dan janganlah mereka (diizinkan) ke luar kecuali kalau mereka mengerjakan perbuatan keji yang terang. Itulah hukum-hukum Allah. Dan barangsiapa yang melanggar hukum-hukum Allah maka sesungguhnya dia telah berbuat lalim terhadap dirinya sendiri. Kami tidak mengetahui barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru ” (QS. ath-Thalaq [65]: I)

Selanjutnya ia menambahkan, “Setiap hal yang menyimpang dari Kitab Allah dan sunah dikembalikan kepada Kitab Allah dan sunah.” Selain itu, kalau talak tiga sekaligus itu dipandang sah maka firman Al1ah: barangkali Allah mengadakan sesudah itu suatu hal yang baru tidak lagi punya arti. Sebab, perempuan itu telah menjadi ba’in dan masalah itu berakhir pada kesudahan yang tidak terpuji. Ikatan kembali tidak halal kecuali perempuan itu menikah dengan laki-laki lain lalu bercerai. Padahal, yang dimaksud di sini ada1ah menyelesaikan masalah itu melalui rujuk atau menunggu dalam masa iddah.

 

II. Dalil dari Sunah

 

Anda telah mengetahui ketentuan dalam Al-Quran tentang masalah ini. Adapun hukumnya dalam sunah dinyatakan bahwa Rasulullah saw menganggap talak seperti ini sebagai mempermainkan Al-Quran.

I. An-Nasa’i meriwayatkan hadis dari Mahmud bin Labid: Rasulullah saw diberitahu tentang seorang laki-laki yang menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus. Maka beliau berdiri sambil marah, kemudian bersabda. ” Apakah dia akan mempermainkan Kitab Allah padahal aku masih ada di tengah kalian?. Kemudian seorang laki-laki berdiri dan berkata, “Wahai Rasulullah, bolehkah aku membunuhnya?” Mahmud bin Labid adalah sahabat yang masih kanak-kanak tetapi ia mendengar hadis itu dari sahabat yang lain. Ahmad meriwayatkan hadis darinya dengan sanad yang sahih: Rasulullah saw datang kepada kami. Kemudian beliau mengimami kami salat Magrib di masjid kami. Setelah membaca salam.

Kalau kita terima bahwa ia tidak mendengar dari sahabat yang lain, seperti yang dikatakan Ibn Hajar dalam Fath al-Bari, ia adalah sahabat. Sedangkan hadis mursal shahabi, menurut para fukaha, dapat dijadikan hujah karena berpegang pada prinsip keadilan mereka semua.

2. Ibn Ishaq meriwayatkan hadis dari ‘Ikrimah dari Ibn ‘Abbas: Rukanah menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus. Karenanya-setelah itu- ia sangat bersedih. Kemudian Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Bagaimana kamu menceraikan istrimu?” la menjawab, “Aku menceraikannya dengan talak tiga sekaligus. ” Maka Rasulullah saw bersabda, “Dengan cara itu hanya jatuh talak satu. Karenanya, rujuklah dengannya.” Orang yang bertanya itu adalah Rukanah bin’ Abd Yazid. Imam Ahmad meriwayatkan hadis dengan sanad yang sahih dari Ibn ‘Abbas: Rukanah bin’ Abd Yazid menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus. Karenanya ia menjadi sangat bersedih. Kemudian Rasulullah saw bertanya kepadanya, “Bagaimana kamu mepceraikan istrimu?” la menjawab, “Aku men- ceraikannya dengan talak riga.” Beliau bertanya lagi, “Dalam satu majelis (sekaligus)?” la menjawab, “Benar.” Kemudian beliau bersabda, “Itu adalah talak satu, maka rujuklah dengannya kalau kamu mau.” Maka ia merujuk istrinya. Ibn ‘ Abbas berpandangan bahwa talak itu hanya boleh dilakukan pada setiap kali suci.

Ijtihad Melawan Nas (al-Quran dan Sunnah) Setelah Nabi saw kembali ke rahmatullah

 

Di tengah kaum Muslim terjadi berbagai perselisihan dan pergulatan pemikiran. Maka Ali dan para imam ahlulbait berusaha memperkenalkan hukum syariat melalui nas syariat baik berupa ayat Al-Qur’an maupun hadis dan samasekali mereka tidak mengamalkan pendapat sendiri (ra‘y) . Di pihak lain, terdapat sejumlah sahabat yang menggunakan pendapat sendiri da1am memperkenalkan hukum syariat dengan memperkenalkan kemaslahatan dan menetapkan hukum berdasarkan tuntutannya.

Penggunaan pendapat sendiri dalam masalah yang tidak ada nasnya dan menetapkan hukum sesuai kemaslahatan merupakan sesuatu yang perlu dikaji dan didiskusikan. Namun pembahasan ini hanyalah tentang penggunaan pendapat sendiri dalam masalah yang sudah diatur oleh nas syariat. Kelompok kedua menggunakan pendapatnya melawan nas, tidak khusus dalam masalah yang tidak ada nasnya dari Al-Qur’an atau sunah, bahkan dalam masalah yang sudah diatur dengan nas syariat.

Ahmad Amin al-Mishri berkata, “Tampaklah kepadaku bahwa ‘Umar bin al-Khaththab pernah menggunakan pendapatnya sendiri dalam arti yang lebih luas daripada yang kami sebutkan, yang kami sebutkan adalah penggunaan pendapat sendiri dalam hal-hal yang tidak ada nasnya dari Al-Qur’an dan sunah. Akan tetapi, kami lihat Khalifah bertindak lebih jauh dari itu. ia berijtihad dalam memperkenalkan kemaslahatan yang sudah diatur oleh ayat Al-Qur’an atau hadis. Kemudian dengan kemaslahatan itu ia mengambil petunjuk dalam hukum-hukumnya. Hal itu lebih dekat pada apa yang saat ini disebut mengambil petunjuk dengan kandungan konstitusi (istisyad bi ruh al-qanun) bukan dengan arti harfiahnya.’

Mengambil petunjuk dengan kandungan konstitusi yang dikatakan Ahmad Amin adalah satu hal. ‘Sedangkan mengesampingkan nas dan mengama1kan pendapat sendiri adalah hal lain. Akan tetapi, kelompok kedua itu, mengesampingkan has dan mengamalkan pendapat sendiri” Apa yang diriwayatkan dari Khalifah dalam masalah ini termasuk dalam pengertian tersebut. kalau Anda merasa ragu tentang hal itu, di sini disertakan kepada Anda apa yang kami ketahui:

I. Muslim meriwayatkan hadis dari Ibn ‘Abbas: Talak pada zaman Rasulullah saw, Abu Bakar, dan dua tahun pertama kekhalifahan ‘Umar adalah talak tiga pada satu majlis dianggap satu talak. Kemudian ‘Umar bin al-Khaththab berkata, “Orang-orang telah tergesa-gesa dalam dalam satu hal yang di dalamnya terdapat jarak waktu bagi mereka. Alangkah baiknya kalau kami menetapkan hal itu.” Kemudian ia menetapkan talak tiga sekaligus itu bagi mereka.

2. Diriwayatkan dari Ibn Thawus dari bapanya: Abu ash-Shahba’ berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Tahukah Anda bahwa talak tiga pada satu majlis itu dihitung sebagai talak satu pada zaman Rasulullah saw dan Abu Bakar, tetapi hal itu dihitung sebagai talak tiga pada (kekhalifahan) ‘Umar?” Ibn ‘ Abbas menjawab, “Benar.”

3. Darinya juga diriwayatkan: Abu Ash-Shahba’ berkata kepada Ibn ‘Abbas, “Semoga dijauhkan bencana darimu. Bukankah talak tiga sekaligus pada zaman Nabi saw dan Abu Bakar dipandang sebagai talak satu?” Ibn ‘Abbas menjawab, “Memang begitu. Tetapi pada zaman kekhalifahan ‘Umar, banyak orang melakukan talak. Kemudian ia memperkenankan talak tiga sekaligus itu bagi mereka.”

4. Al-Baihaqi meriwayatkan: Abu Ash-Shahba’ banyak bertanya kepada Ibn ‘ Abbas. la pernah berkata, “Tahukah kamu bahwa Apabila seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak tiga sebelum mencampurinya, mereka menetapkannya sebagai talak satu pada zaman Nabi saw, Abu Bakar ra, dan pada tahun-tahun pertama kekhalifahan ‘Umar ra. Ketika ia melihat banyak orang melakukannya, ia berkata, “Aku perkenankan ha1 itu bagi kalian.”

5. Ath- Thahawi meriwayatkan hadis me1alui Ibn ‘ Abbas: Pada masa kekhalifahannya, ‘Umar ra berkata, “Wahai manusia, dalam talak terdapat ruang waktu untukmu. Karena itu, siapa yang tergesa-gesa dalam jarak/ruang waktu yang diberikan Allah da1am talak, kami wajibkan hal itu kepadanya.”

6. Diriwayatkan dari Thawus: ‘Umar bin al-Khaththab berkata, “Di dalam talak terdapat ruang waktu bagi kalian. Kemudian kalian tergesa-gesa dalam tenggang waktu itu. Karenanya telah kami perkenankan kepada kalian apa yang kalian lakukan dengan tergesa-gesa itu.”

7. Diriwayatkan dari al-Hasan: ‘Umar bin al-Khaththab mengirim surat kepada Abu Musa al-Asy’ari: “Jika ada laki-laki yang menceraikan istrinya dengan talak tiga sekaligus, aku ingin sekali menetapkannya sebagai talak satu. Akan tetapi, orang-orang menetapkan untuk diri sendiri (talak tiga itu). Maka aku serahkan kepada setiap orang untuk menetapkan hal itu bagi dirinya. Siapa yang mengatakan kepada istrinya, ‘Engkau haram bagiku,’ maka ia haram baginya. Siapa yang mengatakan kepada istrinya, ‘Engkau menjadi ba’in bagiku,’ maka ia menjadi ba’in baginya. Siapa yang mengatakan kepada istrinya, Engkau kuceraikan dengan talak tiga sekaligus,’ maka jatuh talak tiga.”

Hadis-hadis di atas menunjukkan bahwa tindakan Khalifah itu tidak merupakan ijtihad dalam masalah yang tidak ada ketentuan nasnya. la juga tidak mengambil kandungan konstitusi yang ditunjukkan dengan memperbaiki syarat dan menjalankan hukum syariat pada tema-tema yang bersekutu di dalamnya masalah yang telah ditetapkan dengan nas. Tindakannya itu merupakan bentuk ketiga, yaitu ijtihad melawan nas, mengesampingkan dalil syariat, dan berjalan mengikuti pendapatnya sendiri.

Pembenaran terhadap Tindakan Khalifah Ketika hukum yang bersumber dari Khalifah itu bertentangan dengan nas atau lahiriah Al-Qur’an, sebagian muhaqqiq berusaha membenarkan tindakan Khalifah itu dengan berbagai alasan. Bahkan mereka membenarkan hukum yang ditetapkannya, membenarkannya, dan mengeluarkannya dari lingkup ijtihad melawan nas, bahkan menjadi bersumber dari dalil syariat.

1. Naskh Al-Qur’an dengan ljma’ (kesepakatan)

 

Talak yang disebutkan dalam Al-Qur’an ifu telah dimansukh (dihapus). Kalau Anda bertanya, “Apa alasan naskh itu, padahal ‘Umar ra tidak melakukan naskh? Bagaimana dapat terjadi naskh sepeninggal Nabi saw? Saya jawab: Ketika ‘Umar mengatakan hal itu, tidak ada yang mengingkarinya. Maka jadilah ucapannya sebagai ijma. Naskh dengan ijma dibolehkan oleh sebagian syekh kami. Sebab, ijma itu dihasilkan dari ‘ilmul yaqin, seperti nas. Maka boleh melakukan naskh dengannya. Ijma dalam kapasitasnya sebagai hujah adalah lebih kuat daripada khabar masyhur.

Jika Anda katakan: Ini adalah ijma untuk menaskh dari diri mereka sendiri. Hal itu tidak boleh dilakukan. Saya jawab: kemungkinan tampak pada mereka nas yang mengharuskan naskh tetapi tidak sampai kepada kita.

Catatan:

 

Pertama, dalam masalah ini, ketika difatwakan Khalifah, terdapat dua pendapat di kalangan sahabat. Bagaimana ijma itu tunduk pada satu pendapat saja di antara dua pendapat itu? Padahal Anda telah mengetahui pendapat-pendapat berkenaan dengan masalah ini. Oleh karena itu, kami melihat sebagian lain menolak untuk tunduk pada ijma tersebut. la mengatakan, “Para sahabat telah sepakat hingga tahun kedua kekhalifahan ‘Umar bahwa talak tiga dengan satu lafaz jatuh satu. Tidak ada pendapat lain yang membatalkan ijma ini. Melainkan umat senantiasa memfatwakannya generasi demi generasi hingga hari ini.”

 

Kedua, penjelasan ini bertentangan dengan perbuatan yang dibenarkan oleh Khalifah di dalam perkataannya: “Sesungguhnya orang-orang terlalu tergesa-gesa dalam satu hal (menjatuhkan talak tiga dalam satu majlis–pent. ) yang sebenarnya ada jarak waktu bagi mereka. Alangkah baiknya kalau kita menetapkannya bagi mereka.” Maka ia pun menetapkannya bagi mereka. Kalau Khalifah bersandar pada nas, tentu pembenaran itu dapat diterima.

Akhirnya, kami katakan, bagaimana dengan penjelasan dari pengarang kitab al-Umdah, tentang Syekh Shalih bin Muhammad al-‘Umari (w. 1298) yang mengatakan, “Yang dikenal di kalangan sahabat dan tabi’in-kebaikan semoga tercurah kepada mereka hingga hari kebangkitan-serta para ulama kaum Muslim yang lain, bahwa hukum dari pemimpin yang mujtahid apabila menyimpang dari nas Kitab Allah swt dan sunah Rasulullah saw wajib dibatalkan dan jangan dilaksanakan. Nas Al-Qur’an dan sunah tidak dapat dibandingkan dengan kecenderungan-kecenderungan aka1, khayalan-khayalan jiwa, dan fanatisme setan dengan mengatakan, “Barangkali mujtahid ini telah menelaah dan meninggalkannya karena illat yang tampak kepadanya. Atau, ia menelaah dalil lain, dan sebagainya. Inilah yang biasanya dikemukakan kelompok-kelompok fukaha yang fanatik dan menutupi kebodohan para muqalid”.

2. Sanksi/hukuman terhadap Mereka kerana Melanggar Hukum Allah

 

Tujuan dilaksanakannya talak tiga seka1igus hanyalah untuk memberikan sanksi kepada mereka atas perbuatan mereka dan peringatan kepada mereka kerana telah melanggar hukum Allah. Kemudian ia bermusyawarah dengan para ulama. la berkata, “Orang-orang minta disegerakan da1am satu hal yang di dalamnya terdapat ruang waktu bagi mereka. Alangkah baiknya kalau kita menetapkannya bagi mereka. Ketika para ulama itu menyetujuinya, ia menetapkannya bagi mereka. la berkata. Hai manusia, di dalam talak terdapat ruang waktu bagi ka1ian. Barangsiapa yang tergesa-gesa dalam ruang waktu yang diberikan Allah, kami wajibkan hal itu kepadanya”.

Saya tidak menemukan nas dalam referensi yang saya kaji tentang musyawarah ‘Umar dengan para ulama kecuali surat yang ia tulis kepada Abu Musa al-Asy’ari yang bunyinya: “Apabila seorang laki-laki menceraikan istrinya dengan talak tiga dalam satu majlis (sekaligus), saya ingin sekali untuk menetapkannya sebagai talak satu”. la memberitahukan keinginannya, bukan mengajaknya untuk bermusyawarah. Kalau memang ia melakukan musyawarah, tentu ia harus bermusyawarah dengan para sahabat dari kalangan Muhajirin dan Anshar yang tinggal di Madinah. Orang yang terkemuka di antara mereka adalah ‘Ali bin Abi Thalib. ‘Umar pernah mengajaknya bermusyawarah da1am masalah-maasalah penting dan meminta fatwa darinya.

Ketergesa-gesaan orang tidak dapat dijadikan sebagai pembenaran terdapat sesuatu yang bertentangan dengan Al-Qur’an dan sunah. Bahkan seharusnya ia mencegah orang melakukan perbuatan buruk itu dengan segala kekuatan. Bagaimana mungkin dibenarkan menghukum mereka dengan perbuatan yang dinamakan oleh Rasulullah saw sebagai mempermainkan Kitab Allah?

Ibn Qayyim berkata, “Pendapat ini didasarkan pada Al-Quran, sunah, qiyas, dan ijma. Setelah itu tidak ada ijma yang membatalkannya. Akan tetapi, Amirul Mukminin ra memandang bahwa orang telah tergesa-gesa dalam urusan talak dan banyak melakukannya sekaligus. Maka ia memandang bahwa merupakan suatu kemaslahatan memberikan sanksi kepada mereka dengan menetapkannya bagi mereka. Hal ini dimaksudkan agar mereka mengetahui bahwa siapa saja yang menjatuhkan talak tiga sekaligus maka perempuan itu menjadi ba’in baginya dan haram dinikahi sebelum dinikahi oleh laki-laki lain atas kehendaknya sendiri dengan maksud melakukan pernikahan permanen, bukan pernikahan penghalal (tahlil). Jika mereka telah mengetahui hal itu, tentu mereka akan menahan diri dari talak yang diharamkan itu.

‘Umar berpendapat bahwa ini merupakan kemaslahatan bagi mereka pada zamannya. la juga berpendapat bahwa apa yang berlaku pada zaman Nabi saw, Abu Bakar, dan tahun-tahun pertama kekhalifahannya adalah lebih sesuai bagi masyarakat ketika itu. Sebab, ketika itu masyarakat tidak banyak melakukan talak dan takut kepada Allah dalam masalah tersebut. Allah telah memberikan jalan keluar bagi setiap orang yang bertakwa kepada-Nya. Ketika mereka meninggalkan ketakwaan kepada Allah, mempermainkan Kitab Allah, dan melakukan talak dengan cara yang tidak disyariatkan Allah, maka ia (‘Umar) mewajibkan kepada mereka apa yang biasa mereka kerjakan itu sebagai hukuman. Sebab, Allah SWT telah mensyariatkan talak satu demi satu, tidak mensyariatkannya sekaligus.”

Catatan:

 

Pembenaran terhadap tindakan Khalifah yang disebutkan di atas tidaklah benar. Sebab, kalau kemaslahatan sementara itu dapat membenarkan perubahan hukum, lalu apa artinya hadis: “Apa yang dihalalkan Muhammad adalah halal hingga hari kiamat dan apa yang diharamkannya adalah haram hingga hari kiamat.” Kalau benar apa yang disebutkan itu untuk memasukkan perubahan ke dalam syariat maka Islam menjadi gelanggang permainan di tangan kekuasaan. Kemudian datang seorang penguasa, lalu mengharamkan puasa bagi para buruh agar mereka tetap bertenaga di tempat kerja.

Akhirnya, disebutkan perhatian sebagian ulama Ahlusunah generasi sekarang terhadap praktik talak jenis ini. Oleh karena itu, undang-undang kehakiman syariah Mesir diulang dan bertentang dengan mazhab Hanafi setelah kemerdekaan negara itu dari Kesultanan Daulah ‘Utsmaniyah.

Namun, sayang sekali, banyak mufti Ahlusunah yang memberikan fatwa bolehnya mempraktikkan talak jenis ini. Oleh karena itu, penulis tafsir al-Manar, setelah melakukan penelitian yang saksama, mengatakan, “Yang dimaksud bukanlah untuk berdebat dengan para muqalid atau memalingkan para qadhi dan mufti dari mazhab mereka. Sebab, kebanyakan mereka menelaah nas-nas ini dari kitab-kitab hadis dan lain-lain tetapi mereka tidak mempedulikannya karena yang mereka amalkan ada1ah yang bersumber dari pendapat mazhab mereka, bukan dari Kitab Allah dan sunah Rasul-Nya.” Justeru itu syariat Islam yang diamalkan oleh umat Islam kini banyak berdasarkan mazhab bukannya al-Quran dan Sunnah yang sahih- sekaligus ia gagal menangani masalah semasa umat Islam.

 

Perubahan Hukum dengan Kemaslahatan

Ibn Qayyim membahas secara panjang lebar dalam menganalisis ketetapan ‘Umar tentang talak tiga. Berikut ini rangkumannya. Ia bersandar pada perubahan hukum dengan kemaslahatan dan mencampurkan antara yang sahih dan yang cacat. Berikut ini penjelasannya: Hukum-hukum itu dikelompokkan ke dalam dua kategori.

Pertama, jenis hukum yang tidak dapat diubah dengan keadaan apa pun; tidak karena perubahan zaman, tempat, atau ijtihad para imam. Yang termasuk ke dalam kategori ini seperti wajibnya semua kewajiban, haramnya semua perbuatan haram, dan hukuman-hukuman yang ditetapkan syariat atas tindakan kriminal.

Kedua, jenis hukum Yang dapat berubah karena tuntutan kemaslahatan, baik karena waktu, tempat, maupun keadaan. Yang termasuk dalam kategori ini di antaranya adalah kadar sanksi (ta’zir) serta jenis-jenis dan sifat-sifatnya-kemudian ia memberikan beberapa contoh bentuk ta’zir. Selanjutnya ia berkata: Oleh karena itu, ia-maksudnya ‘Umar bin al-Khaththab-ketika melihat masyarakat banyak melakukan talak berpendapat bahwa mereka tidak dapat dicegah kecuali dengan memberikan hukuman. Karenanya ia berpendapat untuk mewajibkannya kepada mereka sebagai hukuman agar mereka menahan diri dari perbuatan tersebut. Hukuman itu berupa:

I. Ta’zir ‘aridh yang dilakukan ketika diperlukan, seperti bagi peminum khamar dihukum cambuk 80 kali dan digunduli kepalanya;

2. Menetapkan bahwa talak tiga sekaligus itu sebagai talak satu yang sah dengan syarat talak itu telah dijatuhkan;

   
  3. Memberlakukan larangan. Pada zamannya berlaku larangan dengan menetapkan talak tiga sekaligus itu sebagai talak satu. Selanjutnya ia mengatakan: Ketika Amirul Mukminin (‘Umar) memandang bahwa Allah SWT memberikan hukuman kepada laki-laki yang melakukan talak tiga sekaligus dengan mengharamkan bekas istrinya itu dinikahinya sebelum dinikahi oleh laki-laki lain, tahulah ia bahwa hal itu karena kebencian pada talak yang diharamkan itu. Kemudian Amirul Mukminin bertekad untuk memberikan hukuman kepada orang yang melakukan talak tiga sekaligus dengan menetapkan dan mewajibkan ha1 itu kepadanya.

Jika ada orang mengatakan bahwa bukankah lebih mudah melarang orang-orang menjatuhkan talak tiga sekaligus, serta mengharamkannya dan menghukumnya dengan cambukan agar tidak melakukan perbuatan yang dilarang itu. Jawab: Benar. Demi Allah, ia dapat melakukan ha1 itu. Oleh karena itu, pada akhir hayatnya ia menyesalinya. Al-Hafizh Abu Bakar al-lsma’il dalam Musnad ‘Umar berkata: Mengabarkan kepada kami Abu Ya’la; menyampaikan kepada kami Shalih bin Malik; menyampaikan kepada kami Khalid bin Yazid bin Abu Malik dari bapanya: ‘Umar bin al-Khaththab ra berkata:

“Aku tidak pernah menyesali sesuatu seperti penyesa1anku atas tiga ha1, yaitu mengharamkan talak, menikahkan maula, dan membunuh orang yang meratap. Yang dimaksud dengan talak yang diharamkannya ada1ah talak raj’i (talak yang masih dimungkinkan rujuk). Yang dihalalkan Allah SWT. la pun mengetahui kehalalannya dari Rasulullah saw- talak yang diharamkannya itu bukan talak yang disepakati kaum Muslim tentang keharamannya, seperti talak da1am masa haid dan suci setelah dicampuri, bukan talak sebelum dicampuri ( dukhul)  Maka jelaslah bahwa ia ingin mengharamkan talak tiga sekaligus.

‘Umar ra berpendapat bahwa kerusakan itu dapat dicegah dengan mengharuskan mereka melaksanakannya (talak tiga sekaligus-pent.). Ketika diketahui bahwa kerusakan itu tidak dapat dicegah dengan cara itu, dan justru bertambah besar, ia memberitahukan bahwa yang utama adalah kembali mengharamkan talak tiga sekaligus. Kerusakan ini dapat dicegah dengan memberlakukan kembali apa yang pernah berlaku pada masa Rasulullah saw, Abu Bakar, dan tahun-tahun pertama kekhalifahan ‘Umar-ra.

Catatan:

 

Apa yang dijelaskan Ibn Qayyim tentang pengklasifikasian hukum-hukum ke dalam dua kategori adalah benar. Akan tetapi, dari mana diketahui bahwa hukum talak tiga sekaligus termasuk kategori kedua. Apa perbedaan antara hukum segala kewajiban serta segala yang haram dan firman Allah swt: Talak itu dua kali? Bagaimana hukum yang dikatakan Rasulullah saw bahwa menentangnya sebagai mempermainkan agama itu dapat berubah?

Ibn Qayyim menyebutkan tiga kemungkinan. Kemungkinan pertama dapat diterima dan sesuai dengan ucapan Khalifah itu sendiri. Sedangkan dua kemungkinan terakhir, yaitu menetapkan ta1ak tiga sekaligus sebagai talak satu dengan Syarat talak itu telah dijatuhkan atau menetapkan larangan pemberlakuannya, ia tidak bersandar padanya, motif dikemukakannya dua kemungkinan itu adalah karena tunduk pada perasaan dan pembenaran terhadap tindakan Khalifah dengan cara apa pun.

Perubahan Hukum karena Tuntutan Zaman

 

Hukum-hukum yang dapat berubah karena perubahan zaman dan pergantian situasi adalah hukum-hukum yang substansinya ditetapkan dengan melihat kemaslahatan. Karakteristik dan bentuknya diserahkan pada pendapat pemimpin Islam. Hukum-hukum jenis ini dapat berubah. Pembuat syariat tidak menetapkan substansi, bentuk, dan tata caranya, bukan terhadap hukum-hukum yang telah ditetapkan oleh pembuat syariat substansi, bentuk dan tatacaranya. Tidak diperkenankan campur tangan pemimpin Islam dalam masalah ini dan dalam hukum-hukum berkenaan dengan ahwal syakhshiyyah.

 

Pemimpin Islam tidak boleh ikut campur tangan dalam hukum-hukum nasab, mushaharah (persaudaraan melalui pernikahan), penyusuan, dan iddah (al-‘adad). la tidak boleh mengharamkan apa yang dihalalkan Allah kendatipun sebagai hukuman bagi orang yang berbuat kesalahan. Sebaliknya, hal itu merupakan hukum-hukum yang rigid (tetap), tidak tunduk pada pertimbangan pemimpin dan lain-Iain. Adapun hukum-hukum yang membolehkan adanya campur tangan pemimpin di dalamnya adalah hukum-hukum yang dalam menentukan karakteristik dan bentuknya diserahkan kepada pemimpin untuk memelihara kepentingan Islam dan kaum Muslim. Hal itu disesuaikan dengan tuntutan situasi yang berlaku. Berikut ini beberapa contoh di antaranya agar tidak bercampur satu dengan yang lain.

I. Dalam hubungan diplomasi antara negara. Negara Islam wajib memelihara kepentingan Islam dan kaum Muslim. Ini merupakan prinsip yang rigid dan kaidah umum. Adapun caranya, hal itu berbeda-beda bergantung pada situasi dan tempat. Kadang- kadang kemaslahatan menuntut dilakukannya hubungan baik dan perdarnaian dengan musuh, tetapi di waktu lain menuntut hal seba1iknya. Demikianlah, ketentuan dan hukum khusus berlainan da1am hal ini karena perbedaan situasi. Akan tetapi, ha1 itu tidak keluar dari lingkup kaidah umum, yaitu memelihara kepentingan kaum Muslim, seperti firman Allah SWT:

Dan Allah sekali-kali tidak akan memberikan jalan kepada orang-orang kafir itu untuk memusnahkan orang-orang yang beriman. (QS. An-Nisa’ [4]: 141)

Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tidak memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil. Sesungguhnya Allah hanya melarang kamu menjadikan sebagai kawanmu orang-orang yang memerangi kamu karena agama dan mengusir kamu dari negerimu dan membantu (Orang lain) untuk mengusirmu. Dan barangsiapa menjadikan mereka sebagai kawan, maka mereka itulah orang-orang yang lalim. (QS. al-Mumtahanah [60]: 8-9)

2. Hubungan perdagangan antara negara. Kemaslahatan menuntut dibuatnya kesepakatan-kesepakatan ekonomi dan pembentukan perusahaan-perusahaan dagang atau lembaga-lembaga perindustrian yang menuntut kaum Muslim bergabung dengan kaum yang lain. Kemaslahatan juga menuntut selain itu. Termasuk dalam kategori ini, ketentuan dari Imam-semoga Allah mengampuninya-seorang pembaharu, Sayyid asy-Syirazi yang telah mengharamkan merokok untuk menghambat pelaksanaan kesepakatan ekonomi yang dibuat ketika itu antara Iran dan Inggris. Kesepakatan itu akan menghilangkan hak- hak umat Islam Iran, karena memberikan hak monopoli tembakau Iran kepada Inggris.

3. Membela kemurnian Islam, memelihara kemerdekaannya, dan menjaga batas-batasnya dari serangan musuh merupakan ketentuan yang rigid, tidak dapat diubah. Tujuan utama disyariatkannya Islam adalah untuk memelihara kedaulatan Islam dari serangan dan gangguan musuh. Oleh karena itu, diwajibkan kepada kaum Muslim untuk membentuk kekuatan dan angkatan bersenjata yang kuat untuk menghadapi musuh. Hal itu diungkapkan dalam firman-Nya, “Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi” (QS. al-Anfal [8]: 60). Ini merupakan prinsip yang rigid dalam Islam yang ditegaskan oleh akal dan fitrah. Adapun, bagaimana cara melakukan pembelaan, strategi, dan jenis persenjataan, atau harus dan tidaknya dibentuk milisi, semuanya terserah tuntunan zaman. Hal itu dapat berubah karena perubahan zaman, tetapi dilaku- kan dalam lingkup kaidah umum. Dalam hal itu, dalam Islam, tidak ada prinsip yang rigid, bahkan dalam pembentukan wajib militer yang merupakan masalah mendasar di banyak negara.

Apa yang kita lihat dalam kitab-kitab fiqih berupa bab-bab atau kitab-kitab khusus tentang hukum-hukum perlombaan kuda, melempar tombak, dan berbagai jenis kegiatan ketentaraan lainnya yang dikenal pada waktu-waktu yang lalu. Dalam, bab itu dinukil hadis-hadis dari Rasulullah saw dan para imam Islam. Hukum-hukumnya tidak rigid dalam Islam yang diserukan Pembuat syariat dengan bentuk yang kaku. Bahkan hal itu merupakan implementasi hukum tersebut. Tujuannya adalah untuk membentuk kekuatanyang memadai dalam menghadapi musuh pada masa itu. Adapun hukum-hukum yang harus diterapkan pada masa kini harus mengikuti tuntutan masa kini.

Pemimpin Islam berkewajiban membentuk angkatan bersenjata yang kuat dan persenjataan yang lengkap yang memungkinkan untuk memelihara Islam dan para penganutnya dari segala bahaya dan menghalangi setiap persekongkolan musuh. semua itu disesuaikan dengan kemajuan zaman. Pembuat konstitusi yang menghendaki konstitusinya tetap berlaku dan abadi tidak perlu mencantumkan hal-hal yang terperinci dan parsial. Tetapi yang harus dilakukannya adalah menetapkan hal-hal universal dan prinsip-prinsipnya agar konstitusinya tetap berlaku dalam segala zaman yang berbeda- beda. Kalau ia tidak melakukan hal ini, tentu konstitusinya itu akan berlaku sebentar saja.

4. Penyebaran dan penyempurnaan ilmu pengetahuan dan kebudayaan yang menjamin kedaulatan masyarakat secara material dan spiritual terungkap dari fardu-fardu Islam. Adapun menentukan jenisnya dan jenis perangkatnya tidak ditentukan dengan ketentuan khusus, melainkan diserahkan kepada pemimpin Islam. Ketentuannya dibuat berdasarkan kemampuan yang ada dalam lingkup undang-undang yang berlaku.

Pendek kata, Islam telah mewajibkan kepada para pemimpin kaum Msu1im untuk menyebarkan ilmu pengetahuan di tengah rakyat dan memerangi segala bentuk buta huruf. Adapun, bagaimana jenis ilmu pengetahuan itu dan karakteristiknya diserahkan pada pandangan pemimpin Islam, karena ia lebih mengetahui kebutuhan pada zamannya.

Betapa banyak ilmu pengetahuan yang tidak lazim karena tidak dibutuhkan pada masa-masa yang lau. Akan tetapi, kini ilmu pengetahuan tersebut menjadi ilmu-ilmu yang lazim yang mengandung kemaslahatan bagi masyarakat, seperti ekonomi dan politik.

5. Memelihara sistem, mengatur urusan-urusan dalam negeri, meningkatkan perekonomian, dan kepentingan-kepentingan tempat memerintahkannya karena di dalamnya terdapat faedah tersebut. Hal itu merupakan faedah keagamaan terpenting karena hasil yang diperolehnya berupa mengalahkan musuh dalam berijihad melawan musuh-musuh Allah swt yang merupakan pilar Islam paling utama. Oleh karena itu. faedah tersebut terlepas dari main-main dan kelalaian yang dilarang dilakukan”.

Apabila tujuan pensyariatannya adalah untuk persiapan menghadapi peperangan dan melatih jihad maka ketika itu tidak ada perbedaan antara yang berlaku pada zaman Nabi saw dan zaman-zaman lainnya berdasarkan kemampuan yang diyakini lainnya. Itu semua mengikuti tuntutan situasi. Dalam hal ini Islam tidak memiliki aturan khusus yang harus diikuti. Tetapi yang dikehendaki Islam adalah tercapainya tujuan-tujuan tersebut dengan perangkat-perangkat yang memungkinkan. Islam tidak menentukan dan menetapkan jenis perangkat-pe- rangkat ini. Hal itu diserahkan pada kemajuan zaman yang dilalui manusia. Namun, semuanya harus berada dalam lingkup kaidah-kaidah umum.

6. Islam nenetapkan prinsip yang rigid dalam masalah harta, yaitu firman Allah swt, “]anganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan cara yang batil ” Dari prinsip ini, para fukaha memhuat perincian sehagai syarat dalam sahnya akad jual beli atau muamalah. Mereka mengatakan, “Agar muamalah itu sah disyaratkan adanya manfaat yang sah. Jika tidak, muamalat itu tidak sah.” Dari sini, mereka mengharamkan jual beli darah.

Tetapi, mengharamkan jual-beli darah hukanlah hukum yang rigid dalam Islam. Melainkan pengharaman itu berlaku pada zaman yang lalu sebagai implementasi makna ayat yang mengharamkan memakan harta dengan cara yang batil. Jual- beli darah yang berlaku pada waktu itu merupakan substansinya. Hukum itu berlaku karena adanya faedah-yang mengeluarkan muamalah itu dari substansinya sehagai memakan harta dengan cara batil, dan tidak diperolehnya faedah-yang mengeluarkan muamalah dari substansinya sehagai memakan harta dengan cara batil: Kalau dari jual-beli darah itu diperoleh faedah yang masuk akal, tentu hukum yang mengharamkannya beruhah menjadi menghalalkannya. Hukum yang berlaku tetap dalam hal ini adalah firman Allah swt, “]anganlah kamu memakan harta di antara kamu dengan cara yang batil

Berkenaan dengan masalah ini, diriwayatkan hadis: ‘Ali pernah ditanya tentang sabda Rasulullah saw: “Semirlah tetapi jangan menyerupai orang-orang Yahudi.” Kemudian ‘Ali  berkata, “Rasulullah saw bersabda demikian karena ketika itu pengikut agama ini masih sedikit. Adapun kini agama ini telah tersebar ke berbagai pelosok dan dapat menaklukkan musuh-musuhnya. Karenanya setiap orang dapat memilih (warna semir rambut itu) yang disukainya.” Demikianlah, karena hukum tentang sahnya talak tiga sekaligus itu menyebabkan timbulnya kerusakan sepanjang sejarah maka Ibn Qayyim- sambil membenarkan tindakan Khalifah ‘Umar memberikan penjelasan tentang dampaknya yang menjadikan musuh-musuh Islam merasa senang. Berikut ini kami kutipkan penjelasannya.

Sanksi/hukuman atas Penyimpangan daripada Jalan yang Luas

 

Ibn Qayyim- sebagai telah Anda ketahui-termasuk orang- orang yang fanatik membela fatwa Khalifah. la membenarkan hukum yang ditetapkan Khalifah itu dengan mengatakan bahwa kemaslahatan ketika itu menuntut keharusan ditetapkannya talak tiga sekaligus. Hal itu dilakukan atas inisiatifnya sendiri. Anda telah mengetahui lemahnya pembelaan itu. Akan tetapi, pada akhir penjelasannya ia menyebutkan bahwa kemaslahatan pada zaman kita sekarang adalah kebalikan dari kemaslahatan yang ada pada zaman Khalifah. Sebab, mengesahkan talak tiga sekaligus akan mendatangkan kerosakan bagi kaum Muslim dalam lingkungan kita dan menyebabkan celaan dari para musuh terhadap agama ini dan para penganutnya. Karenanya, pada zaman sekarang kita wajib kembali pada Al-Qur’an dan Sunnah, yaitu tidak menjatuhkan talak kecuali satu demi satu.

Namun, ia lupa terhadap kebenaran dalam masalah ini. Yaitu, bahwa kemaslahatan pada sepanjang zaman adalah sama. Hukum-hukum yang telah ditetapkan Allah swt sesuai dengan kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Cacian dan ejekan yang disebutkan Ibn Qayyim muncul karena penyimpangan dari jalan yang luas ini dan ijtihad melawan nas tanpa ada kepentingan yang mendesak melakukan itu. Oleh karena itu, dikutipkan penjelasannya agar menjadi pelajaran bagi orang-orang yang-pada zaman sekarang-ingin mempemainkan hukum-hukum syariat dengan kemaslahatan yang dikira-kira. Berikut ini teks penjelasan Ibn Qayyim.

Masalah ini termasuk fatwa yang dapat berubah sesuai perkembangan zaman. Adapun zaman-zaman ketika farji mengadu kepada Tuhannya tentang kerusakan penghalalan itu dan kejelekan yang diakibatkan orang-orang yang menghalalkannya sebagai kebutaan pada mata agama dan duri dalam kerongkongan kaum Mukmin termasuk kejelekan-kejelekan yang melegakan musuh-musuh agama dan menghalangi orang-orang yang ingin menganutnya, karena Al-Qur’an tidak memberikan perincian dan pembatasannya. Seluruh kaum Mukmin memandangnya sebagai kejelekan dan aib paling besar. Aturan dan namanya telah berubah dari agama ini. Domba kiasan itu melumuri perempuan yang ditalak dengan najis penghalalan. Tetapi ia mengatakan bahwa ia telah memberikan wewangian kepadanya untuk suaminya. Sungguh mengherankan. Wewangian apa yang dikiaskan domba tercela ini? Kemaslahatan apa yang diperoleh perempuan itu dan orang yang melakukan talak dari perbuatan rendah ini?

Tidakkah Anda lihat berdirinya suami yang melakukan talak atau walinya di depan pintu, dan domba terlaknat itu telah menanggalkan sarung dan kain cadarya. Demikianlah ia menjadi- kannya padang rumput. Suami atau wali itu memanggilnya, “Makanan ini tidak dibawakan kepadamu agar kamu kenyang. Engkau, istri, kami, para saksi, para hadirin, para malaikat pencatat, dan Tuhan alam semesta mengetahui bahwa engkau tidak dianggap sebagai suami. Perempuan itu dan walinya, juga farji dan kecantikan, tidak ridha kepadamu. Engkau hanyalah seperti domba yang kalau tidak ada ujian ini tentu kami tidak merelakan kamu berdiri di depan pintu. Orang-orang menampakkan pernikahan dan menunjukkan kebahagiaan dan kegembiraan. Kami saling berwasiat agar menyembunyikan penyakit tak terobati ini dan menjadikannya sesuatu yang tertutup tanpa nyanyian dan dan tanpa rebana, serta tanpa hidangan dan tanpa pengumuman. Melainkan diwasiatkan dengan berbisik-bisik, sentuhan, dan kerahasiaan. Perempuan itu dinikahi karena agama, hasab, harta, dan kecantikannya.

Domba itu tidak ditanya sedikit pun tentang semua itu. Keterpeliharaannya tidak dipercayai. Melainkan ia masuk ke dalam kebinasaan. Allah SWT telah menjadikan masing-masing dari suami- istri sebagai tempat ketenangan bagi yang lainnya, dan menjadikan cinta dan kasih sayang di tengah mereka agar dengan demikian diperoleh tujuan akad yang agung ini. Dengan demikian, sempurnalah kemaslahatan yang disyariatkan oleh Tuhan Yang Maha Agung dan Maha Bijaksana.

Tanyalah domba itu, apakah ia memiliki bagian seperti itu? Atau, apakah hikmah, maksud, dan kemaslahatan akad ini merupakan sesuatu yang asing dan aneh? Tanyalah ia, apakah ia mengambil istri sebagai pendamping? Apakah ia meridhainya sebagai suami yang dapat dimintai tolong ketika ia mendapat musibah? Tanyalah orang-orang berakal, apakah kamu menikahkan si fulanah dengan si fulan? Apakah ini dipandang sebagai pernikahan menurut syariat, akal, atau fitrah manusia? Mengapa Rasulullah saw melaknat seorang laki-laki dari umatnya yang menikah secara syariat dan sah dan dalam akadnya tidak melakukan yang haram dan tercela?

Mengapa beliau mengumpamakannya dengan domba padahal ia termasuk orang-orang baik dan berbuat kebajikan? Mengapa sepanjang hidupnya perempuan itu menjelek-jelekkannya di tengah keluarga dan tetangganya, dan ia menundukkan kepalanya ketika domba itu disebutkan di tengah kaum perempuan? Tanyalah domba itu, apakah ketika dilakukan akad ini yang merupakan sisi lain dari kemunafikan, ia berniat akan memberikan nafkah, pakaian, dan mas kawin? Apakah istrinya makan dari pemberian itu? Ataukah ia meniatkan sesuatu yang lain? Apakah ia menuntut dari istrinya seorang anak yang saleh dan istri menjadikannya sebagai kekasih?

Tanyalah orang-orang berakal di seluruh dunia. Apakah orang terbaik dari umat ini adalah yang paling banyak melakukan penghalalan, dan apakah penghalal yang dilaknat Allah dan Rasul-Nya adalah orang yang paling lurus jalannya? Tanyalah domba itu dan wanita yang diuji dengannya, apakah salah satu dari keduanya mempercantik diri untuk sahabatnya seperti laki-laki mempercantik diri untuk perempuan dan perempuan mempercantik diri untuk laki-laki, atau salah satu dari keduanya mencintai sahabatnya karena hasab, harta, dan kecantikan?

Tanyalah perempuan itu, apakah ia tidak mau dimadu atau dijadikan gundik oleh domba ini, atau apakah ia tidak mau kalau di sampingnya ada perempuan lain, atau ia bertanya kepadanya tentang harta dan pekerjaan. Atau kemuliaan kerabat dan besar belanjanya? Tanyalah domba itu, apakah ia bertanya tentang apa-apa yang ditanyakan oleh orang yang bermaksud melakukan pernikahan hakiki atau ia memohon kepada mertuanya hadiah, sekedup dan wang yang biasa diminta oleh peminang yang ganteng? Tanyalah ia, apakah ia “pengambil” atau “pemberi”? Apakah ucapannya ketika Abu Jad membaca akad ini, “ambillah biaya pernikahan pengantin lelaki ini atau letakkanlah”? Tanyalah ia, apakah menanggung beban akad ini dengan “ambillah biaya pernikahan ini atau letakkanlah”?

Tanyalah ia tentang pesta pernikahannya, apakah ia akan melakukan pesta pernikahan walaupun dengan seeekor kambing? Apakah ia mengundang sahabatnya ke pesta pernikahan itu, lalu memenuhi hak dan mendatanginya? Tanyalah ia apakah ia menanggung beban akadnya ini seperti yang biasa dipikul orang- orang yang menikah, atau-seperti berlaku di tengah masyarakat pada umumnya – teman-teman dan penggembira mendatanginya? Apakah dikatakan kepadanya, “semoga Allah memberikan berkah kepada kalian dan mengumpulkan kalian dalam kebaikan dan perlindungan” atau “semoga Allah melaknat muhallil itu dan muhallal dengan sebesar-besar laknat”?

 

Catatan:

Aib yang -menurut dugaannya- masuk ke dalam ajaran Islam sebagai akibat disahkannya talak tiga sekaligus. Talak satu pada dasarnya dipandang sebagai talak tiga. Adapun yang disyariatkan Al-Qur.an bergantungnya keabsahan pernikahan setelah talak tiga pada muhallil merupakan aturannya yang paling utama dan paling teguh. Aib tidak masuk ke dalam ajaran Islam dari sisi ini selama-lamanya. Hal itu karena:

 

Pertama suami menghindari talak tiga sekaligus karena mengetahui bahwa pernikahan sesudahnya bergantung pada tahlil yang tidak dapat ditanggung oleh kebanyakan laki-laki.

 

Kedua. ia tidak akan melakukannya kecuali apabila berputus asa untuk menikah lagi. Sebab. pengalaman membuktikan bahwa suami-istri itu tidak dalam tingkatan yang sama dalam hal akhlak dan keruhanian. la tidak akan melakukan talak kecuali Apabila telah berputus asa menikah lagi. Jarang sekali ada kecenderungan untuk menikah kembali dengan perempuan yang telah dicerainya dengan talak tiga, kalaupun tidak dikatakan tidak ada. Ketika itu. sedikit sekali kebutuhan kepada muhallil/ Ini berbeda dengan mensahkan talak satu sebagai talak tiga. Banyak suami yang menyesali perceraian itu dan ingin membina kembali rumah tangga yang telah dihancurkan dengan talak-berdasarkan keharusan bergantung pada muhallil yang mendatangkan aib dan memunculkan apa yang disebutkan Ibn Qayyim dalam penjelasannya.

Atas penje1asannya itu masih terdapat catatan-catatan lain yang yang kami abaikan, khususnya berkenaan dengan anggapannya bahwa muhallil itu dapat diupah untuk melakukan tahlil. Menikah untuk tujuan itu merupakan anggapan yang sangat keliru. Bahkan dengan tujuan yang sama ia menikahi perempuan lain. Padahal, kalau ia menceraikan istrinya atas dasar kehendaknya sendiri maka perempuan itu menjadi halal bagi mantan/bekas suaminya yang pertama.

  Sumber: Kitab Karangan Syeikh Ja‘far Subhani

syiah dan sunnah

Syiah vs sunnah

Seringkali kita membaca di akhbar-akhbar atau mendengar orang membicarakan mengenai Syiah, tetapi kebanyakan gambaran yang diberikan kurang jelas, kabur, dan negatif. Malah, ada yang mengatakan dengan sewenang-wenangnya bahawa syiah itu kafir kerana terkeluar dari madzhab empat ahlul sunnah tanpa membezakan antara Syiah yang diakui dan Syiah yang ghulat (menyeleweng).

Mereka menyatakan Syiah mempercayai saidina Ali as separuh Tuhan, menganggap guruh dan petir itu suara Ali,mempercayai imam-imam 12 itu lebih baik dari para malaikat yang muqarrabun kepada Tuhan, menggunakan mushaf al-Quran lain dari mushaf Uhtman dan lain-lain.

Justeru itu mereka membuat kesimpulan bahawa Syiah itu kafir. Mereka menegaskan bahawa memerangi Syiah itu mesti diutamakan daripada memerangi Yahudi. Padahal Yahudi tidak pernah membezakanya musuhnya sama ada Sunnah atau Syiah.

Sikap ini lahirnya dari sifat fanatik, pengetahuan yang tidak mendalam, membuat rujukan hanya kepada orang tertentu yang fanatik atau kitab-kitab tertentu yang ditulis khas untuk melahirkan permusuhan di kalangan umat Islam.

Perkataan Syiah (mufrad) disebut sebanyak empat kali dalam al-Qur’an dan ia memberi erti golongan atau kumpulan;pertama dalam Surah as-Saffat: 83-84, firman Tuhan yang bermaksud,”Dan sesungguhnya Ibrahim benar-benar termasuk Syiahnya (golongannya), ingatlah ketika ia datang kepada Tuhannya dengan hati yang suci”.

Kedua,dalam Surah Maryam: 69, firman Tuhan yang bermaksud,”Kemudian pasti Kami tarik dari tiap-tiap golongan (Syiatihi) siapa antara mereka yang sangat derhaka kepada Tuhan yang Maha Pemurah”.

Ketiga dan keempat dalah Surah al-Qasas: 15, firman Tuhan yang bermaksud,”Dan Musa masuk ke kota (Memphis) ketika penduduknya sedang lengah, maka didapatinya dalam kota itu dua orang lelaki yang berkelahi; yang seorang dari golonganya (Syiatihi) (Bani Israil) dan seorang (lagi) dari musuhnya (Syiatihi) meminta pertolongan kepadanya untuk mengalahkan orang yang dari musuhnya”.

Sementara itu, ada perkataan Syiah dalam Hadith Nabi SAWA lebih dari tiga kali, antaranya disebut oleh Imam as-Suyuti dalam tafsirnya Durr al-Manthur, Beirut, Jilid 6, hal.379 – Surah al-Bayyinah, Nabi SAWA bersabda:”Wahai Ali, engkau dan Syiah engkau (golongan engkau) di Hari Kiamat nanti keadaannya dalam redha dan diredhai”, dan sabdanya lagi:”Ini (Ali) dan Syiahnya (golongannya) (bagi) mereka itulah yang mendapat kemenangan di Hari Kiamat nanti”.

Dengan ini kita dapati bahawa perkataan Syiah itu telah disebutkan dalam al-Qur’an dan Hadith Nabi SAWA.

Yang dimaksudkan dengan Syiah yang menyeleweng ialah Syiah yang selain daripada Imamiyyah/Ja’fariyyah dan Zaidiyyah. Mereka diringkaskan sebagai ghulat.

Imam al-Ghazali dalam bukunya Mustazhiri menentang keras Syiah ghulat kerana ia mengandungi pengajaran Batiniah. Imam Ja’far as-Sadiq AS pula menyatakan Syiah ghulat tidak boleh dikahwini dan diadakan sebarang urusan keagamaan kerana aqidah mereka bertentangan dengan al-Qur’an dan Hadith.

Pengertian umum, Ahlul Sunnah ialah sesiapa yang mengikut Sunnah Nabi SAWA kemudian ia dihimpun kepada empat madzhab fiqh yang diketuai oleh Imam Malik yang lahir pada tahun 95 Hijrah dan meninggal tahun 179 Hijrah, Abu Hanifah yang lahir tahun 80 Hijrah dan meninggal tahun 150 Hijrah, Syafie yang lahir tahun 150 Hijrah dan meninggal tahun 204 Hijrah, dan Ibnu Hanbal yang lahir tahun 164 Hijrah dan meninggal tahun 241 Hijrah.

Di segi teologi, ia dihimpunkan kepada dua madzhab yang diketuai oleh A-Asy’ari yang dilahirkan tahun 227 Hijrah dan meninggal setelah tahun 330 Hijrah dan al-Maturidi yang lahir 225 Hijrah dan meninggal 331 Hijrah?

Adalah suatu kenyataan bahawa orang di tiga abad pertama (di permulaan sejarah Islam) secara mutlak tidak pernah berpegang kepada mana-mana madzhab itu. Dan madzhab-madzhab itu tidak wujud pada tiga abad pertama, padahal itu adalah masa-masaa yang terbaik.

Hampir dua abad selepas lahirnya madzhab-madzhab empat, kedudukan pengikut-pengikut mereka dilanda perpecahan dan masing-masing mendakwa madzhab merekalah yang terbaik.

Az-Zamakshari yang lahir 467 Hijrah bersamaan 1075 Masehi dan meninggal 537 Hijrah bersamaan 114 Masehi, seorang Hanafi, telah menggambarkan kedudukan madzhab Empat/Ahlul Sunnah pada masa itu seperti berikut:

Jika mereka bertanya tentang madzhabku,

Aku berdiam diri lebih selamat,

Jika aku mengakui sebagai seorang Hanafi,

Nescaya mereka akan mengatakan aku mengharuskan minuman arak,

Jika aku mengakui bermadzhab Syafie, mereka akan berkata: aku menghalalkan ‘berkahwin dengan anak perempuan (zina)ku sedangkan berkahwin dengan anak sendiri itu diharamkan.

Jika aku seorang Maliki, mereka berkata: aku menharuskan memakan daging anjing,

Jika aku seorang Hanbali, mereka akan berkata: aku meyerupai Tuhan dengan makhluk.

Dan jika aku seorang ahli al-Hadith, mereka akan berkata: aku adalah seekor kambing jantan yang tidak boleh memahami sesuatu (Tafsir al-Kasysyaf, Cairo, Jilid, II, hal.494).

Ini adalah sebahagian daripada gambaran fanatik yang berlaku di kalangan madzhab-madzhab itu sendiri.

Dan di abad kemudiannya dihadkan madzhab kepada empat sahaja oleh pemerintah sekular pada masa itu. Dan tidak sekali-kali ‘penentuan’ itu berdasarkan kepada Hadith-Hadith Nabi SAWA. Malah ‘penentuan’ kepada empat itu adalah penentuan politik bagi menentang pergerakan Syiah Imamiyyah atau dalam erti kata yang khusus ialah pergerakan Ahlul Bayt.

Hanya di abad ketiga belas tiap-tiap pengikut madzhab menyenaraikan nama-nama pengikutnya seperti as-Subki menulis senarai nama-nama pengikut as-Syafie dalam bukunya Tabaqat as-Syafiiyyah al-Kubra.

Tidak ada perbezaan antara Syiah Imamiyyah dan madzhab Empat/Ahlul Sunnah mengenai asas-asas agama yang utama, iaitu Tauhid, Kenabian, dan Maad (Hari Kebangkitan).

Semua pihak percaya sekiranya seorang mengingkari salah satu daripada asas-asas itu, maka dia adalah kafir. Mereka percaya al-Qur’an adalah Kitab Allah yang diturunkan kepada umat manusia melalui Nabi Muhammad SAWA, tidak boleh dikurang atau ditambah, berdasarkan kepada Mushaf Uthman yang digunakan oleh seluruh umat Islam, manakala mushaf-mushaf lain seperti Mushaf Ali telah dibakar atas arahan Khalifah Uthman.

Sekiranya ada penafsiran yang berbeza antara Syiah Imamiyyah dan Ahlul Sunnah mengenai ayat al-Qur’an, maka ia adalah perkara biasa yang juga berlaku di kalangan Ahlul Sunnah itu sendiri antara Syafie dan Hanafi dan seterusnya.

Ahlul Sunnah berpegang kepada sebuah Hadith Nabi yang merangkumi lima perkara iaitu (1)Mengucap Dua Kalimah Syahadat, (2) Sembahyang, (3) Puasa, (4) Zakat, (5)Haji.

Sementara Syiah Imamiyyah berpegang kepada sebuah Hadith Nabi yang merangkumi lima perkara juga iaitu sembahyang, puasa, zakat, haji dan jihad.

Ahlul Sunnah berpendapat bahawa Nabi tidak meninggalkan sebarang wasiat kepada sesiapa untuk menjadi khalifah. Persoalan yang timbul, mungkinkah Nabi yang menyuruh umatnya supaya meninggalkan wasiat tetapi beliau sendiri tidak melakukannya!

Syiah Imamiyyah percaya bahawa Imamah/Khalifah adalah jawatan yang dianugerahkan Tuhan kepada Ahlul Bayt khususnya Ali AS sebagai orang yang diwasiatkan untuk menjadi Imam/Khalifah berdasarkan kepada Hadith Ghadir Khum, Hadith AS-Safinah, dan lain-lain (Hakim Nisaburi;al-Mustadrak , bab kelebihan Ali).

Selepas Ali, ia diganti oleh anak-anak cucunya dari Fatimah; Hasan, Husayn, Ali Zainal Abidin, al-Baqir, As-Sadiq, al-Kazim,al-Rida sehingga Mahdi al-Muntazar (Imam ke-12).

Mereka dipanggil Imamah kerana mereka berpegang kepada Hadith Imamah/Khalifah dua belas yang bermaksud:”Urusan dunia selepasku tidak akan selesai melainkan berlalunya dua belas Imam”.(Sahih Muslim, Sahih Bukhari, Bab al-Imarah).

Mereka juga dikenali dengan madzhab Ja’fariyyah iaitu dinisbahkan dengan Imam keenam Ja’far as-Sadiq AS yang bersambung keturunannya di sebelah ibunya dengan khalifah Abu Bakar as-Siddiq ibunya bernama Ummu Farwah bt. Al-Qasim bin Muhammad bin Abu Bakar as-Siddiq.

Sementara disebelah bapanya pula al-Baqir bin Ali Zainal Abidin (as-Sajjad) b. Husayn b. Ali dari ibunya Fatimah as-Siddiqah az-Zahra bt Muhammad Rasulullah. Dan beliau juga guru kepada Imam Malik dan Imam Abu Hanifah.

Ahlul Sunnah dan Syiah Imamiyyah percaya bahawa manusia adalah lebih mulia dari para malaikat, meskipun makhluk itu adalah yang hampir (al-Muqarrabun) kepada Tuhan.Manusia dianugerahkan dengan hawa nafsu dan keilmuan berlainan dengan malaikat yang dijadikan tanpa hawa nafsu dan para malaikat disuruh sujud kepada bapa manusia, Adam.

Hanya Muktazilah yang mempercaya bahawa malaikat itu lebih mulia dari manusia, kerana sifatnya yang sentiasa taat kepad Allah SWT dan baginya sujud malaikat kepada Nabi Adam adalah sujud hormatm bukan sujud yang bererti kehinaan.

Oleh itu Ahlul Sunnah dn Syiah Imamiyyah berpendapat bahawa Nabi Muhammad adalah lebih mulia dari semua makhluk Allah, termasuk malaikat.

Ahlul Sunnah juga bersetuju bahawa Ahlul Bayt Nabi SAWA adalah lebih mulia dari orang lain, sebagaimana firman Tuhan dalam Surah al-Ahzab: 33,”Sesungguhnya Allah bermaksud hendak menghilangkan dosa dari kamu hai Ahlul Bayt dan menyucikan kamu sebersih-bersihnya”.

Mengikut Muslim dalam Sahihnya, dan al-Wahidi dalam Asbab an-Nuzulnya, apa yang dimaksudkan dengan Ahlul Bayt ialah Fatimah, Hasan, Husayn dan Ali.

Berdasarkan kepada ayat itu, Syiah Imamiyyah percaya bahawa para Imam dua belas adalah maksum. Pengertian maksum, mengikut mereka ialah suatu kekuatan yang menegah seseorang daripada melakukan kesalahan/dosa. Dan ia tidak boleh menyalahi nas.

Perkara semacam ini memang juga berlaku dalam hidup seseorang. Contohnya seorang yang ingin melakukan maksiat tertentu,kemudian ada sahaja perkara yang menegahnya daripada melakukan maksiat itu. Dan bukanlah pengertian maksum itu sebagaimana kebanyakan yang difahami umum, iaitu seseorang itu boleh melakukan maksiat kerana dia itu maksum.

Selain dari ayat itu, Syiah Imamiyyah berpegang kepada beberapa Hadith Nabi yang antaranya menerangkan kedudukan keluarga Rasulullah SAWA.

Rasulullah bersabda:”Aku tinggalkan kepadamu dua perkara yang berharga:Kitab Allah dan keluargaku (al-Itrah)” (Sahih Muslim, Hadith Thaqalain).

Rasulullah SAWA bersabda:”Ahlul Baytku samalah seperti kapal Nabi Nuh; siapa yang menaikinya berjaya dan siapa yang tidak menaikinya akan binasa/tenggelam”, (Al-Hakim Nisaburi, al-Mustadrak, Bab Kelebihan Keluarga Nabi).

Bagi Ahlul Sunnah, mereka mengatakan Ahlul al-Bayt itu lebih umum. Bagaimanapun keistimewaan diberi kepada mereka itu secara khusus.

Tidak wujud perbezaan yang besar antara Syiah Imamiyyah dan Ahlul Sunnah mengenai wuduk. Mereka bersetuju kebersihan mestilah dilakukan sebelum wuduk diambil.

Bagaimanapun mereka berbeza mengenai basuh/sapu dalam Surah al-Maidah: 6, yang bermaksud:”Sapulah (Imsahu) kepada kamu dan kaki kamu”.

Jika ditinjau pengertian ayat itu bahawa bukan sahaja kepala yang wajib disapu, malah kaki pun sama, kerana perkataaan Imsahu memberi pengertian sapu,dan huruf ataf di situ mestilah dikembalikan kepada yang lebih hampir sekali.

Lantaran itu Syiah Imamiyyah mengatakan kaki hendaklah disapu bukan dibasuh. Sementara Ahlul Sunnah mengatakan basuh; mereka berpegang kepada sebuah Hadith Nabi yang bermaksud:”Neraka wail bagi mata kaki yang tidak dibasahi air”.

Bagi Syiah Imamiyyah, mereka mengatakan Hadith itu ditujukan kepada orang yang tidak membersihkan anggota-anggotanya, termasuk kaki sebelum mengambil wuduk. Di samping itu, mereka berpegang kepada Hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Abbas. Sabda Nabi SAWA:”Wuduk itu dua basuh dan dua sapu”, iaitu basuh muka dan tangan, adapun sapu ialah kepala dan kaki [Nota: Imam Baqir as bertanya di hadapan khalayak ramai:’Apakah kalian ingin saya nyatakan tentang wuduk Rasulullah SAWA ? Mereka menjawab,’Ya’. Kemudian beliau meminta suatu bekas yang berisikan air. Setelah air itu berada di hadapan beliau, beliau AS menyingkap lengan bajunya dan memasukkan telapak tangan kanannya pada bekas yang berisikan air itu sambil berkata:’Begini caranya bila tangan dalam keadaan suci’. Kemudian beliau mengambil air dengan tangan kanannya dan diletakkan pada dahinya sambil membaca’Bismillah’ dan menurunkan tangannya sampai ke hujung janggut, beliau meratakan usapan untuk kedua kalinya pada dahi beliau, kemudian beliau mengambil air dengan memasukkan tangan kirinya dari bekas itu dan beliau letakkan pada siku kanan beliau sambil meratakannya sampai ke hujung jari. Setelah itu beliau mengambil air dengan tangan kanan dan diletakkan pada siku kirinya sambil beliau ratakan sampai ke hujung jari. Kemudian dilanjutkan dengan mengusap ubun-ubun beliau dengan sisa air yang terdapat pada telapak tangan beliau sampai ke hujung dahi (tempat tumbuh rambut). Kemudian beliau usap kaki (bahagian atas) kanannya dengan sisa air yang terdapat pada telapak tangan kanan, sedangkan kaki kiri beliau usap dengan sisa air yang terdapat pada telapak kaki kiri (keduanya diusap sampai ke pergelangan kaki beliau – Al-Wasail Syiah, Juz. 1, bab 15, hal.387].

Ahlul Sunnah membuang perkataan Haiya ‘ala khayr al-‘amal (marilah melakukan sebaik-baik amalan) dari azan asal dan menambah perkataan as-solatu khairun minam-naum (solat lebih baik dari tidur) dalam azan subuh.

Kedua-dua perkataan itu dilakukan ketika pemerintahan khalifah Umar.

Mengenai yang pertama, beliau berpendapat jika seruan itu diteruskan,orang Islam akan mengutamakan sembahyang dari berjihad.

Tentang yang kedua, beliau dikejutkan dari tidurnya oleh muazzin dengan berkata:”Sembahyang itu lebih baik dari tidur”, maka beliau lantas tersedar dan menyuruh muazzin itu menggunakan perkataan itu untuk azan Subuh.

Oleh Syiah Imamiyyah diteruskan azan asal sebagaimana dilakukan di zaman Rasulullah SAWA dan khalifah Abu Bakar RA.

Ahlul Sunnah tidak mensyaratkan sujud di atas tanah dalam sembahyang: Syiah Imamiyyah menyatakan sujud di atas tanah itu lebih afdhal kerana manusia akan lebih terasa rendah dirinya kepada Tuhan. Mereka berpegang kepada sebuah Hadith Nabi SAWA yang bermaksud”dijadikan untukku tanah itu suci dan tempat sujud” (Sahih Muslim, Bab Mawdi’ as-Salah).

Semua pihak bersetuju sembahyang boleh dijamak/dihimpun apabila seseorang itu musafir. Ahlul Sunnah pada keseluruhannya tidak menggalakkan jamak sembahyang selain dari musafir.

Meskipun begitu, mereka tidak menyatakan sembahyang jamak itu tidak sah bagi orang yang bermukim.

Imam Malik mengharuskan jamak sembahyang Zohor dengan Asar, Maghrib dan Isya’ di hari hujan, Kebanyakan pengikut Imam Syafie berpendapat jamak sembahyang boleh dilakukan jika ada sebab yang diharuskan oleh syarak dan adalah menjadi makruh jika dilakukan secara kebiasaan.

Syiah Imamiyyah menyatakan, sembahyang jamak boleh dilakukan tanpa sebab musafir, sakit atau ketakutan kerana Nabi SAWA bersembahyang jamak tanpa sebab dan musafir.

Diriwayatkan oleh Ibnu Abbas bahawa “Rasulullah SAWA sembahyang berjamaah dengan menjamakkan Zohor dengan Asar, Maghrib dengan Isya’ tanpa musafir dan tanpa sebab takut”,(Sahih Muslim, Bab Jawaz Jam’ as-Salah fil-Hadr).

Ahlul Sunnah dan Syiah Imamiyyah bersetuju bahawa sembahyang tarawih tidak dilakukan pada masa Rasulullah dan khalifah Abu Bakar. Ia dilakukan atas arahan khalifah Umar RA kerana beliau melihat orang ramai sembahyang sunat bertaburan, di masjid, lantas beliau berkata:”Alangkah baiknya jika dilantik seorang lelaki untuk menjadi Imam bagi kaum lelaki dan seorang perempuan untuk menjadi Imam kaum wanita”.

Kemudian melantik Ubay bin Ka’ab mengimamkan pada malam berikutnya. Dan beliau berkata:”Ini adalah bidaah yang baik”. Selepas itu beliau menghantar surat kepada gabenor-gabenor di seluruh negara supaya menjalankan sembahyang sunat secara berjamaah dan dinamakan Sembahyang Terawih kerana setiap empat rakaat diadakan istirahat (Bukhari, Bab Sembahyang Terawih, Muslim, Bab Sembahyang Malam).

Syiah Imamiyyah tidak melakukan sembahyang terawih atas alasan itu. Saidina Ali ketika menjadi khalifah melarang orang ramai sembahyang terawih dan menyuruh anaknya Hasan memukul dengan tongkat tetapi orang ramai berkeras terus melakukannya kerana ia sudah menjadi amalan tradisi.

Meskipun begitu Syiah Imamiyyah sebagai contoh melakukan sembahyang sunat lima puluh rakaat pada tiap-tiap malam Ramadhan (Nota: terdapat sembahyang sunat khusus dan umum pada setiap malam Ramadhan – sila lihat Mafatihul Jinan) secara bersendirian di samping sembahyang sunat biasa; mereka sembahyang tiga puluh empat rakaat.

Ahlul Sunnah menyatakan bilangan takbir Sembahyang Mayat ialah empat, sementara Syiah Imamiyyah mengatakan lima takbir. Di samping itu, Ahlul Sunnah sendiri tidak sependapat cara-cara mayat dihadapkan ke Kiblat. Maliki, Hanafi, dan Hanbali berpendapat mayat hendaklah diletakkan ke atas lambung kanannya dan mukanya menghadap Kiblat sebagaimana dilakukan ketika menanam mayat. Sementara Syiah Imamiyyah dan Syafie berpendapat mayat hendaklah ditelentangkan dan dijadikan kedua tapak kakinya ke arah Kiblat, jika ia duduk, dia menghadap Kiblat (M. Jawad Mughniyah, Fiqh Lima Madzhab, Jilid I, Penerbitan Ikhwan, Kota Bharu, 1985, hal.47)

Sebenarnya kita yang bermadzhab Syafie tidak sedar bahawa cara pengebumian mayat yang kita lakukan adalah tidak mengikut Syafie, dan Syafie pula sependapat dengan madzhab Syiah Imamiyyah dalam masalah itu dan berlainan dengan Hanafi, Maliki, dan Hanbali. Begitu juga ‘Undang-undang 99 Perak’, dan ‘bersalam’ lelaki-perempuan dengan melapikkan kain di tengah tangan adalah dari madzhab Ja’fari sedangkan Imam Syafie tidak membenarkan berjabat tangan dengan bukan muhrim sekalipun secara berlapik atau beralas.

Semua pihak bersetuju bahawa nikah mut’ah diharuskan pada zaman Nabi SAWA tetapi mereka tidak sependapat tentang pembatalannya atau pemansuhannya selepas kewafatan Nabi SAWA. Imam Malik mengatakan ia adalah harus kerana firman Tuhan dalam Surah an-Nisa: 24, yang bermaksud:”Maka isteri-isteri yang telah kamu nikmati antara mereka, maka berilah kepada mereka maharnya dengan sempurna, sebagai suatu kewajipan” sehingga terbukti pembatalannya.

Imam Zulfar,anak murid Imam Abu Hanifah berpendapat ia harus kerana ‘menghadkan waktu’ dalam akad nikah itu tidak membatalkan akad. Beliau menamakan Nikah Mu’aqqat.

Manakala Imam Muhammad Syaibani menyatakan ia makruh (lihat Zarkhasi, Kitab al-Mabsud, Cairo, 1954, Vol.5, hal.158).

Az-Zamakhshari, seorang pengikut madzhab Hanafi, menyatakan ayat itu muhkamah, iaitu jelas tidak ada ayat yang memansuhkannya (Tafsir al-Kasysyaf, Cairo, Vol.I, hal. 189)

Sementara Imam Syafie pula menyatakan ia telah dimansuhkan oleh sebuah Hadith yang diriwayatkan oleh al-Juhany, bahawa Rasulullah SAWA telah melarang dari melakukan mut’ah.

Tetapi mengikut kaedah fiqiah bahawa Imam Syafie, Hanafi dn Hanbali bersepakat bahawa al-Qur’an tidak boleh dimansuhkan dengan Hadith yang mutawatir (yang diriwayatkan oleh bilangan ramai: Lawannya Hadith Ahad) kerana mereka berpegang dengan Surah al-Baqarah: 106, yang bermaksud:”Kami, tidak memansuhkan satu ayat atau melupakannya melainkan Kami gantikannya dengan ayat yang lebih baik daripadanya atau seumpamanya”.

Jelas sekali bahawa Hadith Nabi tidak setanding dengan al-Qur’an. Ini bererti Hadith yang melarang dilakukan mut’ah itu adalah Hadith Ahad dan mengikut kaedah itu ia tidak sekali-kali dapat memansuhkan ayat 24, dari Surah an-Nisa’ (Nota: Pada hakikatnya Nabi SAWA tidak mungkin bercanggah dengan al-Qur’an kerana apa yang dinyatakan oleh Nabi SAWA adalah dari Allah SWT sebagaimana yang dinyatakan dalam Surah an-Najm: 4-5, bermaksud:”Dan tidak ia (Nabi SAWA) bercakap mengikut hawa nafsunya, melainkan ia adalah wahyu yang diwahyukan (dari Allah)”.

Mengikut kaedah itu, Imam Syafie sepatutnya mengatakan nikah mut’ah itu harus. Lebih menghairankan, Imam Syafie yang mengatakan nikah mut’ah itu dimansuhkan masih percaya kepada Hadith-Hadith Nabi yang diriwayatkan oleh Ibn Jurayh (w.150H) seorang tabi’in yang menjadi Imam di Masjid Makkah pada masa itu, dan beliau telah berkahwin secara mut’ah dengan lebih sembilan puluh perempuan di Makkah. Sehingga beliau berkata kepada anak-anaknya:”Wahai anak-anakku, jangan kamu mengahwini perempuan-perempuan itu kerana mereka itu adalah ibu-ibumu”.

Bukan sahaja Imam Syafie yang menerima dan mempercayai Hadith-Hadith yang diriwayatkan oleh Ibnu Jurayh malah Imam Muslim dan Imam Bukhari menerimanya dalam Sahih-Sahih mereka.

Berdasarkan kepada bukti-bukti di atas nampaknya Imam Syafie tidak begitu yakin tentang pemansuhannya. Jikalau tidak, Ibnu Jurayh adalah penzina, dan tidak boleh menjadi Imam Masjid Makkah ketika itu dan riwayatnya mestilah ditolak.

Pihak Syiah Imamiyyah merujuk kepada beberapa Hadith Nabi SAWA, antaranya Hadith yang diriwayatkan oleh Imran bin Hasin yang berkata:”Ayat mengenai mut’ah telah diturunkan dalam al-Qur’an dan kami melakukannya di masa Rasulullah SAWA dan tidak diturunkan ayat yang memansuhkan/membatalkannya dan Nabi pula tidak melarangnya sehingga beliau wafat (Imam Hanbali, Musnad, Jilid 4,hal.363).

Mereka juga memetik Saidina Ali AS sebagai berkata:”Jikalaulah Umar tidak melarang nikah muta’ah, nescaya tidak ada orang yang berzina melainkan orang-orang yang benar-benar jahat” (Tafsir al-Tabari, Bab Nikah Mut’ah).

Mereka juga merujuk kepada sahabat Zubayr bin Awwam yang mengahwini Asma’ binti Abu Bakar secara mut’ah dan mendapat dua cahaya mata yang masyhur dalam sejarah Islam iaitu Abdullah bin Zubayr dan adiknya Urwah bin Zubayr (Sahih Bukhari, Sahih Muslim, Bab Nikah Mut’ah)”.

Imam Ja’far as-Sadiq AS (Imam Keenam) Ahlul Bayt berkata:”Tiga perkara yang aku tidak akan menggunakan taqiyah: Haji Tamattuk, Nikah Mut’ah, dan ‘hayya ala khairil amal’ dan ditanya Imam Ja’far as-Sadiq AS mengenai nikah mut’ah, beliau menjawab, ia halal sehingga Hari Kiamat, (Al-Kulaini, Usul al-Kafi, Bab Mut’ah).

Inilah sebahagian kecil dari hujah-hujah yang dipegang oleh Syiah Imamiyyah dalam masalah itu.

Imam Bukhari dalam Sahihnya memberi definisi sahabat sebagai orang yang bersahabat dengan Nabi SAWA dan mati sebagai seorang Muslim atau orang yang pernah melihat Nabi dan mati sebagai seorang Muslim. Ahlul Sunnah mengatakan semua sahabat Nabi itu adil dan amanah sehingga tidak boleh dipertikaikan peribadi mereka.

Sementara Syiah Imamiyyah berpendapat sahabat Nabi itu adalah manusia biasa, ada yang baik dan ada yang kurang baik. Dalam akidah Islam, sahabat bukanlah maksum; dengan itu mereka terdedah kepada sebarang kesalahan/dosa seperti manusia biasa.

Mereka menyatakan ada ayat-ayt al-Qur’an yang memang ditujukan kepada sahabat-sahabat Nabi; ada sahabat-sahabat yang lari ketika peperangan, melakukan perkara yang tidak diingini oleh Islam. Dan jika diperhatikan secara rasional tanpa Asabiyyah, tidaklah semestinya semua sahabat Nabi yang ‘ratusan ribu’ itu adil dan amanah, kerana celaan al-Qur’an itu ditujukan juga kepada mereka.

Memang ada dari kalangan yang dinamakan sahabat, seramai lima belas orang, yang telah cuba membunuh Nabi sendiri selepas peperangan Tabuk di Aqabah (lihat Musnad ibn Hanbal, Beirut, 1943, Jilid 5, hal.428-9).

Bagaimanapun Syiah Imamiyyah tidak menafikan wujudnya sahabat-sahabat Nabi yang setia.

Mengenai Hadith “sahabat-sahabatku seperti bintang-bintang di langit”, maka sanad Hadith ini adalah lemah dan ditolak oleh Ahlul Sunnah sendiri seperti Imam Abu Bakar as-Syafii dan lain-lain.

Bagaimanapun ia tidaklah menafikan sebahagian dari sahabat-sahabat Nabi itu boleh menjadi ikutan. Imam Bukhari dalam Sahihnya, Vol.16, Kitab ar-Riqaq, Bab al-Hawd, mencatatkan sebuah Hadith yang diriwayatkan oleh al-Mughirah bin Syukbah, bahawa Rasulullah bersabda, maksudnya: Sahabat-sahabat kamu telah berubah selepas kamu (meninggal)”.

Oleh itu Hadith ini menjadi asas yang kukuh untuk Ahlul Sunnah berfikir dengan rasional tanpa semata-mata taksub kepada madzhab kita. Apa yang menjadi asas ialah al-Qur’an dan Hadith Nabi SAWA.

Bagaimanapun Syiah Imamiyyah menghormati khalifah Abu Bakar, khalifah Umar dan jauh sekali dari mengkafirkan mereka berdua. Dan sekiranya ada Syiah yang mengkafirkan mereka, ini adalah Syiah yang ghulat, atau pandangan individu. Apatah lagi Imam Keenam Syiah ialah Imam Ja’far as-Sadiq AS yang bertemu di sebelah ibunya dengan khalifah Abu Bakar.

Ahlul Sunnah bersetuju pintu ijtihad telah ditutup. Penutupan pintu ijtihad bererti ‘jemputan’ kepada zaman taqlid. Dan juga bererti tidak wujud lagi mujtahid yang baru; memadai dengan mujtahid-mujtahid yang telah mati. Lantaran itu persoalan-persoalan yang baru kurang dapat diatasi.

Syiah Imamiyyah berpendapat bahawa pintu ijtihad masih terbuka dan mereka tidak membenarkan ia ditutup, kerana penutupan pintu ijtihad memberi implikasi penyerahan kepada kelemahan dan kebodohan sendiri dan ia bercanggah dengan al-Qur’an yang menuntut sebahagian umat Islam menjadi alim mujtahid di setiap masa.

Sayang sekali Ahlul Sunnah dari madzhab Syafie, Hanafi, Hanbali dan Maliki telah menyerah diri kepada penutupan pintu ijtihad. Persoalan yang timbul, siapakah yang memerintahkan supaya ia ditutup? Mungkinkah pemerintahan sekular sebelum Imam al-Juwayni atau Imam Ghazali mengiystiharkan penutupan itu?

Imam al-Juwayni, guru kepada Imam al-Ghazali menyatakan”Sekiranya pintu ijtihad masih terbuka, maka aku adalah seorang mujtahid”. Imam al-Juwayni sendiri mengakui penutupan itu dan dalam andaiannya, beliau juyga mujtahid sekiranya pintu itu dibuka. Dan di masa itu timbulnya perasaan fanatik kepada madzhab tertentu yang dikuti, dan masing-masing menakwil Hadith-Hadith mengikut pandangan madzhab mereka.

Nabi SAWA bersadba:”Umatku akan berpecah kepada 73 golongan, yang berjaya hanyalah ‘satu’ (al-Wahidah). Muktazilah mengatakan yang satu itulah mereka. Murji’ah pula mengatakan merekalah yang berjaya dan bukan Muktazilah. Sementara Ahlul Sunnah mengatakan, mereka sahaja yang berjaya.

Imam al-Ghazali mengatakan, apa yang dimaksudkan dengan umat itu adalah secara umum, dan golongan yang benar-benar berjaya ialah golongan yang tidak dibentangkan kepada neraka. Lantaran itu mengikut Imam al-Ghazali, sesiapa yang dimasukkan ke syurga dengan syafa’at, dia tidaklah benar-benar berjaya (At-Tafriqah bayn al-Islam wa Zandaqah, Mesir, 1942, hal.75).

Mengenai khurafat pula, semua pihak bersepakat bahawa khurafat mestilah diperangi habis-habisan. Namun begitu masih ada khurafat-khurafat dalam madzhab Syiah dan Sunnah. Jika ada mana-mana pengikut melakukan perkara itu maka ia menggambarkan kejahilan pengikut itu sendiri.

Semua pihak bersepakat menerima Hadith-Hadith Nabi yang diriwayatkan oleh perawi-perawi yang thiqah. Tetapi Syiah Imamiyyah mengutamakan Hadith-Hadith yang diriwayatkan olah Ahlul Bayt, kerana mereka lebih mengetahui mengenai Nabi daripada orang lain, terutamanya Saidina Ali AS yang disifatkan oleh Nabi SAWA sebagai “Pintu Ilmu”.

Dalam sebuah Hadith Nabi SAWA, bersabda:”Aku adalah gedung ilmu, Ali adalah pintunya, dan sesiapa yang ingin memasukinya, mestilah menerusi pintunya” (Nisaburi, Mustadrak, Bab Kelebihan Ali).

Adapun Hadith-Hadith yang menjadi rujukan Ahlul Sunnah terkumpul dalam Sahih-Sahih Bukhari, Muslim, Nasa’I, Ibn Majah, Abu Daud, Tirmidzi, Muwatta, Mustadrak, Musnad Ibn Hanbal dan lain-lain.

Sementara Syiah Imamiyyah mengumpulnya dalam Usul al-Kafi oleh al-Kulaini, Man La Yahduruhul Faqih olah al-Saduq, Al-Istibsar fi al-Din, dan Tahdhib al-Ahkam, kedua-keduanya oleh al-Tusi, Bihar al-Anwar olehMajlisi dan lain-lain.

Sepatutnya semua buku-buku Hadith itu dikaji dan menjadi rujukan kepada umat Islam, khususnya sarjana-sarjana Islam tanpa fanatik kepada mana-mana madzhab.

Para Imam Madzhab Empat/Ahlul Sunnah telah menunjukkan kasih sayang mereka kepada Imam-Imam Syiah Imamiyyah kerana mereka adalah anak-cucu Rasulullah. Imam Malik dan Imam Abu Hanifah berguru kepada Imam Ja’far as-Sadiq AS.

Apabila mereka mengemukakan persoalan, mereka menggunakan lafaz”Wahai anak Rasulullah” kemudian barulah dikemukakan persoalan itu.

Imam Malik dan Imam Abu Hanifah pernah mengeluarkan fatwa secara rahsia supaya umat Islam keluar berperang bersama Zaid bin Ali Zainal Abidin (Ahlul Bayt) menentang pemerintah Bani Umaiyyah pada masa itu. Justeru itu mereka dipenjarakan.

Imam Abu Hanifah berkata:”Jikalau tidak wujud dua Sunnah nescaya binasalah Nu’man” iaitu jikalau tidak wujudnya Sunnah Nabi dan Sunnah Ja’far as-Sadiq, nescaya binasalah beliau.

Imam Syafie pula telah membuktikan kasih beliau kepada Ahlul Bayt dan Syiah dalam syairnya yang masyhur seperti berikut:

Aku adalah Syiah dalam agamaku,

Aku berasal dari Makkah,

Dan rumahku di Asqaliyah (Fakhruddin ar-Razi, Manaqib al-Imam as-Syafie, Cairo, 1930, hal.149 dan seterusnya).

Bagaimanapun Imam Syafie bukanlah seorang Syiah dalam ertikata yang sebenar tetapi sikapnya yang begitu kasih dan luhur terhadap Syiah Imamiyyah patut dicontohi.

Apatah lagi Imam-Imam mereka dari keturunan Rasulullah SAWA yang kita tidak pernah lupa dalam sembahyang kita setiap kali kita berdoa”Wahai Tuhanku, salawat dan salam kepada Muhammad dan keluarga Muhammad (Allahumma Solli ‘ala Muhammad wa alihi Muhammad)

Begitulah sikap dan pendirian para Imam Madzhab Empat terhadap Syiah Imamiyyah dan para Imam dari Ahlul Bayt.

Sebuah fatwa yang dikeluarkan oleh Imamul Akbar al-Marhum as-Syaikh Mahmud Shaltut ketika beliau masih memangku Jabatan Rektor al-Azhar; dan disiarkan pada tahun 1959 Masehi di Majalah Risalatul Islam yang diterbitkan oleh Darul Taqrib bainal Madzahibil Islamiyyah atau Lembaga Pendekatan Antara Madzhab-Madzhab Dalam Islam, yang berpusat di Kaherah, Mesir, nombor 3 tahun ke-11, halaman 227 berbunyi seperti berikut:

“Agama Islam tidak mewajibkan suatu madzhab tertentu atas siapapun antara pengikutnya. Setiap Muslim berhak sepenuhnya untuk mengikuti salah satu madzhab yang manapun juga yang telah sampai kepadanya dengan cara yang benar dan meyakinkan.

Dan yang perincian tentang hukum-hukum yang berlaku dalamnya telah dicatat dengan teliti dan sempurna dalam kitab-kitab madzhab yang bersangkutan yang memang dikhususkan untuk itu.

Begitu pula setiap orang yang mengikuti salah satu antara madzhab-madzhab itu, diperbolehkan pula untuk berpindah ke madzhab lainnya – yang manapun juga dan tiada ia berdosa sedikitpun dalam perbuatannya itu…..”

Katanya lagi,”Sesungguhnya Madzhab Ja’fariyyah yang dikenal dengan sebutan Madzhab Syiah Imamiyyah Itsna ‘Asyariyyah adalah suatu madzhab yang peraturan-peraturannya seperti juga dalam madzhab-madzhab lainnya….”(Lihat juga Dialog Sunnah Syiah, Bandung, 1984, hal.32)

Walaupun di Malaysia misalnya bermadzhab Syafie, namun perkara yang penting ialah asalkan pengikut madzhab itu tidak berfahaman Asabiyyah, atau mengkafirkan madzhab-madzhab lain yang muktabar.

Diambil daripada “http://ms.wikipedia.org/wiki/Perbincangan:Syiah

Taqiyyah

Taqiyyah Di Kalangan Ahl Sunnah, Khawarij dan Syiah

 

Sumber: Dipetik dan Diterjemahkan dari buku Dirasat al-Firaq wa al-Aqaid al-Islamiyah

karya Prof. Dr. Irfan Abdul Hamid Fattah (UIAM) oleh Hasmadi Hamdan, Al al-Bayt University, Jordan


DARI segi bahasa, Taqiyyah bererti berhati-hati. Dari segi istilah pula, taqiyyah bermaksud: Menyembunyikan kepercayaan daripada binasa dan berkawan dengan musuh sedangkan hati masih menyimpan kemarahan sehingga hilang tegahan untuk memberontak. Allah Taala berfirman yang bermaksud: Kecuali sekiranya kamu berwaspada (Al Imran: 28). Di dalam hadis Nabi, diterangkan: Kita mengukir senyuman kepada mereka sedangkan hati kita melaknati mereka (al-Bukhari, al-Sahih di dalam Kitab al-Adab).
Seikh al-Mufid, seorang ulama Syiah kurun ke-4 hijrah menerangkan: Taqiyyah bermaksud: Menyembunyikan kebenaran dan melindungi kepercayaan daripada seteru. Mengelak daripada pengetahuan mereka yang boleh menyebabkan kemudharatan kepada kehidupan dan agama (al-Mufid, Tashih Aqaid al-Syiah al-Imamiah).
Walaupun Taqiyyah lebih merupakan kelakuan politik dan aqidah yang khusus bagi firqah Syiah, namun para pengikut mazhab-mazhab Islam yang lain juga beramal dengannya. Dalil-dalil tentang Taqiyyah pula boleh kita kutip di dalam al-Quran dan Sunnah Nabi sendiri. Allah Taala berfirman di dalam al-Quran yang bermaksud: “Orang-orang yang beriman tidak akan menjadikan orang-orang kafir sebagai wali-wali mereka. Sekiranya seseorang melakukan perbuatan itu, Allah Taala akan memutuskan perhubungan dengannya. Kecualilah sekiranya kamu berbuat begitu untuk berwaspada” (Al Imran: 28). Allah Taala berfirman lagi: “Sesiapa sahaja yang menjadi kafir selepas dia beriman, kecualilah sekiranya dia terpaksa sedangkan hatinya masih beriman” (al-Nahl: 106). Di dalam Sunnah Nabi Muhammad juga pernah disebutkan lalu dijadikan kaedah pula oleh ulama di dalam berbagai-bagai perkara iaitu sabdanya: “Kesalahan ummatku tidak akan dikira sekiranya mereka tersilap, terlupa dan mereka terpaksa melakukan perkara yang mereka benci” (Ibnu al-Arabi, Ahkam al-Quran).
Kita akan melihat pula bagaimana para pengikut mazhab-mazhab Islam secara amnya berpegang dengan prinsip Taqiyyah ini. Yang berbeza cuma gambarannya sahaja. Adakah taqiyyah merupakan fardhu yang mesti dilakukan? Ataupun hanya sebagai kemudahan yang harus ditinggalkan ataupun boleh digunakan pada waktu dharurat dan pada keadaan-keadaan tertentu dengan syarat-syarat yang tertentu juga? Ataupun adakah taqiyyah di dalam perbuatan sahaja? Atau di dalam perbuatan dan perkataan?
Bagi al-Khawarij, mereka tidak mengharuskan sama ada di dalam perkataan ataupun di dalam perbuatan (al-Syatibi, al-Muwafaqat).
Sejarah telah membuktikan bahawa mereka telah berkali-kali memberontak terhadap kerajaan dan mereka juga terkenal dengan keganasan mereka menghadapi musuh. Namun begitu, kajian yang dilakukan membuktikan pula bahawa pendapat ini bukanlah merangkumi semua firqah al-Khawarij. Al-Azariqah (pengikut Nafi’ bin al-Azraq) berpendapat: Taqiyyah tidak halal, lari daripada peperangan adalah kafir yang nyata. Dia mengambil dalil daripada firman Allah yang bermaksud: Mereka takut akan manusia seperti takut akan Allah (al-Nisa’: 77) dan juga firman Allah yang bermaksud: Mereka berjuang di jalan Allah dan tidak takut kepada orang-orang yang selalu mencela (al-Maidah: 54) (al-Asyaari, Maqalat Islamiyyin dan al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal).
Ada pula yang melewati batas akal dan agama dengan menghalalkan taqiyyah di dalam perkataan dan perbuatan seperti firqah al-Najdat (pengikut Najda bin Amir al-Hanafi). Mereka mengharuskan taqiyyah di dalam perkataan dan perbuatan sekalipun jika sampai ke tahap membunuh jiwa yang diharamkan oleh Allah. Bagi al-Safariah (pengikut Ziad bin al-Asfar), mereka lebih sederhana. Mereka mengharuskan taqiyyah di dalam percakapan sahaja dan perbuatan tidak termasuk di dalam taqiyyah (al-Asyaari, Maqalat Islamiyyin dan al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal).
Walaupun golongan al-Muktazilah mewajibkan al-Amru bi al-Maaruf wa al-Nahy an al-Munkar (menyeru kepada kebaikan dan mencegah kemungkaran), ada sebahagian daripada mereka yang mengharuskan taqiyyah bilamana timbul bahaya yang boleh menjejaskan jiwa-raga. Abu al-Hudzail al-Allaf pernah berkata: Seseorang yang benci untuk melakukan sesuatu perkara lalu dia dipaksa melakukannya sedangkan dia tidak pandai untuk mencari jalan keluar yang lain, bolehlah dia berdusta (al-Khiyat al-Muktazili, Kitab al-Intisar dan al-Syahrastani, al-Milal wa al-Nihal).
Ahli Sunnah telah bersepakat mengatakan taqiyyah merupakan kemudahan yang harus dilakukan. Tetapi kemudahan itu hanya pada perkataan dan bukannya perbuatan. Imam al-Ghazali berkata: Memelihara darah orang Islam merupakan kewajipan. Sekiranya dengan berbohong boleh mengelakkan berlakunya pertumpahan darah, berdusta pada waktu itu adalah wajib (al-Ghazali, Ihya Ulum al-Din di dalam bab Kemudahan Untuk Berdusta).
Ulama Fekah dan Ilmu Kalam telah berusaha meletakkan syarat-syarat tertentu bagi taqiyyah. Bimbang kalau-kalau taqiyyah digunakan sewenang-wenangnya di dalam kehidupan. Antara syarat-syaratnya ialah:
Taqiyyah merupakan kemudahan yang harus dilakukan. Sekiranya seseorang Islam berada di dalam negara kafir dan dia bimbang akan jiwa dan hartanya, ada kalanya dia mengikut mereka dan ada kalanya dia menunjukkan juga agamanya. Ibnu Jarir al-Tabari berkata: Taqiyyah adalah berwaspada terhadap orang-orang kafir sahaja (Ibnu Jarir al-Tabari, Tafsir Ibnu Jarir al-Tabari).
Al-Fakhr al-Razi pula berkata: Taqiyyah berlaku sekiranya seseorang lelaki berada di dalam negara kafir dan bimbang terhadap jiwa dan hartanya lalu dia melakukan taqiyyah dengan lidahnya (al-Fakhr al-Razi, Tafsir al-Fakh al-Razi).
Ada di antara ulama Fekah yang mengatakan sekiranya berlaku percampuran di antara golongan Islam dengan golongan Musyrik, taqiyyah bolehlah dilakukan untuk memelihara jiwa kerana memelihara jiwa adalah wajib. Ini adalah pendapat Imam Syafei r.a. Ibnu Hazem pula berkata: Tidak ada perbezaan di antara takut akan kerajaan dengan takut akan pencuri atau sesiapa sahaja yang bukan kerajaan. Semuanya adalah sama sahaja (Ibnu Hazem, al-Muhalla).
Taqiyyah hanya merupakan kemudahan. Oleh itu, lebih baiklah bertekad dengan aqidah atau beramal dengan azimah (hukum asal). Hal ini demikian kerana beramal dengan azimah akan menakutkan orang-orang kafir. Ada pula ulama yang menghalang daripada beramal dengan taqiyyah dan menyifatkannya sebagai munafik dan berpura-pura (al-Sarkhi, al-Mabsut).
Al-Zamakhsyari berkata: Sekiranya kau bertanya kepadaku: Di antara kemudahan dan azimah, yang mana lebih baik? Adakah perbuatan Ammar bin Yasir yang menggunakan kemudahan (Taqiyyah) lalu mengucapkan perkataan kufur ataupun perbuatan ayah dan ibunya yang sabar di atas kebenaran lalu mereka dibunuh? Dengarlah apa kataku! Bahkan perbuatan ayah dan ibunyalah yang paling baik. Hal ini demikian kerana meninggalkan taqiyyah serta sabar pula sehingga dibunuh merupakan kemegahah kepada agama Islam (al-Zamakhsyari, Tafsir al-Kasyaf).
Kata al-Baidhawi pula: Menjauhkan taqiyyah lebih baiklah kerana menjauhkannya akan menunjukkan kemegahan Islam (al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi).
Taqiyyah hanya harus dilakukan dengan lidah sahaja. Sekiranya seseorang Islam terpaksa membunuh, berzina, merampas harta orang ataupun sampai terpaksa pula memfitnah orang lain dan memberikan pengakuan palsu, pada masa ini taqiyyah haram pula dilakukan. Ibnu Abbas berkata: Taqiyyah hanya pada lidah. Bukannya pada tangan (membunuh) (al-Sarkhi, al-Mabsut).
Kata Ibnu Hazem pula: Kebencian pada perbuatan terbahagi kepada dua jenis:
Pertama: Apa yang diharuskan ketika dharurat seperti makan dan minum benda yang haram. Kedua-dua ini diharuskan ketika kebencian kerana kebencian penting dan tidaklah berdosa sekiranya dia terpaksa melakukan perkara ini.
Kedua: Apa yang tidak dibolehkan ketika dharurat seperti membunuh, mencederakan, memukul dan merosakkan harta-benda orang. Perkara ini memang tidak boleh dilakukanlah. Sesiapa yang terpaksa juga melakukannya dia mestilah membayar ganti-rugi kerana telah melakukan perkara yang haram (Ibnu Hazem, al-Muhalla).
Ada pula ulama yang berpendapat bahawa taqiyyah merupakan kemudahan pada permulaan dakwah Islam sahaja. Ketika orang-orang Islam bimbang dengan keadaan mereka. Selepas munculnya negara Islam yang kuat, tidak harus lagi menggunakan taqiyyah. Pendapat ini sama dengan Mujahid al-Makki (al-Razi, Tafsir al-Razi).
Bagi al-Hassan al-Basri pula, dia bependapat bahawa taqiyyah: Harus kepada orang-orang yang beriman sehingga hari kiamat (al-Sarkhi, al-Mabsut).
Dia mengambil dalil daripada kebenaran Rasulullah S.A.W yang telah bersabda kepada Ammar bin Yasir yang maksudnya: “Sekiranya mereka kembali menyakitimu, ulanglah kembali dengan apa yang telah kau ucapkan” (al-Baidhawi, Tafsir al-Baidhawi).

Mazhab-mazhab Syiah di dalam Taqiyyah
Kebanyakkan para pengkaji Syiah menggambarkan seolah-olah Syiah sahajalah yang mengamalkan taqiyyah sehingga menjadi teori yang khusus bagi mereka pula. Mereka berkata taqiyyah merupakan cara untuk menubuhkan kelab-kelab rahsia ataupun persatuan yang akan membuat huru-hara. Mereka bependapat bahawa Syiah menjadikannya satu prinsip yang wajib pula yang mesti dipelihara oleh setiap pengikut Syiah (Goldziher, al-Aqidah wa al-Syariah – Philip Hitti, Tarikh al-Arab – Ahmad Amin, Dhuha Islam).
Sebenarnya mereka semua telah terjatuh ke dalam ijtihad yang salah ketika memperkatakan tentang taqiyyah. Mereka gagal membezakan di antara berbagai-bagai segi yang terdapat di dalam taqiyyah. Dari sini, seseorang pengkaji perlulah memahami gambaran-gambaran untuk mengenal-pasti kebenaran masalah taqiyyah ini.
Gambaran yang pertama:
Taqiyyah merupakan salah satu cara melindungi kebenaran untuk mengelakkan kecelakaan yang akan memusnahkan jiwa-raga. Seperti mana yang telah kita perhatikan di dalam mazhab-mazhab Islam yang lain, inilah juga makna taqiyyah. Taqiyyah juga merupakan kemudahan bagi seseorang Islam yang boleh dilakukan bilamana timbul sesuatu bahaya yang boleh menghancurkan diri dan harta-benda. Inilah juga makna kebencian yang dijadikan kaedah oleh ulama Fekah dan Aqidah iaitu: Tidak akan berlaku hukum syarak sekiranya perbuatan itu berlaku sedangkan orang yang membuat itu membencinya berdasarkan pula daripada hadis Nabi S.A.W. yang bermaksud: Ummatku tidak dikira berdosa sekiranya mereka tersilap, terlupa dan melakukan sesuatu perkara yang mereka tidak menyukainya (terpaksa).
Taqiyyah merupakan satu gambaran yang berkait-rapat dengan keadaan politik yang dialami oleh golongan Syiah sepanjang sejarah. Ketika berlaku kekalutan politik dan kebimbangan dengan penindasan yang telah berlaku, mereka telah cenderung ke arah mengiyakan sahaja kerajaan pada waktu itu sebagai jalan untuk melepaskan diri daripada kezaliman kerajaan. Taqiyyah beransur-ansur kurang selepas Syiah dapat hidup selesa kemudian daripada itu.
Ibnu Babawaeh al-Qummi (381H) yang hidup di dalam keadaan politik yang tidak membenarkan Syiah menyebarkan pendapat mereka telah bependapat bahawa taqiyyah merupakan suatu kewajipan agama. Dia berkata: Kami berpendapat taqiyyah adalah wajib. Sesiapa yang meninggalkannya seolah-olah dia meninggalkan fardhu yang lain seperti solat. Sesiapa yang meningalkannya sebelum munculnya Imam al-Mahdi, dia telah terkeluar daripada agama Allah, Rasulnya dan agama Imam-imam (Ibnu Babawaeh al-Qummi, Aqaid al-Syiah al-Imamiah).
Pada waktu ini, ulama Syiah terlalu berkeras di dalam taqiyyah dan beramal dengannya. Al-Kulaini dan Ibnu Babawaeh al-Qummi telah meriwayatkan dari Jaafar al-Saadiq ketika mentafsirkan firman Allah Taala yang bermaksud: Mereka diberikan pahala dua kali di atas kesabaran mereka (al-Qasas: 54) berkata: Dengan kesabaran mereka melakukan taqiyyah.

Katanya lagi ketika mentafsirkan firman Allah Taala yang bermaksud: Mereka menolak kejahatan dengan kebaikan (al-Raad: 22) dengan katanya: Kebaikan itu adalah taqiyyah dan kejahatan itu berterus-terang. Dia juga telah berkata: Sembilan persepuluh daripada agama itu adalah taqiyyah. Dan sesiapa yang tidak beramal dengan taqiyyah bukanlah orang-orang yang beriman. Katanya lagi: Aku telah mendengar ayahku berkata: Aku amat cinta akan taqiyyah. Sesiapa yang beramal dengan taqiyyah akan diangkat martabatnya. Juga katanya: Taqiyyah merupakan agamaku dan juga agama datuk nenekku. Sesiapa yang tidak berpegang kepada taqiyyah, dia bukanlah seorang yang beriman (al-Kulaini, al-Kafi di dalam bab taqiyyah).
Namun begitu, seorang tokoh reformis Syiah pada kurun ke-4, Syeikh al-Mufid berpendapat: Taqiyyah harus ketika bimbang akan keselamatan jiwa sahaja. Dan ada kala taqiyyah harus juga bilamana bimbang akan kemusnahan harta-benda. Dan aku berkata: Taqiyyah hanya harus di dalam perkataan ketika perlu dan tidak harus di dalam perbuatan seperti membunuh orang-orang Islam ataupun merosakkan agama (al-Mufid, Awail al-Maqalat).
Bilamana zaman berubah dan kekalutan politik juga telah berakhir, semakin kurang jugalah pegangan Syiah terhadap taqiyyah sehingga ada yang bependapat: Mereka tidak mengharuskan taqiyyah kecuali sesiapa yang bimbang akan keselamatan jiwanya. Jikalau tidak mereka tidak mengharuskannya (al-Tusi, Mulakhas al-Muhassal).
Gambaran yang kedua:
Gambaran yang selalu diabaikan oleh penulis-penulis tentang Syiah terutamanya ketika membincangkan prinsip taqiyyah ini. Pada pendapat saya gambaran ini amat penting yang merupakan sebab-sebab timbulnya taqiyyah. Ini bermaksud prinsip ini terikat dengan teori Syiah tentang khilafah dan Imamah yang berdasar kepada nas dan penentuan. Di sini, barangkali kita boleh mengelak berlakunya pertembungan antara Ahli Sunnah dengan Syiah dari segi prinsip.
Ulama Syiah telah cuba menerangkan beberapa perkara penting yang berkait dengan kemunculan Syiah dan perkembangannya melalui prinsip taqiyyah ini:
Pertama: Pendapat yang mengatakan Imam bebas daripada kesilapan, ditentukan melalui nas daripada Allah yang pasti, kemudian imam-imam ini membisu dengan tidak menuntut hak mereka, bahkan mengiktiraf pula kerajaan yang ada pada waktu itu akan menimbulkan pelbagai pertembungan akal kecuali dengan cara mengadakan taqiyyah. Ulama Ahli Sunnah telah memperkatakan tentang pertembungan di antara kebisuan imam di dalam menuntut hak mereka dengan hak mereka yang telah ditentukan oleh Allah melalui dalil-dalil yang pasti. Al-Fakhr al-Razi pernah berkata: Kemudian pendapat ini (pendapat yang mengatakan Imam dipelihara dan telah ditentukan) bercanggah dengan perlakuan Saidina Ali dan anak-anaknya. Seandainyalah mereka itu benar-benar Imam, mengapa mereka tidak memerangi kezaliman untuk mendapatkan hak mereka? Dari sinilah Syiah membuat kaedah lain iaitu taqiyyah (al-Fakhr al-Razi, Muhsal Araa al-Mutaqaddimin wa al-Mutaakhirin).
Jadi kita dapat melihat bagaimana prinsip taqiyyah ini berkait dengan prinsip nas dan penentuan. Al-Zaidiyyah yang menolak prinsip nas dan penentuan lalu membawa prinsip syura dan pemilihan di dalam melantik imam pula kita lihat telah menolak prinsip taqiyyah. Inilah yang merupakan punca perbalahan asasi di antara kedua-dua golongan ini (al-Syahrastani, al-Milai wa al-Nihal).
Kedua: Kebanyakan buku-buku mengatakan imam-imam telah mengeluarkan berbagai-bagai pendapat yang ada kalanya berbeza dengan pendapat imam yang lain. Namun bagi Syiah, pendapat yang berbeza ini bukanlah merupakan kesilapan. Imam terpelihara daripada melakukan kesalahan. Apa yang keluar daripada mulutnya hanyalah taqiyyah untuk menjaga diri daripada kemusnahan. Ibnu Babawaeh al-Qummi berkata: Ahl al-Bayt tidak berbeza pendapat. Mereka memberikan fatwa yang benar sahaja. Barangkali fatwa itu merupakan taqiyyah. Apa yang berbeza daripada mereka adalah taqiyyah. Taqiyyah merupakan rahmat bagi Syiah (Ibnu Babawaeh al-Qummi, Maani al-Akhbar).
Pebezaan pendapat ini telah menyebabkan golongan al-Butriah (pengikut al-Hassan bin Salleh bin al-Hayy) keluar daripada firqah Imam Abu Jaafar Muhammad al-Baqir. Kata al-Qummi: al-Butriah telah mendengar salah seorang daripada mereka yang bernama Umar bin al-Riyah bertanya kepada Abu Jaafar tentang satu masalah lalu dijawab olehnya. Pada tahun berikutnya, dia datang lagi lalu bertanya masalah yang sama juga. Lalu dijawab oleh Abu Jaafar dengan jawapan yang berlainan pula. Dia pun berkata kepada Abu Jaafar: Jawapan ini berbeza dengan jawapan yang telah kau berikan kepadaku pada tahun lepas. Lalu Abu Jaafar berkata: Barangkali apa yang telah aku katakan dahulu merupakan taqiyyah. Dia merasakan tidak yakin dengan Abu Jaafar lagi dan berkata: Imam tidak mungkin berkata sesuatu lain dengan apa yang diwajibkan oleh Allah (al-Qummi, Awail al-Maqalat).
Daripada penerangan ringkas ini, dapatlah kita fahami prinsip taqiyyah yang dipegang oleh Syiah Imamiah Ithna Asyariah. Taqiyyah merupakan cara untuk melepasi keganasan politik dan juga sebagai satu cara untuk menyesuaikannya dengan prinsip nas dan penentuan. Pendapat yang berkata Imam telah ditentukan oleh nas yang nyata dan pasti tidak akan sempurna tanpa taqiyyah.

Tambahan:

Al-Quran menegaskan tentang seorang mukmin dalam keluarga Fir’aun: “Dan seorang mukmin dari keluarga Fira’un yang menyembunyikan imannya berkata: “Apakah kalian akan membunuh seseorang yang berkata ‘Allah adalah Tuhanku’ padahal ia telah membawakan kalian kebenaran-kebenaran dari Tuhan kalian.” (QS. 40:28)

Kalimat yaktumu imanah, menyembunyikan imannya, jelas-jelas menegaskan masalah taqiyyah. Maka apakah bijaksana jika mukmin dari keluarga Fira’un itu terang-terangan menyatakan imannya, padahal dapat membahayakan keselamatannya? Selain itu tidak ada manfaat yang dapat diperolehnya.

Catatan: Daripada keterangan cendikiawan Ahl Sunnah di atas jelas menunjukkan bahawa orang yang mengamalkan taqiyyah bukanlah sesat menurut Ahl Sunnah. Perkara ini telah dibahas di abad-abad yang lampau oleh para ulama. Mereka hanya berbeza dalam perkara sama ada taqiyyah itu boleh dengan perbuatan atau perkataan sahaja atau kedua-duanya sekali, dengan orang kafir dll. Namun, alangkah sukarnya kita hendak mendidik masyarakat dengan perbahasan yang lebih ilmiah dan berfakta seperti ini. Kebanyakannya lebih suka berbahas secara FALLACY dan menyesatkan golongan lain yang tidak sefahaman tanpa cuba mengkaji hujah mereka. Tidakkah kadangkala kita juga bertaqiyyah dengan isteri atau bos kita??? Adakah ini bermaksud kita telah menjadi Syi’ah (pengikut) Ammar bin Yasir dan seorang mukmin dari keluarga Fir’aun namun dalam konteks yang berlainan??? Atau kita cuba meluaskan makna taqiyyah menurut Imam al-Ghazali dalam bab Kemudahan Untuk Berdusta???

1.     Dari segi bahasa (lughawi) menurut kamus Arab (Lisanul Arab):Perkataan  Tuqah, Taqiyah, Taqwa : Maknanya sama iaitu memelihara diri, bertaqwa.

2.       Manakala menurut kamus Arab yang lain iaitu Taj al-Arus: Taqiyyah, tuqah adalah kata terbitan (masdar) kpd ittaqa. Maknanya memelihara diri (waspada).

3.       Justeru itu, dalam khutbah Jumaat selalu dibacakan ayat al-Quran “Ittaqullah” yang diterjemahkan kpd “Takutlah kamu kepada Allah”. Maka cara takut kepada Allah bukan dgn lari daripada Allah tapi “Peliharalah diri kamu’ dengan cara melaksanakan suruhan-Nya dan meninggalkan larangan-Nya.

4.       Maka “Taqiyyah” dalam kehidupan seharian dapat diringkaskan kepada : Jika kamu takut berlaku sesuatu yang membahayakan atau tidak baik kepada diri, keluarga, agama, harta, maruah, (atau barangkali “jawatan N44” yang belum disahkan) dan lain-lain maka “peliharalah diri kamu”. Cara pelihara… sendiri kena fikir lah…. Kerana yang penting kita faham konsep taqiyyah tu ada dalam Islam berdasarkan ayat al-Quran (seorang mukmin dari keluarga Fir’aun) dan Hadis (Kisah Ammar bin Yasir) manakala cara amalannya bermacam-macam mengikut keperluan.

5.   Adapun yang mengharamkan Taqiyyah adalah golongan Khawarij (slogannya “La Hukma Illallah- Tidak ada hukum selain Hukum Allah” .

6.   Justeru itu Khawarij Moden sanggup melakukan pengeboman bunuh diri, mengkafirkan, membid’ahkan dan menyesatkan golongan lain dll bagi mencapai matlamat dakwahnya.

7.   Abd Rahman bin Muljam (Tokoh Khawarij Klasik) yang hitam dahinya kerana kesan sujud sanggup membunuh Saidina Ali (pemimpin yang sah) dalam Masjid Kufah, hari Jumaat, 17 Ramadhan waktu Suboh kerana menganggap saidina Ali telah KAFIR kerana bersetuju berdamai dengan Muawiyah dalam Perang Siffin. Khawarij juga memerangi saidina Ali (Wasi Nabi yang sah) dalam Perang Nahrawan.

Dalam catatan sejarah air mata: Dendam yang tak berkesudahan sehingga kini  

Sumber: 17 Ramadhan- Drama Cinta Di Sebalik Pembunuhan Imam Ali

(I)

Tujuh Belas Ramadhan (TBR) merupakan jalinan rumit kisah cinta antara Qutham dengan Said dan antara Khaulah dengan Abdurrahman bin Muljam. Qutham anak perempuan seorang Khawarij. Menuntut darah Ali bin Abi Thalib adalah cita-citanya semenjak ayah dan saudaranya terbunuh oleh tentara khalifah ke-4 itu pada peperangan Nahrawan di Sungai Dajlah (Tigris) dekat Baghdad. Sedang Said berdarah Umawy, yang juga menuntut darah Ali atas kasus terbunuhnya khalifah Usman bin Affan. Said memuja Qutham, seperti kumbang menemukan bunganya. Apalagi keduanya memiliki cita-cita yang sama. Pemuda itu kemudian membuat surat perjanjian untuk menikahi Qutham dengan darah Ali sebagai maharnya.

(II)

Khaulah anak seorang pembuat senjata di Mesir yang dekat dengan Amr bin Ash, ahli strategi Muawiyah dalam peristiwa Tahkim yang memenangkan anak Abu Sufyan itu secara politis atas Ali. Ayah Khaulah seorang khawarij pula, yang mendukung upaya pembunuhan atas menantu Rasulullah itu. Ia bahkan telah membuat pedang seribu dinar bertabur racun seribu dinar untuk Abdurrahman bin Muljam. Pemuda inilah yang akan melaksanakan tugas eksekusi itu. Khaulah sangat paham rahasia ini, karena sudah menjadi janji orangtuanya bahwa darah Ali akan menjadi mahar pernikahan Ibnu Muljam dengan dirinya. Padahal, Khaulah, berseberangan dengan Ayahnya. Ia berpihak pada Ali dan bertekad membantu menyelamatkannya.

(III)

Said berdiri di persimpangan jalan ketika dalam wasiatnya, Abu Rihab menyuruhnya menghapuskan dendam kesumat itu. Bahkan kakeknya itu meminta Said membantu menyelamatkan Ali dari pembunuhan oleh sekelompok orang. Ini bertentangan dengan perjanjian yang telah dibuatnya dengan Qutham.

(IV)

Sesampai di Kufah, Ibnu Muljam dipertemukan dengan Qutham oleh pembantu setianya. Melihat kecantikan gadis itu dan cita-cita yang sama untuk menuntut darah Ali – yang ditutup rapat gadis itu dari Said, Ibnu Muljam meminang gadis itu. Ini tentu pinangan baru setelah Said. Dan tentu saja, darah Ali menjadi maharnya.

Maka lengkaplah sudah konspirasi itu…..

Maka pembunuhan itu pun terjadilah. Ali ditikam dengan pedang beracun oleh Ibnu Muljam tepat di kening ketika Subuh tiba. Khalifah itupun wafat. Sedangkan Ibnu Muljam dibunuh oleh sahabat dan penjaga-penjaga Ali. Said akhirnya dibebaskan dengan meninggalkan penyesalan pada setiap orang.

(V)

Bagaimanapun, pembunuhan khalifah Ali bin Abi Thalib adalah sejarah berlumur darah kaum muslimin. Kita saja yang hidup 14 abad kemudian sangat menyayangkan mengapa hal itu bisa terjadi, meski tidak bisa mengambil tindakan apa-apa. Bagaimana mungkin para sahabat, orang-orang yang pernah hidup bersama Rasulullah dan menerima pembinaan langsung dari beliau, bahkan sebagian dari mereka sudah dijamin masuk syurga, bisa bertikai berkubang darah seperti itu……….

Rujukan: Tarikh Ibnul Atsir, tarikh Khumais, Sirah Halabiyah, Asadul Ghabah, Al-Mas’udi, tarikh Al-Khamis, dan sebagainya.

What is Taqiyah?

by Syed Saeed Akhtar Rizvi

Question 1:
What is the meaning of “Taqiyah”?
Answer: Its literal meaning is to safeguard; to defend; to fear; piety (because it saves one from the displeasure of Allah).
Al-Munjid says:
This gist of above is that the word taqiyah means to be on guard, to fear, to be pious.
The dictionary as-Surah says, (Taqiyah, tuqat = piety)

Question 2:
What is its significance in Islamic terminology?
Answer: In Islamic terminology it means “to save life, honour. or property (either one’s own or of other be­lievers) by hiding one’s belief or religion”.

Question 3:
Say whatever you like, but the fact re­mains that taqiyah is just another form of Nifaq (hypocrisy).
Answer. Far from it. In fact taqiyah is opposite of Nifaq. Remember, Iman and Kufr, when seen with their `declaration’, can be divided in four categories only:
(1) Correct belief of Islam by heart and its declaration in words. This is open Iman (faith).
(2) Belief against Islam by heart and expression of that anti Islamic belief in words. This is open Kufr (infidelity).

These two categories are opposite to each other and cannot combine in one place.
(3) Belief against Islam in heart but declaration of Islam in words. This is Nifaq (hypocricy).
(4) Correct belief of Islam by heart but declaration of anti Islamic belief in words. This is taqiyah, and these two categories (Nifaq and Taqyah are, likewise, opposite to each other and can never be found in one place.  (Imam ar-Razi too has clearly described this contrast in his tafsir in the following words: This points to the fact that (in these matters) consideration is given only to what is hidden in the heart. A hypocrite who shows faith and hides disbelief is a disbeliever, while a believer who under compulsion shows disbelief and hides faith is a be­liever; and Allah better knows that is hidden in the hearts of all. (View Tafsir Mafatihu ‘l ghayb, Egypt, under verse 19:10).)

Question 4:
Though this practice is allowed in the Qur’an and hadith, nevertheless it is something evil. I do not believe that Allah would like us to resort to it even if it is allowed.


Answer. …. if you ponder on the Qur’an you will see that the Holy Book of Allah presents taqiyah in a very commendable light. In the verse 40:28 Allah says: “And said a man who was a believer from among the people of Pharaoh: who used to conceal his faith … [Qur’an, 40:28]
It shows that Allah was well pleased with that hiding of the faith because it had great benefits, as Abu Talib kept his faith secret because it had great benefits. Just because Abu Talib did not announce his Faith, he was able to protect the life of the Holy Prophet (saw): Likewise, that believer from the family of Pharaoh was able to protect Prophet Musa (as) by not declaring his Faith openly.
Anyhow, his Faith based on taqiyah was so pleasing to Allah that he was counted as a “Siddiq” (Most Truthful). The Holy Prophet (saw) has said:
“There are three siddiqin: (1) Habib Najjar; (2) The faithful from the family of Pharaoh and (3) ‘Ali bin Abi Talib”. [`Ubaydullah Amritsari, Arjahu ‘l Matalib, 2nd ed., p. 23)

Not only “the Believer from the Family of Pharaoh” but, according to Al-Baidawi, even the Prophet Musa (as) had spent a considerable period of his life in taqiyah: See his Commentary under the following ayat,
Said (Pharaoh): Did we not cherish you amidst us as a child? And you did dwell amidst us for years of your’ life. [Qur’an, 20.18; Tafsir al-Baydawi, Egypt, vol. 1, pp. 112, 396 as quoted in Fulkun Najat, vol. 2, p. 103.]
Coming back to the time of the Holy Prophet of Islam, we know that the Holy Prophet kept his Mission secret for 3 years; and we have seen how ‘Ammar bin Yasir resorted to taqiyah. This was in Meccan period. Even after Hijrah there remained in Mecca many belie­vers whose Islam was unknown to others. When the peace of treaty was concluded in Hudaibiyah in 6 A.H. many Muslims were displeased with its terms.
Hadhrat Umar bin Khattab was so incensed that he protested to the Holy Prophet (saw), and in later days he used to say: “I did not entertain any doubt about the prophet­hood of the Holy Prophet since I accepted Islam except on that day of Hudaibiyah. [Imam as-Suyuti, Tafsir ad-Durru ‘l Manthur, vol. 6, p. 77).
Replying to that group, Allah explains one of the rea­sons of that treaty and one of the causes why war was not waged at that time: “And were it not for the believing men and believing women, not having known them you might’ have trodden them down; a crime would have afflicted you because of them without (your) knowledge. [Qur’an, 48:25]
This verse clearly says that there were believing men and believing women in Mecca whose Islam was un­known, not only to the pagans but even to the Muslims of Medina. And Allah describes such practicers of taqiyah a: ‘believing men’ and `believing women’.
In short, these verses, traditions and incidents clearly show and demonstrate that if one is in danger of one’s life because of his faith, then it is allowed to utter words against one’s true belief of Islam, to save the life which is more important and that `lie’ will not be counted against him.

The Sunni scholar, Najmuddin Tufi Hanbali writes:
“Know that the long arguments for and against taqiyah are useless …. but there is no doubt in its validity and legality. Of course, common people do not like its name (taqiyah) because it has been identified with the Shi’as. Otherwise, the whole world uses it naturally, though some call it `tolerance‘, others name it as `diplomacy, and some call it `common sense’. And it is proved by proofs of Shari’ah (Islam). (Tufi, Sharhu ‘l Arba’in an-Nawawi as quoted in Falkun Najat, 2nd ed. Lahore, vol. 2, p. 107).

wassalam…

Benarkah Tarawikh itu Bid’ah?

Benarkah Shalat Tarawih Berjamaah adalah Bid’ah?

Allah SWT berfirmah kepada Rasulullah SAWW:

Katakanlah: “Jika kamu (benar-benar) mencintai Allah, ikutilah aku, niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu.” Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang” (QS Aali Imran: 31)

Dan perintah Allah kepada umat Muhammad:

“…apa yang diberikan Rasul kepada kalian, Maka terimalah. dan apa yang dilarangnya bagi kalian, Maka tinggalkanlah. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya” (QS Al-Hasyr: 7)

Dan firman Allah:

Dan tidaklah patut bagi laki-laki yang mukmin dan tidak (pula) bagi perempuan yang mukmin, apabila Allah dan rasul-Nya telah menetapkan suatu ketetapan, akan ada bagi mereka pilihan (yang lain) tentang urusan mereka. Dan barangsiapa mendurhakai Allah dan rasul-Nya Maka sungguhlah dia Telah sesat, sesat yang nyata” (QS Al-Ahzab: 36).

Yang sering dijadikan Dalil sebagai Sunnahnya Shalat Tarawih adalah hadis riwayat Abu Hurairah RA salah satunya dalam Al Muwatta Imam Malik Kitab Shalat Fi Ramadhan Bab Targhib Fi Shalat Fi Ramadhan hadis no. 249 tahqiq Muhammad Fuad Abdul Baqi.

عن أبي هريرة أن رسول الله صلى الله عليه و سلم كان يرغب في قيام رمضان من غير أن يأمر بعزيمة فيقول من قام رمضان إيمانا وإحتسابا غفر له ما تقدم من ذنبه : قال بن شهاب فتوفي رسول الله صلى الله عليه و سلم والأمر على ذلك ثم كان الأمر على ذلك في خلافة أبي بكر وصدرا من خلافة عمر بن الخطاب

Dari Abu Hurairah RA bahwa Rasulullah SAW mendesak orang-orang agar melaksanakan shalat di malam hari di bulan Ramadhan, tapi Beliau tidak pernah memerintahkannya secara tegas. Beliau berkata: “Barang siapa shalat di malam bulan Ramadhan dengan kesungguhan iman dan harapan maka seluruh dosanya yang telah lalu akan diampuni”.

Ibnu Shihab Al Zuhri (salah satu perawi hadis ini) berkata: “Rasulullah SAW wafat ketika hal di atas masih menjadi kebiasaan dan berlanjut pada pemerintahan Abu Bakar dan permulaan pemerintahan Umar bin Khattab”.

Anda lihat sendiri tidak ada disebutkan yang namanya shalat tarawih tapi yang ada itu shalat malam. Dalam hal ini shalat malam yang dimaksud tidaklah berbeda dengan shalat-shalat malam di bulan-bulan lain hanya saja Rasulullah SAW sangat menganjurkannya di bulan Ramadhan. Jika anda melihat seseorang mengutip hadis secara terjemahan dengan kata-kata tarawih maka anda punya alasan kuat untuk meragukannya. Kerana kata sebenarnya dalam bahasa arab adalah Qiyam. Kata itulah yang diartikan secara bebas sebagai tarawih dalam terjemahannya.

******

Semua pemeluk agama Islam pengikut Muhammad Rasulullah SAWW pasti meyakini bahwa bid’ah adalah perbuatan yang harus dijauhi. Hal itu karena terlampau banyak hadis Rasul –baik dalam kitab standart Ahlusunnah maupun Syiah- yang melarang dengan keras dan tegas kepada segenap umatnya dalam pelaksanaan bid’ah.

Bahkan dalam beberapa hadis disebutkan bahwa berkumpul dengan pelaku bid’ahpun dilarang, apalagi melakukan bid’ah. Hal itu karena imbas dari ajaran Islam yang mengajarkan ajaran tauhid, termasuk tauhid dalam penentuan hukum agama. Jangankan manusia biasa, Rasulullah pun dilarang untuk membikin-bikin hukum agama. Beliau hanya berhak menyampaikan hukum Allah saja, tanpa diperkenankan untuk menambahi maupun menguranginya. Pelaku bid’ah dapat divonis sebagai penentang dalam masalah tauhid penentuan hukum yang menjadi hak preogatif Tuhan belaka. Hanya Dia yang memiliki otoritas mutlak untuk itu.

Pada kesempatan kali ini, kita akan menegok kembali hukum ‘Shalat Tarawih’ di bulan suci Ramadhan yang seringnya dilakukan secara berjamaah oleh kebanyakan kaum muslimin. Apakah Rasul pernah mencontohkannya ataukah tidak? Siapa pertama kali yang mempelopori pelaksanaan shalat tarawih berjamaah, dan dengan alasan apa? Jika Rasul tidak pernah mencontohkannya –bahkan memerintahkan untuk shalat sendiri-sendiri- maka pelaksanaannya secara berjamaah apakah tidak termasuk kategori bid’ah, sedang Rasul dalam hadisnya perbah bersabda: “Setiap Bid’ah adalah sesat” (kullu bid’atin dhalalah) dimana ungkapan ini meniscayakan bahwa tidak ada lagi pembagian bid’ah menjadi ‘baik’ (hasanah) dan ‘buruk/sesat’ (dhalalah)?

Kita akan mulai dengan apa yang dinyatakan oleh Imam Bukhari dalam kitab shahihnya yang dinukil dari Abdurrahman bin Abdul Qori yang menjelaskan: “Pada salah satu malam di bulan Ramadhan, aku berjalan bersama Umar (bin Khattab). Kami melihat orang-orang nampak sendiri-sendiri dan berpencar-pencar. Mereka melakukan shalat ada yang sendiri-sendiri ataupun dengan kelompoknya masing-masing. Lantas Umar berkata: “Menurutku alangkah baiknya jika mereka mengikuti satu imam (untuk berjamaah)”. Lantas ia memerintahkan agar orang-orang itu melakukan shalat dibelakang Ubay bin Ka’ab. Malam berikutnya, kami kembali datang ke masjid. Kami melihat orang-orang melakukan shalat sunnah malam Ramadhan (tarawih) dengan berjamaah. Melihat hal itu lantas Umar mengatakan: “Inilah sebaik-baik bid’ah!” (Shahih Bukhari jilid 2 halaman 252, yang juga terdapat dalam kitab al-Muwattha’ karya Imam Malik halaman 73).

Dari riwayat di atas dapat diambil kesimpulan bahwa; Pertama: Shalat terawih berjamaah tidak pernah dilakukan sebelum adanya perintah dari Umar. Kedua: Pertama kali shalat tarawih berjamaah diadakan pada zaman Umar sebagai khalifah. Sedang pada masa Rasul maupun khalifah pertama (Abu Bakar) tidak pernah ada. Ketiga: Atas dasar itulah maka Umar sendiri mengakui bahwa ini adalah ‘hasil pendapat pribadinya’ sehingga ia mengatakan “Ini adalah sebaik-baik bid’ah” (nimatul bid’ah hazihi). Sekarang yang menjadi pertanyaan; Bolehkan seorang manusia biasa mengada-ngada dengan dasar ‘pendapat pribadinya’ untuk membikin hukum peribadatan dalam Islam? Apa hukum mengada-ngada tersebut? Bagaimana memvonis pengada-ngada dan pelaksana hukum bikinan (baca: bid’ah) tersebut?

Kini kita lihat pengakuan beberapa ulama Ahlusunnah tentang hakekat hukum shalat tarawih berjamaah itu sendiri. Di sini kita akan mengambil beberapa contoh dari pribadi-pribadi tersebut. Ibn Hajar Al-Qosthalani dalam mensyarahi ungkapan Umar (“Ini adalah sebaik-baik bid’ah”) dalam kitab Shahih Bukhari tadi mengatakan: “Ia mengakui bahwa itu adalah bid’ah karena Rasul tidak pernah memrintahkanya sehingga shalat sunah di malam Ramadhan harus dilakukan secara berjamaah. Pada zaman Abu Bakar pun tidak pernah ada hal semacam itu.

Begitu pula tidak pernah ada pada malam pertama Ramadhan (di malam hari keluarnya perintah Umar tadi. red). Juga dalam kaitannya dengan jumlah rakaat (shalat tarawih) yang tidak memiliki asal” (Irsyad as-Sari jilid 5 halaman 4). Ungkapan dan penjelasan semacam ini juga dapat kita temukan dalam kitab Fathul Bari, Umdah al-Qori dan beberapa kitab lain yang dikarya untuk mensyarahi Shahih Bukhari. As-Suyuthi dalam kitab “Tarikh al-Khulafa’” menjelaskan bahwa, pertama kali yang memerintahkan untuk melakukan shalat tarawih secara berjamaah adalah Umar bin Khatab.

Ini pula yang diungkapkan oleh Abu Walid Muhammad bin Syuhnah dalam mengisahkan kejadian tahun 23 H. Sebagaimana juga diakui oleh Muhammad bin Saad sebagaimana yang tercantum dalam jilid ketiga kitab “at-Tabaqat” sewaktu menyebut nama Umar bin Khatab. Juga yang dinyatakan oleh Ibnu Abdul Bar dalam kitab “al-Isti’ab” sewaktu mensyarahi pribadi Umar bin Khatab. Jadi jelas sekali dan tidak dipungkiri oleh siapapun bahwa; shalat tarawih secara berjamaah adalah ibadah yang tidak pernah dicontohkan apalagi diperintahkan oleh baginda Rasulullah sehingga hal itu tergolong bid’ah yang harus dijauhi oleh setiap pribadi muslim yang mengaku cinta dan taat kepada pribadi mulia Rasulullah.

Sementara, dalam hadis-hadis lain disebutkan bahwa Rasulullah dengan keras melarang umatnya untuk melakukan shalat sunah secara berjamaah. Sebagai contoh, dalam sebuah hadis sahih disebutkan bahwa Rasul pernah bersabda: “Hendaknya atas kalian untuk melakukan shalat di rumah kalian, karena sebaik-baik shalat adalah yang dilakukan di rumah, kecuali shalat fardhu (wajib)” (Shohih Muslim dengan Syarh Imam Nawawi jilid 6 halaman 39, atau pada kitab Fathul Bari jilid 4 halaman 252).

Dengan menggabungkan empat argumen di atas tadi –(1) perintah mengikuti Rasul sehingga mendapat ridho Allah, (2) larangan melakukan bid’ah, (3) shalat tarawih tidak dicontohkan Rasul yang mensicayakan bid’ah dalam peribadatan dan (4) perintah Rasul untuk melakukan shalat sunah di rumah, secara sendiri-sendiri- maka banyak dari ulama Ahlusunnah sendiri yang mereka melakukan shalat tarawih di rumah masing-masing, tidak berjamaah di masjid ataupun mushalla.

Malah dalam kitab “al-Mushannaf” disebutkan, Ibnu Abi Syaibah meriwayatkan bahwa; “Ibnu Umar tidak pernah melakukan shalat tarawih berjamaah”. Dan dalam kitab yang sama, Mujahid mengatakan: “Pernah seseorang datang kepada Ibnu Umar dan bertanya: “Pada bulan Ramadhan, apakah shalat tarawih kita lakukan dengan berjamaah?” Ibnu Umar berkata: “Apakah kamu bisa membaca al-Quran?” Ia (penanya tadi) menjawab: “Ya!?” lantas Ibnu Umar berkata: Lakukan shalat tarawih di rumah!” (Al-Mushannaf jilid 5 halaman 264 hadis ke-7742 dan ke-7743).

Namun, sebagian dari ikhwan Ahlsunnah mengelak bahwa itu (tarawih berjamaah) adalah bid’ah berargumen dengan beberapa dalil. Di sini kita akan sebutkan sandaran mereka dengan kritisi ringkas atas dalil yang mereka kemukakan. Ada dua hadis yang sering dijadikan argumen sebagai landasan hukum legalitas shalat tarawih berjamaah di bulan Ramadhan;

Ummul Mukmin Aisyah berkata: “Pada satu pertengahan malam, Rasulullah keluar dari rumah untuk melaksanakan shalat di masjid. Beberapa orang mengikuti shalat beliau (sebagai makmum. red). Masyarakatpun mulai berdatangan karena kabar yang tersebar. Hal itu berjalan hingga malam ketiga. Masjidpun menjadi penuh. Pada malam keempat, setelah melaksanakan shalat Subuh Rasul berkhutbah di depan masyarakat dengan sabdanya: “…Aku khawatir perbuatan ini akan menjadi (dianggap) kewajiban sedang kalian tidak dapat melaksanakannya”. Sewaktu Rasulullah meninggal, suasana menjadi sedia kala” (Shahih Bukhari jilid 1 halaman 343).

Menjadikan hadis di atas sebagai dalil akan legalitas shalat tarawih berjamaah sangatlah lemah dan tidak sempurna. Karena di dalam teks hadis tersebut jelas sekali bahwa, tidak ada penjelasan bahwa itu terjadi pada bulan Ramadhan sehingga itu menunjukkan shalat tarawih. Selain karena hadis itu secara sanadnya terdapat pribadi yang bernama Yahya bin Bakir yang dihukumi lemah (dhaif) dalam meriwayatkan hadis. Hal itu bisa dilihat dalam kitab “Tahdzibul Kamal” jilid 20 halaman 40 dan atau Siyar A’lam an-Nubala’ jilid 10 halaman 612. Apalagi jika kita kaitkan dengan pengakuan sahabat Umar sendiri yang mengatakan bahwa tarawih adalah; “Sebaik-baik bid’ah”, sebagaimana yang telah kita singung di atas.

Ibn Wahab menukil dari Abu Hurairah yang meriwayatkan bahwa, suatu saat Rasul memasuki masjid. Belioau melihat para sahabat di beberapa tempat sedang sibuk melaksanakan shalat. Beliau bertanya: “Shalat apa yang mereka lakukan?”. Dijawab: “Sekelompok sedang melakukan shalat dengan diimami oleh Ubay bin Ka’ab”. Rasul lantas bersabda: “Apa yang mereka lakukan benar dan mereka telah melakukan kebaikan.” (Fathul Bari jilid 4 halaman 252).

Menjadikan hadis ini sebagai pembenar pelaksanaan shalat tarawih berjamaah pun tidak benar, karena dalam teks hadis jelas tidak dinyatakan shalat apakah yang sedang mereka laksanakan, shalat tarawihkah ataukah shalat fardhu (shalat wajib). Selain itu, Ibnu Hajar sendiri (penulis kitab “Fathul Bari” tadi) setelah menukil hadis tersebut menyatakan kelemahan hadis tersebut dari dua sisi; pertama: Terdapat pribadi yang bernama Muslim bin Khalid yang lemah (dhaif) dalam meriwayatkan hadis.

Kedua: Dalam hadis ini disebutkan bahwa Rasul yang mengumpulkan orang-orang agar shalat di belakang Ubay bin Ka’ab, padahal yang terkenal (ma’ruf) adalah sahabat Umar-lah yang mengumpulkan orang-orang untuk shalat bersama Ubay bin Ka’ab.

Dari sini jelaslah bahwa, pelaksanaan ‘ibadah shalat tarawih berjamaah’ bukan hanya tidak pernah diperintahkan oleh Rasul, bahkan Rasul sendiri tidak pernah mencontohkannya. Dan terbukti pula bahwa sahabat Umar-lah yang mempelopori ibadah tersebut. Padahal kita tahu bahwa ‘penentuan amal ibadah’ adalah hak mutlak Allah yang dijelaskan melalui lisan suci Rasulullah. Rasul sendiri tidak berhak menentukan suatu amal ibadah, apalagi manusia biasa, walaupun ia tergolong sahabat. Oleh karenanya, sahabat Umar sendiri mengakui bahwa itu adalah bagian dari Bid’ah. Sedang kita tahu bahwa semua bid’ah adalah sesat, sehingga tidak ada lagi celah untuk membagi bid’ah kepada baik dan tidak baik.

Semoga dalam bulan suci Ramadhan ini kita bisa mengamalkan segala perintah Allah dan menjauhi segala larangan-Nya, termasuk menjauhi segala macam jenis bid’ah seperti melaksanakan shalat tarawih berjamaah. Karena bagaimana mungkin kita akan dapat mendekatkan diri kepada Allah SWT namun jalan dan sarana yang kita tempuh adalah melalui perbuatan yang dibenci oleh Allah, seperti bid’ah. Mustahil sesuatu yang menjauhkan dari Allah (seperti Bid’ah) akan dapat mendekatkan kepada-Nya (masuk kategori ibadah). Ini adalah dua hal kontradiktif yang mustahil terjadi. Semoga dengan menjauhi semua bid’ah kita dapat meninggalkan bulan Ramadhan dengan kembali ke fitrah yang suci, melalui Iedul Fitri. Amin

kajian tentang umur Aishah

Pernikahan Nabi Saww. dengan Aisyah: Kajian Ulang Artikel terjemahan; Judul Asal: Was Ayesha A Six-Year-Old Bride? The Ancient Myth Exposed by T.O. Shanavas Seorang teman kristen suatu kali bertanya kepada saya, “Akankah anda menikahkan saudara perempuanmu yang berumur 7 tahun dengan seorang tua berumur 50 tahun?” Saya terdiam.Dia melanjutkan, “Jika anda tidak akan melakukannya, bagaimana bisa anda menyetujui pernikahan gadis polos berumur 7 tahun, Aisyah, dengan Nabi anda?” Saya katakan padanya, “Saya tidak punya jawaban untuk pertanyaan anda pada saat ini.” Teman saya tersenyum dan meninggalkan saya dengan goncangan dalam batin saya akan agama saya. Kebanyakan muslim menjawab bahwa pernikahan seperti itu diterima masyarakat pada saat itu. Jika tidak, orang-orang akan merasa keberatan dengan pernikahan Nabi saw dengan Aisyah. Bagaimanapun, penjelasan seperti ini akan mudah menipu bagi orang-orang yang naif dalam mempercayainya. Tetapi, saya tidak cukup puas dengan penjelasan seperti itu. Nabi merupakan manusia tauladan. Semua tindakannya paling patut dicontoh sehingga kita, Muslim dapat meneladaninya. Bagaimanapun, kebanyakan orang di Islamic Center of Toledo, termasuk saya, Tidak akan berpikir untuk menunangkan saudara perempuan kita yang berumur 7 tahun dengan seorang laki-laki berumur 50 tahun. Jika orang tua setuju dengan pernikahan seperti itu, kebanyakan orang, walaupun tidak semuanya, akan memandang rendah terhadap orang tua dan suami tua tersebut. Tahun 1923, pencatat pernikahan di Mesir diberi intruksi untuk menolak pendaftaran dan menolak mengeluarkan surat nikah bagi calon suami berumur di bawah 18 tahun, dan calon isteri dibawah 16 tahun. Tahun 1931, Sidang dalam organisasi-organisi hukum dan syariah menetapkan untuk tidak merespon pernikahan bagi pasangan dengan umur diatas (Women in Muslim Family Law, John Esposito, 1982). Ini memperlihatkan bahwa walaupun di negara Mesir yang mayoritas Muslim pernikahan usia anak-anak adalah tidak dapat diterima. Jadi, saya percaya, tanpa bukti yang solidpun selain perhormatan saya terhadap Nabi, bahwa cerita pernikahan gadis berumur 7 tahun dengan Nabi berumur 50 tahun adalah mitos semata-mata. Bagaimanapun perjalanan panjang saya dalam menyelidiki kebenaran atas hal ini membuktikan intuisi saya benar adanya. Nabi memang seorang yang gentleman. Dan dia tidak menikahi gadis polos berumur 7 atau 9 tahun. Umur Aisyah telah dicatat secara salah dalam literatur hadist. Lebih jauh, saya pikir bahwa cerita yang menyebutkan hal ini sangatlah tidak bisa dipercaya. Beberapa hadist (tradisi Nabi) yang menceritakan mengenai umur Aisyah pada saat pernikahannya dengan Nabi, hadist-hadist tersebut sangat bermasalah. Saya akan menyajikan beberapa bukti melawan khayalan yang diceritakan Hisham ibnu `Urwah dan untuk membersihkan nama Nabi dari sebutan seorang tua yang tidak bertanggung jawab yang menikahi gadis polos berumur 7 tahun. Bukti #1: Pengujian Terhadap Sumber Sebagian besar riwayat yang menceritakan hal ini yang tercetak di hadist yang semuanya diriwayatkan hanya oleh Hisham ibn `Urwah, yang mencatat atas otoritas dari bapaknya, yang mana seharusnya minimal 2 atau 3 orang harus mencatat hadist serupa juga. Adalah aneh bahwa tak ada seorangpun yang di Madinah, dimana Hisham ibn `Urwah tinggal, sampai usia 71 tahun baru menceritakan hal ini, disamping kenyataan adanya banyak murid-murid di Madinah termasuk yang tersohor Malik ibn Anas, tidak menceritakan hal ini. Asal dari riwayat ini adalah dari orang-orang Iraq, di mana Hisham tinggal di sana dan pindah dari Madinah ke Iraq pada usia tua. Tahzibul-Tahzib, salah satu buku yang cukup terkenal yang berisi catatan para periwayat hadist, menurut Yaqub ibn Shaibah mencatat: “Hisham sangat bisa dipercaya, riwayatnya dapat diterima, kecuali apa-apa yang dia ceritakan setelah pindah ke Iraq”. (Tahzibul-Tahzib, Ibn Hajar Al-`Asqalani, Dar Ihya al-Turath al-Islami, 15th Century. Vol 11, p.50). Dalam pernyataan lebih lanjut bahwa Malik ibn Anas menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq: “Saya pernah diberi tahu bahwa Malik menolak riwayat Hisham yang dicatat dari orang-orang Iraq” (Tahzibul-Tahzib, Ibn Hajar Al- `Asqalani, Dar Ihya al-Turath al-Islami, Vol.11, p. 50). Mizanul-al-I`tidal, buku lain yang berisi uraian riwayat hidup pada periwayat hadist Nabi saw mencatat: “Ketika masa tua, ingatan Hisham mengalami kemunduran yang mencolok” (Mizanul-I`tidal, Al-Zahbi, Al-Maktabatu’l-Athriyyah, Sheikhupura, Pakistan, Vol. 4, p. 301). KESIMPULAN: Berdasarkan referensi ini, ingatan Hisham sangatlah buruk dan riwayatnya setelah pindah ke Iraq sangat tidak bisa dipercaya, sehingga riwayatnya mengenai umur pernikahan Aisyah adalah tidak kredibel. KRONOLOGI: Adalah vital untuk mencatat dan mengingat tanggal penting dalam sejarah Islam: Pra-610M: Jahiliyah (pra-Islamic era) sebelum turun wahyu. 610M: turun wahyu pertama Abu Bakr menerima Islam. 613M: Nabi Muhammad mulai mengajar ke tengah masyarakat. 615M: Hijrah ke Abyssinia. 616M: Umar bin al Khattab menerima Islam. 620 M: dikatakan Nabi meminang Aisyah. 622M: Hijrah ke Yathrib, kemudian dinamai Madinah. 623/624 M: dikatakan Nabi saw berumah tangga dengan Aisyah. Bukti #2: Meminang Menurut Tabari (juga menurut Hisham ibn `Urwah, Ibn Humbal and Ibn Sa’d), Aisyah dipinang pada usia 7 tahun dan mulai berumah tangga pada usia 9 tahun. Tetapi, di bagian lain, Al-Tabari mengatakan: “Semua anak Abu Bakr (4 orang) dilahirkan pada masa jahiliyah dari 2 isterinya”. (Tarikhu’l-Umam wa’l-Mamluk, Al-Tabari (died 922), Vol. 4, p. 50, Arabic, Dar al-Fikr, Beirut, 1979). Jika Aisyah dipinang 620M (Aisyah umur 7 tahun) dan berumah tangga tahun 623/624 M (usia 9 tahun), ini mengindikasikan bahwa Aisyah dilahirkan pada 613 M. Sehingga berdasarkan tulisan Al- Tabari, Aisyah seharusnya dilahirkan pada 613M, Yaitu 3 tahun sesudah masa Jahiliyahh usai (610 M). Tabari juga menyatakan bahwa Aisyah dilahirkan pada saat Jahiliyah. Jika Aisyah dilahirkan pada era Jahiliyah, seharusnya minimal Aisyah berumur 14 tahun ketika dinikah. Tetapi intinya Tabari mengalami kontradiksi dalam periwayatannya. KESIMPULAN: Al-Tabari tak reliable (tak dapat dipercayai) mengenai umur Aisyah ketika menikah. Bukti # 3: Umur Aisyah jika dihubungkan dengan umur Fatimah Menurut Ibn Hajar, “Fatima dilahirkan ketika Ka`bah dibangun kembali, ketika Nabi saw berusia 35 tahun. Fatimah 5 tahun lebih tua dari Aisyah” (Al-Isabah fi Tamyizi’l-Sahabah, Ibn Hajar al-Asqalani, Vol. 4, p. 377, Maktabatu’l-Riyadh al-Haditha, al-Riyadh,1978). Jika statement Ibn Hajar adalah factual, berarti Aisyah dilahirkan ketika Nabi berusia 40 tahun. Jika Aisyah dinikahi Nabi pada saat usia Nabi 52 tahun, maka usia Aisyah ketika menikah adalah 12 tahun. KESIMPULAN: Ibn Hajar, Tabari, Ibn Hisham, dan Ibn Humbal kontradiksi satu sama lain. Tetapi tampak nyata bahwa riwayat Aisyah menikah usia 7 tahun adalah mitos tak berdasar. Bukti #4: Umur Aisyah dihitung dari umur Asma’ Menurut Abda’l-Rahman ibn Abi Zanna’d: “Asma’ lebih tua 10 tahun dibanding Aisyah (Siyar A`lama’l-Nubala’, Al-Zahabi, Vol. 2, p. 289, Arabic, Mu’assasatu’l-Risalah, Beirut, 1992). Menurut Ibn Kathir: “Asma’ lebih tua 10 tahun dari adiknya [Aisyah]” (Al-Bidayah wa’l-Nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 371, Dar al-Fikr al-`Arabi, Al-Jizah, 1933). Menurut Ibn Kathir: “Asma’ melihat pembunuhan anaknya pada tahun 73 H, dan 5 hari kemudian Asma’ meninggal. Menurut riwayat lainnya, dia meninggal 10 atau 20 hari kemudian, atau beberapa hari lebih dari 20 hari, atau 100 hari kemudian. Riwayat yang paling kuat adalah 100 hari kemudian. Pada waktu Asma’ meninggal, dia berusia 100 tahun”. (Al-Bidayah wa’l-Nihayah, Ibn Kathir, Vol. 8, p. 372, Dar al-Fikr al-`Arabi, Al- Jizah, 1933). Menurut Ibn Hajar Al-Asqalani: “Asma’ hidup sampai 100 tahun dan meninggal pada 73 atau 74 H.” (Taqribu’l-Tahzib, Ibn Hajar Al-Asqalani, p. 654, Arabic, Bab fi’l-Nisa’, al-Harfu’l-Alif, Lucknow). Menurut sebagian besar ahli sejarah, Asma’, Saudara tertua dari Aisyah berselisih usia 10 tahun. Jika Asma’ wafat pada usia 100 tahun pada 73 H, Asma’ seharusnya berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah 622M). Jika Asma’ berusia 27 atau 28 tahun ketika hijrah (ketika Aisyah berumah tangga), Aisyah seharusnya berusia 17 atau 18 tahun. Jadi, Aisyah, berusia 17 atau 18 tahun ketika hijrah pada tahun dimana Aisyah berumah tangga. Berdasarkan Ibn Hajar, Ibn Kathir, dan Abda’l-Rahman ibn Abi Zanna’d, usia Aisyah ketika beliau berumah tangga dengan Rasulullah adalah 19 atau 20 tahun. Dalam bukti # 3, Ibn Hajar memperkirakan usia Aisyah 12 tahun dan dalam bukti #4 Ibn Hajar mengkontradiksi dirinya sendiri dengan pernyataannya usia Aisyah 17 atau 18 tahun. Jadi mana usia yang benar? 12 atau 18? KESIMPULAN: Ibn Hajar tidak valid dalam periwayatan usia Aisyah. Bukti #5: Perang BADAR dan UHUD Sebuah riwayat mengenai partisipasi Aisyah dalam perang Badr dijabarkan dalam hadist Muslim, (Kitabu’l-Jihad wa’l-Siyar, Bab Karahiyati’l-Isti`anah fi’l-Ghazwi bikafir). Aisyah, ketika menceritakan salah satu moment penting dalam perjalanan selama perang Badar, mengatakan: “ketika kita mencapai Shajarah”. Dari pernyataan ini tampak jelas, Aisyah merupakan anggota perjalanan menuju Badar. Sebuah riwayat mengenai pastisipasi Aisyah dalam Uhud tercatat dalam Bukhari (Kitabu’l-Jihad wa’l-Siyar, Bab Ghazwi’l-Nisa’ wa Qitalihinnama`a’lrijal): “Anas mencatat bahwa pada hari Uhud, Orang-orang tidak dapat berdiri dekat Rasulullah’ [Pada hari itu,] Saya melihat Aisyah dan Umm-i-Sulaim dari jauh, Mereka menyingsingkan sedikit pakaiannya [untuk mencegah halangan gerak dalam perjalanan tsb].” Lagi-lagi, hal ini menunjukkan bahwa Aisyah ikut berada dalam perang Uhud dan Badr. Diriwayatkan oleh Bukhari (Kitabu’l-Maghazi, Bab Ghazwati’l-khandaq wa Hiya’l-Ahza’b): “Ibn `Umar menyatakan bahwa Rasulullah tidak mengizinkan dirinya berpatisipasi dalam Uhud, pada ketika itu, Ibnu Umar berusia 14 tahun. Tetapi ketika perang Khandaq, ketika berusia 15 tahun, Nabi mengizinkan Ibnu Umar ikut dalam perang tsb.” Berdasarkan riwayat diatas, (a) anak-anak berusia dibawah 15 tahun akan dipulangkan dan tidak diperbolehkan ikut dalam perang, dan (b) Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud. KESIMPULAN: Aisyah ikut dalam perang Badar dan Uhud jelas mengindikasikan bahwa beliau tidak berusia 9 tahun ketika itu, tetapi minimal berusia 15 tahun. Disamping itu, wanita-wanita yang ikut menemani para pria dalam perang sudah seharusnya berfungsi untuk membantu, bukan untuk menambah beban bagi mereka. Ini merupakan bukti lain dari kontradiksi usia pernikahan Aisyah. BUKTI #6: Surat al-Qamar (Bulan) Menurut beberapa riwayat, Aisyah dilahirkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah. Tetapi menurut sumber lain dalam Bukhari, Aisyah tercatat mengatakan hal ini: “Saya seorang gadis muda (jariyah dalam bahasa Arab)” ketika Surah Al-Qamar diturunkan (Sahih Bukhari, Kitabu’l-Tafsir, Bab Qaulihi Bal al-Sa`atu Maw`iduhum wa’l-Sa`atu Adha’ wa Amar). Surat 54 dari Quran diturunkan pada tahun ke delapan sebelum hijriyah (The Bounteous Koran, M.M. Khatib, 1985), menunjukkan bahwa surat tsb diturunkan pada tahun 614 M. Jika Aisyah memulai berumahtangga dengan Rasulullah pada usia 9 di tahun 623 M atau 624 M, Aisyah masih bayi yang baru lahir (sibyah in Arabic) pada saat Surah Al-Qamar diturunkan. Menurut riwayat di atas, secara aktual tampak bahwa Aisyah adalah gadis muda, bukan bayi yang baru lahir ketika pewahyuan Surah Al-Qamar. Jariyah berarti gadis muda yang masih suka bermain (Lane’s Arabic English Lexicon). Lantaran itu, Aisyah, telah menjadi jariyah bukan sibyah (bayi), jadi telah berusia 6-13 tahun pada saat turunnya surah Al-Qamar, dan oleh karena itu sudah pasti berusia 14-21 tahun ketika dinikah Nabi. KESIMPULAN: Riwayat ini juga mengkontra riwayat pernikahan Aisyah yang berusia 9 tahun. Bukti #7: Terminologi bahasa Arab Menurut riwayat dari Ahmad ibn Hanbal, sesudah meninggalnya isteri pertama Rasulullah, Khadijah, Khaulah datang kepada Nabi dan menasehati Nabi untuk menikah lagi, Nabi bertanya kepadanya tentang pilihan yang ada di pikiran Khaulah. Khaulah berkata: “Anda dapat menikahi seorang gadis (bikr) atau seorang wanita yang pernah menikah (thayyib)”. Ketika Nabi bertanya tentang identitas gadis tersebut (bikr), Khaulah menyebutkan nama Aisyah. Bagi orang yang paham bahasa Arab akan segera melihat bahwa kata ‘bikr’ dalam bahasa Arab tidak digunakan untuk gadis belia berusia 9 tahun. Kata yang tepat untuk gadis belia yang masih suka bermain-main adalah, seperti dinyatakan dimuka, adalah jariyah. ‘Bikr’ di sisi lain, digunakan untuk seorang wanita yang belum menikah serta belum punya pertautan pengalaman dengan pernikahan, sebagaimana kita pahami dalam bahasa Inggris “virgin”. Oleh karena itu, tampak jelas bahwa gadis belia berusia 9 tahun bukanlah “wanita” (bikr) (Musnad Ahmad ibn Hanbal, Vol. 6, p.210, Arabic, Dar Ihya al-Turath al-`Arabi, Beirut). KESIMPULAN: Arti literal dari kata, bikr (gadis), dalam hadist diatas adalah “wanita dewasa yang belum punya pengalaman sexual dalam pernikahan.” Oleh karena itu, Aisyah adalah seorang wanita dewasa pada waktu menikahnya. Bukti #8. Text Qur’an Seluruh muslim setuju bahwa Al-Qur’an adalah buku petunjuk. Jadi, kita perlu mencari petunjuk dari Qur’an untuk membersihkan kabut kebingungan yang diciptakan oleh para periwayat pada periode klasik Islam mengenai usia Aisyah dan pernikahannya. Apakah Qur’an mengizinkan atau melarang pernikahan dari gadis belia berusia 7 tahun? Tak ada ayat yang secara eksplisit mengizinkan pernikahan seperti itu. Ada sebuah ayat, yang bagaimanapun, yang menuntun muslim dalam mendidik dan memperlakukan anak yatim. Petunjuk Qur’an mengenai perlakuan anak Yatim juga valid diaplikasikan ada anak kita sendiri. Ayat tersebut mengatakan: “Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. Berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik. (Qs. 4:5). “Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. Kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. ?? (Qs. 4:6). Dalam hal seorang anak yang ditinggal orang tuanya, Seorang muslim diperintahkan untuk (a) memberi makan mereka, (b) memberi pakaian, (c) mendidik mereka, dan (d) menguji tahap kedewasaan “sampai usia menikah” sebelum mempercayakan mereka dalam pengelolaan keuangan. Disini, ayat Qur’an menyatakan tentang perlunya bukti yang teliti terhadap tingkat kedewasaan intelektual dan fisik melalui hasil test yang objektif sebelum memasuki usia nikah dan untuk mempercayakan pengelolaan harta-harta kepada mereka. Dalam ayat yang sangat jelas di atas, tidak ada seorangpun dari muslim yang bertanggungjawab akan melakukan pengalihan pengelolaan keuangan pada seorang gadis belia berusia 7 tahun. Jika kita tidak bisa mempercayai gadis belia berusia 7 tahun dalam pengelolaan keuangan, Gadis tersebut secara tidak memenuhi syarat secara intelektual maupun fisik untuk menikah. Ibn Hanbal (Musnad Ahmad ibn Hanbal, vol.6, p. 33 and 99) menyatakan bahwa Aisyah yang berusia 9 tahun lebih tertarik untuk bermain dengan mainannya daripada mengambil tugas sebagai isteri. Oleh karena itu sangatlah sulit untuk mempercayai, bahwa Abu Bakar, seorang tokoh muslim, akan menunangkan anaknya yang masih belia berusia 7 taun dengan Nabi yang berusia 50 tahun. Sama sulitnya untuk membayangkan bahwa Nabi menikahi seorang gadis belia berusia 7 tahun. Sebuah tugas penting lain dalam menjaga anak adalah mendidiknya. Marilah kita memunculkan sebuah pertanyaan, “berapa banyak di antara kita yang percaya bahwa kita dapat mendidik anak kita dengan hasil memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 atau 9 tahun?” Jawabannya adalah Nol besar. Logika kita berkata, adalah tidak mungkin tugas mendidik anak kita dengan memuaskan sebelum mereka mencapai usia 7 tahun, lalu bagaimana mana mungkin kita percaya bahwa Aisyah telah dididik secara sempurna pada usia 7 tahun seperti diklaim sebagai usia pernikahannya? Abu Bakr merupakan seorang yang jauh lebih bijaksana dari kita semua. Jadi dia akan merasa dalam hatinya bahwa Aisyah masih seorang anak-anak yang belum secara sempurna sebagaimana dinyatakan Qur’an. Abu Bakar tidak akan menikahkan Aisyah kepada seorangpun. Jika sebuah proposal pernikahan dari gadis belia dan belum terdidik secara memuaskan datang kepada Nabi, Beliau akan menolak dengan tegas karena itu menentang hukum-hukum Quran. KESIMPULAN: Pernikahan Aisyah pada usia 7 tahun akan menentang hukum kedewasaan yang dinyatakan Qur’an. Oleh karena itu, cerita pernikahan Aisyah gadis belia berusia 7 tahun adalah mitos semata-mata Bukti #9: Izin dalam pernikahan Seorang wanita harus ditanya dan diminta persetujuan agar pernikahan yang dia lakukan menjadi sah (Mishkat al-Masabih, translation by James Robson, Vol. I, p. 665). Secara Islami, persetujuan yang kredible dari seorang wanita merupakan syarat dasar bagi kesahan sebuah pernikahan. Dengan mengembangkan kondisi logis ini, persetujuan yang diberikan oleh gadis belum dewasa berusia 7 tahun tidak dapat diautorisasi sebagai validitas sebuah pernikahan. Adalah tidak terbayangkan bahwa Abu Bakr, seorang laki-laki yang cerdas, akan berpikir dan mananggapi secara keras tentang persetujuan pernikahan gadis 7 tahun (anaknya sendiri) dengan seorang laki-laki berusia 50 tahun. Serupa dengan ini, Nabi tidak mungkin menerima persetujuan dari seorang gadis yang menurut hadith dari Muslim, masih suka bermain-main dengan bonekanya ketika berumah tangga dengan Rasulullah. KESIMPULAN: Rasulullah tidak menikahi gadis berusia 7 tahun karena akan tidak memenuhi syarat dasar sebuah pernikahan islami tentang klausa persetujuan dari pihak isteri. Oleh karena itu, hanya ada satu kemungkinan Nabi menikahi Aisyah seorang wanita yang dewasa secara intelektual maupun fisik. Summary: Tidak ada tradisi Arab untuk menikahkan anak perempuan atau laki-laki yang berusia 9 tahun. Demikian juga tidak ada pernikahan Rasulullah SAW dan Aisyah ketika berusia 9 tahun. Orang-orang Arab tidak pernah keberatan dengan pernikahan seperti ini, karena ini tak pernah terjadi sebagaimana isi beberapa riwayat. Jelas nyata, riwayat pernikahan Aisyah pada usia 9 tahun oleh Hisham ibn `Urwah tidak bisa dianggap sebagai kebenaran, dan kontradiksi dengan riwayat-riwayat lain. Lebih jauh, tidak ada alasan yang nyata untuk menerima riwayat Hisham ibn `Urwah sebagai kebenaran ketika para pakar lain, termasuk Malik ibn Anas, melihat riwayat Hisham ibn `Urwah selama di Iraq adalah tidak reliable. Pernyataan dari Tabari, Bukhari dan Muslim menunjukkan mereka kontradiksi satu sama lain mengenai usia menikah bagi Aisyah. Lebih jauh, beberapa pakar periwayat mengalami internal kontradiksi dengan riwayat-riwayatnya sendiri. Jadi, riwayat usia Aisyah 9 tahun ketika menikah adalah tidak reliable karena adanya kontradiksi yang nyata pada catatan klasik dari pakar sejarah Islam. Oleh karena itu, tidak ada alasan absolut untuk menerima dan mempercayai usia Aisyah 9 tahun ketika menikah sebagai sebuah kebenaran disebabkan cukup banyak latar belakang untuk menolak riwayat tsb dan lebih layak disebut sebagai mitos semata-mata. Lebih jauh, Qur’an menolak pernikahan gadis dan lelaki yang belum dewasa sebagaimana tidak layak membebankan kepada mereka tanggung jawab-tanggung jawab. Note: The Ancient Myth Exposed By T.O. Shanavas, di Michigan©2001 Minaret from The Minaret Source: http://www.iiie.net/ Diterjemahkan oleh: Cahyo Prihartono Beberapa tanggapan: Lantas bgmn mensikapi Hadits shohih bukhori & Muslim itu? menolak…? artinya keshahihan kitab hadits itu bisa dipertanyakan donk…. mohon pencerahannnya… By: bob on Maret 5, 2007 at 4:38 pm assalamualaykum… hmmm…. gmn yah ngejawabnya? ya… ana rasa antum diberia akal fikiran oleh Allah untuk memilih kebenaran. untuk masalah hadits shohih bukhori & muslim harus diingat bahwa bukhori muslim itu tidaklah ma’sum, jadi kita tetap harus melihat kembali dan tidak menerima mentah-mentah isi hadits itu. sebagai contoh silahkan antum coba pelajari kembali hadits2 yang ada dalam shohih bukhori ternyata masih banyak hadits yang dho’if baik dari segi sanad atupun matan. ingat yang mengatakan bahwa hadits dalam kitab shohih itu yang mengatakan semua hadisnya shohih adalah bukhori muslim sendiri, dan kita tidak bisa percaya begitu saja. afwan insyaallah akan ana komentari lebih lanjut tapi lagi sibuk neh. syukron. By: luthv on Maret 8, 2007 at 12:58 pm oia…. menurut ilmu ushul salah satu indikator sebuah hadits dikatakan shohih apbila hadits tersebut tidak bertentangan dengan al-Quran dan sunnah yang mutawattir serta lebih kuat serta tidak bertentangan dengan akal sehat. wallahualam. By: luthv on Maret 8, 2007 at 1:01 pm Apa betul Aisyah umurnya 30 tahun alias terlambat kawin (perawan berek)??? • By: az on Maret 13, 2007 at 10:13 am salam mas, hadis ini memang sering dibuat bahan olen para orientalis dan non muslim untuk menyerang pribadi luhur, manusia terbaik pilihan Allah Nabi Besar Muhammad saw. ya karena umat Islam sudah terlalu meluarbiasakan kitab Bukhori-Muslim akhirnya sifat kritis kita terhadap hadis-hadisnya sudah nggak ada lagi, padahal seperti kata mas luth tadi Bukhori adalah manusia biasa yang bisa salah. kadang-kadang dengan tidak kita sadari kita lebih membela hadis-hadis yang masih meragukan tersebut, walaupun dengan resiko pribadi Nabi saw yang agung tercoreng. padahal beliau sudah dijamin dalam al-Qur’an bahwa beliau saw adalah “Pribadi yang paling agung”! harusnya kita menteladani Bukhori yakni menyaring hadis-hadis, bukan hanya hadis Bukhori saja tapi semua hadis, agar kita benar-benar mendapatkan hadis-hadis, yang shohih. Bukankah Bukhori katanya menyaring hadis yang jumlahnya ratusan ribu (ada yang bilang sejuta, yang penting banyaklah) kemudian disaring dan di saring hingga yang dibukukan tinggal sekitar empat ribuan atau enam ribuan termasuk hadis-hadis yang sama. kebetulan mengenai pembahasan diatas, saya kebetulan lagi asyik browsing, akhirnya ndapatin tulisan soal itu di “Sydney Morning Herald”, koran ini kebetulan lagi memberi laporan khusus soal Islam di Sydney-Australi. disitu seorang muslim [Dr Zacharia Matthews] diberi kesempatan untuk menjawab pertanyaan para bule yang non muslim tentang Islam, kebetulan salah seorang penanya menyoal perkawinan Nabi saw dengan Aisyah ra yang berumur 9th. dibawah ini saya kopi-pastekan soal jawab tersebut (untuk diketahui): [How are Islamic men ever going to respect women when the KOran states that a woman’s word is worth half that of a man, a man is allowed to lightly beat his wife and the prophet married and slept with a 9 year girl? Is it not time for an intelligent Muslim to stand up and say maybe the prophet and the Koran aren’t so perfect? When it comes to the testimony or witness of a man versus a women, it is conditional upon qualification and roles assigned by Islam. For example as some scholars have ruled, if a Muslim woman is an expert on Islamic Finance then she is qualified to act as a witness or give testimony within her filed of expertise. With regard to the Prophet marrying a nine year old, he did not incur any sanction from the people of his time including his enemies since it was an accepted practice. The age of puberty differed esepcially in warmer climates. Standards have changed over time.] sumber: http://blogs.smh.com.au/newsblog/archives/your_say/013032.html alhamdulillah dilalah saya dapatkan jawabannya juga di weblog ini, makasih ya mas! bondet • By: aminsubroto on Mei 4, 2007 at 6:35 pm salaam, diskusi/studi kritis seperti ini yg sangat bagus, seharusnya disajikan kepada kaum muslimin dan selalu diingatkan, jadi kalau ada perlecehan dari pihak lain yang jahil terhadap rasulullah SAW, kita sudah mengerti siasat mereka. Ya Allah fansurna ala kaumil kafirin •